Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Sepak Bola Jadi Senjata Mahatma Gandhi Lawan Rasisme

3 Juli 2023   21:42 Diperbarui: 3 Juli 2023   22:11 288 3
Stadion Mestalla menjadi tempat tak ramah bagi Vinicius Junior. Umpatan rasis pendukung Valencia membuat pemain asal Brasil itu meledak. Ia menangis dan marah, perlakuan ini masih ada di sepak bola.

Bagi Vinicius ini bukan kali pertama warna kulitnya menjadi cemooh. Mundur beberapa bulan ke belakang, pemain Real Madrid itu pada Februari 2023 juga jadi korban rasis pendukung Real Mallorca.

"Ini jadi hal normal. Kompetisi anggap ini normal, begitu juga dengan federasi," tulis Vinicius pada unggahan akun Instagram miliknya, Senin 22 Mei 2023.

Kompetisi Liga Spanyol faktanya memang jadi tempat tak ramah bagi mereka yang memiliki warna kulit berbeda. Dalam rentang 10 tahun terakhir, perlakuan rasisme terus terjadi.

Sepak bola yang pada tahun 1800-an menjadi alat perjuangan bagi Mahatma Gandhi melawan rasisme malah jadi sarana menyebarkan paham jahat itu.

Bara Perlawanan Mahatma Gandhi

"Jika kamu mencoba sembuhkan kejahatan dengan kejahatan, kamu (hanya) akan menambah lebih banyak rasa sakit pada takdirmu," begitu filsuif Yunani kuno, Sopchocles berikan petuah.

Petuah yang hanya sedikit orang sepanjang sejarah dunia bisa menjalankannya, salah satunya Mohandas Karamchad Gandhi atau yang kita kenal Mahatma Gandhi.

Gadhi dikenal sebagai tokoh dunia yang paling konsisten melawan tirani dengan aksi non kekerasan. Bagi Gandhi, tindak kejahatan orang kolonial kepada bangsa terjajah tak harus dilawan dengan kekerasan.

Jauh sebelum ia dianggap manusia setengah dewa di India bahkan dunia, Gadhi menghabiskan waktu tertahun-tahun di Afrika Selatan, di mana ia menabur benih kebebasan yang nantinya diperjuangkan oleh Nelson Mandela.

Saat Gandhi menyelesaikan studi hukumnya di Inner Temple, London, Gandhi putuskan untuk terbang ke Afrika Selatan pada 1893. Di sana, ia memulai praktik hukumnya sebagai pengacara.

Awalnya, ia mendampingi seorang pedagang India dalam sebuah gugatan hukum. Saat itu usianya baru 23 tahun. Gandhi muda bekerja di firma hukum bernama Dada Abdulla & Company.

Kala itu, ia dijanjikan tiket pulang kelas satu ke India dan dapat bayaran 105 poundsterling jika kasus tuntutan hukum itu rampung.

Saat pertama injakkan kaki di India, Gandhi melihat langsung kondisi diskriminatif di Afrika Selatan.

"Saat kapal tiba di dermaga dan saya melihat orang-orang naik ke kapal untuk bertemu teman-teman meeka, saya mengamati bahwa orang India tidak terlalu dihormati," tulis Gandhi seperti dinukil dari The Story of My Experiments with Truth.

Di sana, Gandhi melihat praktek diskriminasi yang begitu nyata. Di Afrika Selatan era itu berlaku undang-undang pemisahan antara orang India, penduduk asli Afrika dan orang kulit berwarna lainnya.

Soal aturan pemisahan ini dirasakan langsung oleh Gandhi. Suatu kali saat berpergian ke Pretoria. Saat berada di stasiun Maritzburg, Gandhi diminta untuk pindah gerbong meski ia memiliki tiket kelas satu.

"Ayo, kamu harus ke bagian terpisah dari gerbong ini." kata salah satu petugas kepada Gandhi. "Tapi saya punya tiket kelas satu,"

Insiden di stasiun Maritzburg ini memainkan peran penting terhadap garis perjuangan Gandhi.

Terinspirasi karya-karya Henry David Thoreau hingga Leo Tolstoy, Gandhi mulai menarik massa India di Afrik Selatan untuk diorganisir dan menentang peraturan diskriminatif.

Bara perlawanan Gandhi terhadap praktek diskriminasi terus ia perjuangkan selama 21 tahun hidup di Afrika Selatan.

Kampanye Anti Rasial di Lapangan Hijau

Meski tak ada laporan bahwa Gandhi adalah pemain sepak bola yang apik, namun pemikiran anti diskriminatif yang ia miliki membantu berdirinya tiga klub sepak bola di Afrika Selatan.

Passive Resisters Soccer Club begitu klub sepak bola yang berdiri di tiga kota, Johannesburg, Pretoria, dan Durban. Tiga klub ini berdiri berkat buah pemikiran Gandhi melawan praktek diskriminatif rasial.

Menurut Peter Alegi, profesor sejarah Afrika di Michigan State, Passive Resisters Soccer Club merupakan klub terorganisir pertama di Afrika Selatan yang tidak dijalankan oleh orang kulit putih.

Lantas mengapa Gandhi memilih mendirikan klub sepak bola, bukan kriket, olahraga yang cukup populer di India ataupun Afrika Selatan?

Sepak bola bagi Gandhi bukan olahraha yang asing. Saat berkuliah hukum di London, Inggris pada usia 18 tahun, ia sangat dekat dengan sepak bola.

"Gandhi sudah mengenal sepak bola dengan baik sejak dia habiskan waktu di INggris untuk menyelesaikan studi hukumnya," ungkap Bongani Sithole, pemandu resmi Phoenix, kawasan di Durban yang dibangun Gandhi.

"Dia (Gandhi) tak pernah melakoni olahraga ini dengan serius, tetapi tampaknya jatuh hati dengan permainan ini. Bahkan di atas kecintaan pertamanya pada kriket dan bersepeda. Mungkin karena saat itu sepak bola adalah olahraga favorit dari kaum papa," jelas Sithole.

Hati nurani Gandhi menjangkau penderitaan masyarakat tak mampu di negara itu. Nilai filosofinya meski tak dogmatis berdiri di atas kebenaran mutlak dan tanpa kekerasan.

Pengalaman hidup menahun di Afrika Selatan berikan pengalaman nyata bagi Gandhi bahwa praktek rasial dan diskriminasi juga menjangkau hingga ke lapangan hijau.

Untuk menarik kaum papa, Gandhi harus berakulturasi dengan lingkungan yang kurang beruntung. Sepak bola faktanya jadi olahraga pekerja kelas bawah di Afrika Selatan.

Proses akulturasi yang dilakukan Gandhi dengan ikut membantu berdirinya Passive Resisters Soccer Club ditunjukkan dengan bukti konklusif bahwa ia pernah berfoto dan menyampaikan pidator tentang pembangkangan sipil saat pertandingan.

Di Afrika Selatan, pertandingan sepak bola jadi tempat berkumpulnya orang-orang kurang mampu, termasuk orang India dan penduduk asli Afrika. Bagi mereka, berada di stadion menjadi kesemaptan untuk berteriak sekuat tenaga. Meluapkan kegelisahan dan penderitaan yang selama ini dialami.

Audiens ini yang menjadi sasaran Gandhi, mereka yang paling banyak mendapat perlakuan diskriminatif dari para pemukim dan penguasa Inggris.

Lewat pertandingan yang dilakoni Passive Resisters Soccer Club, Gandhi berkesempatan untuk sebarkan ajaran Satyagraha dan ajakan untuk melakukan pembangkangan sipil melawan penindas.

Di sisi lain pertandingan sepak bola juga menjadi tempat bagi gerakan Gandhi untuk melakukan penggalagan dana yang diperuntukkan untuk keluarga aktivis yang dipenjara.

Pertandingan digelar sebagai bentuk protes atas penangkapan aktivis yang menentang peraturan segregasi rasial. Hingga saat ini, lapangan sepak bola di Phoenix yang menjadi tempat perjuangan Gandhi masih ada dan menjadi salah satu cagar budaya.

Selama beberapa dekade, sepak bola telah memainkan peran penting dalam membangun moral massa.

"Saat itu, ide bermain tim jauh lebih kuat daripada ide pemain bintang dan ini adalah sesuatu yang sangat menarik baginya. Dia percaya permainan itu memiliki potensi besar untuk mempromosikan ajarannya. Namun keliru jika berpikir bahwa sepak bola hanya sarana komunikasi bagi Gandhi," jelas Poobalan Govindasamy, presiden asosiasi sepak bola indoor Afrika Selatan.

Menurut Govindasamy, Gandhi sangat memiliki peran besar bagi sepak bola Afrika Selatan dalam lingkup alat perjuangan melawan tindakan rasial.

"Warisan sosial Gandhi di Afrika Selatan selalu menjadi yang terdepan dalam karya-karya tetapi warisan olahraganya tidak boleh diabaikan karena itu membuka jalan bagi korban segregasi rasial untuk menikmati olahraga seperti yang dilakukan tuan kolonial mereka,"

Meski akhirnya Passive Resisters Soccer Club telah bubar, muncul komunitas sepak bola India di Afrika Selatan yang tetap mengikuti jalur perjuangan Gandhi.

Misalnya, Moonlighters FC, klub sepak bola berbasis di Johannesburg didirikan buruh kontrak asal India yang diasuh oleh Gandhi. Lalu ada Manning Rangers FC, klub yang berdiri pada 1928 oleh G.R. Naidoo.

Naidoo adalah jurnalis, seniman Afrika Selatan yang berjuang anti rasial lewat karya-karyanya. Manning Rangers FC pada 1997 mampu meraih gelar juara Afrika Selatan, mengalahkan tim mapan, Orlando Pirates dan Pirates dan Kaizer Chiefs.

"Bagi saya," kata Gandhi. "Tubuh yang sehat berarti tubuh yang tunduk pada jiwa dan selalu menjadi instrument yang siap melayani. Badan seperti itu menurut saya tidak dibuat di lapangan sepak bola. Mereka dibuat di ladang jagung dan pertanian,"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun