Begitulah kira-kira opini yang saya lontarkan setahun yang lalu, di kelas “Negara, Pasar, dan Masyarakat”. Suasana diskusi yang terbangun menjadi agak hening setelah opini tersebut dilontarkan. Pernyataan tersebut tidak terdiskusikan dengan lanjut melainkan terlontarkan kembali setahun kemudian, di kelas yang berbeda. Ketika kejadian tersebut berlangsung setahun yang lalu, saya dan kawan-kawan sekelas (yang didominasi oleh senior) membahas mengenai identitas Indonesia dengan berbagai kebijakan ekonomi yang diemban, disertai diskusi akan pertanyaan-pertanyaan dasar ala mahasiswa: “Apakah Indonesia termasuk negara welfare-state? Apakah yang dimaksud dengan ekonomi Pancasila itu sendiri?”, dan lain-lain. Di kesempatan kedua, opini tersebut ditanggapi secara “panas”, namun kembali “meredam” setelah saya memaparkan analisis saya.
Rentang waktu satu tahun tersebut pada akhirnya membentuk konstruksi berpikir yang lebih jelas bagi diri saya pribadi. Seketika, saya mendapatkan pemahaman baru mengenai bagaimana sebenarnya paradigma masyarakat Indonesia itu terbangun sekian lama, yang puncak pembuatannya berada pada diri dasar negara Indonesia: Pancasila.
Perlu untuk direnungkan bahwa masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia cenderung untuk memiliki sifat indecisive dan schizophrenic. Budaya ambiguitas alias abu-abu yang cenderung dipelihara bukanlah semata-mata berakar pada folkways masyarakat kita yang memang suka merasa “segan” ataupun “maju-mundur”, melainkan karena aktor vital yang memayungi negara itu sendiri tidak mencerminkan “ketegasan” yang memisahkan hitam dan putih. Fenomena tersebut semakin terlihat setelah rezim Orde Baru jatuh, dimana masyarakat tidak lagi memiliki kelompok penekan yang akan “membungkam” setiap opini “miring”.