Saya ingat kasus Kirun CS ketika melawak dengan mengambil plesetan obrolah, “Apa bedanya uang 5.000 dengan uang 500 ?” (agak lupa, apa 50.000 dengan 5,000, ya !) dan dia menjawab dalam plesetan itu, “Kalau 5.000 gambar Soeharto dan 5.00 gambar gorilla !” maka Kirun mendapat masalah besar. Indonesia dalam tanda kutip “kroni Seoharto” mengartikan pelecehan terhadap presiden Indonesia menyamakan Soeharto dengan Gorilla. Tidak lama kemudian uang itupun ditarik dari peredaran dan diganti penampilan gambar.
Zaman Gus Dur menjadi presiden, SBY jadi presiden, betapa bebasnya para mahasiswa demo (Makassar) meluapkan emosi ketidakadilan menurut mereka, dan kemudian membakar foto presiden. Tindakan ini tidak menunai masalah. Masyarakatpun apatis dengan gejolak sosial tersebut. Aman-aman saja. Tidak ada reaksi apapun dari rakyat maupun pemerintah walaupun nyata-nyata melakukan pelecehan terhadap kewibawaan orang nomor 1 di Indonesia.
Orang pasti berpikir, bahwa dinamika sosial ini bagian dari ekses proses demokratisasi. Acara TV Trans 7 mengambil latar Hakim dan sistem yang ada untuk setting humor pun aman-aman saja karena rakyat sudah bisa menerjemahkan, bahwa itulah bagian dari hakekat kinerja orang-orang hukum di Indonesia, yakni tidak beda jauh dengan Lawakan kelas nasional. Dan lawakan itupun menjadi tontonan yang asyik untuk hiburan rakyat. Dan sangat beda dengan kasusnya kirun tempo dulu. Ini menjadi sindiran yang teramat besar terhadap pemerintah dan institusi yang ada. Jika pun, ada langkah-langkah hukum untuk acara ini sebagai teguran dari yang berwenang, tentunya ada preseden yang buruk dari masyarakat atau penanggungjawab acara, karena acara itu tidak menyalahi hukum. Acara tidak bermaksud menyudutkan atau menyinggung pihak-pihak tertentu walaupun setting dan tema acara lawakan arahnya sudah mengarah pada pihak-pihak tertentu. Dan sah menurut hukum.
Mestinya ada pembatas moral bagi penyelenggara intertainmen. Aturan pertelevisian, wilayah perundang-undangan, bahkan KUHAP-pun tidak bisa menjerat acara lawakan ini, karena rana plesetannya tidak pada rana hukum, akan tetapi pada wilayah moral atas kecintaan terhadap negeri ini. Eksesnya tidak hanya pada, apakah acara ini melanggar hukum atau tidak, sah atau tidak, tapi di negeri ini sudah ada pembelajaran kemunafikkan antara keilmuan dan budaya hiburan di TV. Anak-anak atau mahasiswa di sekolah fakultas hukum, betapa keilmuan mereka secara detail oleh para dosen atau profesioor memberikan pemahaman hukum dan etika hukum yang benar, dan di lapangan hanya dijadikan lawakan. Fakultas mereka, di rakyat, hanya dijadikan lawakan. Apalagi anak-anak sekelas SLTP/SLTA, mereka semakin tidak memahami antara lawanakan “Ketuk Palu” dengan adanya sidang siaran langsung. Sama !
Artinya intitusi, akademisi, masyarakat, sudah tidak menganggap penting hal-hal yang merendahkan kewibawaan dan pertahanan pemerintah dan negara. Sistem Pengadilan sudah dijadikan lawakan, padahal masyarakat tengah mempelajari keilmuan-keilmuan di kampus perundangan dan hukum. Akan tetapi ketika, yang dilecehkan itu urusan sex, misal hanya pegang atau rayuan, maka sangat limid sekali rakyat dan pemerintah (dalam hal ini Polisi) menyidik atas yang bersangkutan melaporkan hal tersebut ke pihak kepolisian. Dan jadilah itu sebagai perkara hukum. Sementara hukum dijadikan setting tontonan yang merendahkan kewibawaan institusi tidak ada yang protes satupun, dan atau tidak ada reaksi apapun. Penulis sendiri demi kewibawaan negeri ini hanya bisa menulis.
Dengan kata lain faktor harga diri pribadi ---- walaupun urusan kelamin---- jauh lebih penting daripada kepentingan negeri ini.
Betapa mindset pemikiran budaya sudah jauh melampaui batas kewajaran. Sesuatu yang tidak wajar dianggap wajar-wajar saja, dan sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja digiring menjadi sesuatu yang luar biasa. ---