Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mesuji Penggalan Sketsa Birokrasi

22 Desember 2011   23:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:52 206 1

[caption id="attachment_158341" align="aligncenter" width="662" caption="Negara kita adalah negara demokrasi berdasarkan Pancasila, tapi karakter yang tertanam (yang dihasilkan) adalah negara yang menerapkan idiologi kapital"][/caption] Sesungguhnya perjalanan bangsa ini harus prihatin melihat sketsa sementara dari proses demokratisasi selama 66 tahun. Jika melihat “Jasmerah” semangat 45, atau konsepi-konsepsi legislatif yang diimplementasikan melalui eksekutif, maka bisa disebut bangsa yang cantik ini berjalan ke belakang. Kasus Mesuji merupakan perkembangan dari kasus-kasus lain yang tidak tercaver di negeri ini. Hampir akar masalah bermula dari pengidiologian kapital menjadi karakter yang sudah terbentuk mengalahkan idiologi intitutif (sah) yang ada di negeri ini.

Melihat karya Sastrawan 45, “Salah Asuh,” saya melihat negeri ini juga salah asuh. Negeri yang semula dikonsep berhaluan demokrasi (demokrasi terpimpin, Pancasila, dan proses demokratisasi yang lain) berdasarkan UUD 45 rupanya telah direbut oleh idiologi kapitalis. Kita negara demokrasi, tapi dalam praktiknya sangat feodalistik dan kapitalistik.

Bagaimana Soeharto dan kroni, anak cucu, dan para pemilik modal, atau anak tiri seperti warga asing yang sudah terserap menjadi WNI secara kultur, mereka menjadi raja di Indonesia dalam usaha dan perputaran perusahaan. Ingat pertama kali pembawa kabur uang RI, 3 triliyun, kemudian hilang dimatikan oleh media. Kemudian para kreditor, macet, para pengusaha itu menjadikan negara ini sebagai omset usaha yang empuk kemudian digadaikan memalui transaksi-traksaksi raksasa, dan ujung-ujungnya pemerintah menjadi “Orang Tua” yang bijaksana, dan menanggung utang piutang mereka. Hingga pada masa reformasi ini, kekuatan itu masih mengalahkan kebijakan-kebijakan di negeri ini. Terlihat jelas hasil karaktersitik kerakyatan dan kebangsaannya pasca pesta demokrasi seperti etika pemilu. Dari sini saja rakyat sudah bisa menilai dirinya sendiri.

Negara menjadi “cukong-nya” para pengusaha, pemilik modal, dan orang-orang yang memiliki “sahwat” khusus terhadap kedudukan di NKRI ini. Perusahaan yang merebut lahan Mesuji, dan institusi negara dijadikan “satpam”perusahaan mereka, kemudian dijadikan “ban bekas” untuk meminimalkan perlawanan rakyat yang ditindas.

Siapa yang berani taruhan, jika para institusi negara yang dijadikan satpam itu dibayar tidak lebih dari Rp.100.000 rupiah, hanya uang sebesar itu kemudian harus mengkhianati negara dan melawan rakyat.

Apakah hanya Mesuji ? Saya jawab tidak. Perusahaan-perusahaan asing, besar, bahkan perusahaan menengah dari kalangan rakyat biasa saja ---di belakang mereka--- selalu ada institusi Negara yang berdiri mengamankan mereka secara tersembunyi dan samar-samar. Bukti menunjukkan sekelas usaha di kampung seperti usaha Bilyard milik anak desa, rupanya ada kekuatan institutif yang melindungi mereka, dan hanya berbekal uang ratusan sudah cukup sebagai “kacer” pengaman usahanya menyalahfungsikan aparatur (oknum) negara, yang pada akhirnya bersitegang dengan rakyat dan pihak penegak hukum itu sendiri. Demikian juga melihat arus lalu lintas, pernah ada istilah “Gajah Oleng,” atau “primkopol,” siapa mereka ? Mereka itu kumpulan preman. Dan di belakang mereka ada pemilik sah, dan pemilik sah itu bagian dari usaha para penegak Hukum di Indonesia, sebagai usaha sampingan melalui para preman. Ngeri !

Jadi Mesuji, jangan heran. Itu bagian dari “lagu lama” yang sudah me-Raja di negeri ini. Mesuji hanya bagian dari kasus pembunuhan rakyat melalui tangan-tangan (kepanjangantangan) penguasa ataupun pengusaha, dan mereka menjadi raja (menang) karena faktor proses demokratisasi yang salah asuh itu, dan sudah melanda di negeri ini sejak pemilik kapital atau karakter feodal menjadi kuasa di negara kita. Negara kita adalah negara demokrasi berdasarkan Pancasila, tapi karakter yang tertanam (yang dihasilkan) adalah negara yang menerapkan idiologi kapital.Gerakan-gerakan feodalisme sudah berakar urat antara rakyat, pengusaha, penguasa, dan masyarakat dipososikan sebagai musuh. Mereka memanipulasi hak kerakyatan, mengambil bagan institusi sebagai “satpam,” untuk menyerang rakyat dan kekuatan ataupun hukum yang berjalan di tengah-tengah masyarakat. Sementara pemerintah hanya menjadi “anjing bodoh,” karena jika menjadi ”anjing pintar” dia pasti tahu musuh yang harus dikejar berdasarkan insting idiologi kebangsaan. Sehingga rakyat merasa memiliki wakil dan negara yang mengatur kesejahteraan dan kemaslahatannya.

Apa yang terjadi di sekitar kita ini menunjukkan bahwa konsepsi-konsepsi negara seperti unsur eksekutif, yudikatif dan legislatif yang berlaku di Indonesia belum menyatu dan dengan rakyat sebagai idiologi hukum maupun falsafah yang harus dipegang atau diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Sistem-sistem atas bangsa dan rakyat itu sendiri masih menjadi orang lain di negerinya sendiri. Kebanyakkan pemerintah dan rakyat belum tersentuh bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang baik melalui tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Masing-masing masih berjalan atas kompetensi kuasanya masing-masing tanpa mengedepankan faktor Nasionalisme kebangsaan, kerakyatan, dan kepemerintahan. ---

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun