Pada dasarnya, setiap sebagai subjek hukum, yaitu natuurlijk persoon pernah mengalami serta merasakan kondisi yang tidak nyaman pada tubuhnya. Kala itu, manusia akan mengasumsikan dirinya sakit kemudian memeriksakan dirinya ke dokter. Dokter sebagai subjek dari tenaga medis yang peranannya dalam memberikan jasa pelayanan medis kepada penerima pelayanan medis, yaitu pasien.
Secara umum, subjek Hukum Kesehatan dan Kedokteran adalah pasien dan tenaga kesehatan yang didalamnya termasuk institusi kesehatan, sedangkan objek Hukum Kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan dan Hukum Kedokteran adalah pelayanan medis. Dahulu isi sumpah Hippocrates menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban untuk dokter dan pasien. Kewajiban sebagai hal yang harus dipenuhi, sedangkan hak sebagai hal yang dapat diminta atau ditagih.
Hubungan antara dokter dan pasien memiliki kaitan yang erat dari segala aspek pelayanan medis maupun pelayanan kesehatan. Hak atas kesehatan setiap orang sebagai hak yang dimiliki oleh setiap individu sejak lahir yang meliputi hak untuk menikmati, pelayanan, fasilitas, barang yang ditujukan untuk kondisi kesehatan mental atau fisik, termasuk cara untuk menjaga kesehatan.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan. Ketika pasien mendatangi dokter, sebelum diperiksa, pasien memiliki kewajiban untuk memberi informasi terkait keluhannya dan dokter memiliki hak untuk mengetahui keadaan pasien sebelum memberikan suatu pelayanan medis.
Antara dokter dan pasien ini menimbulkan perikatan yang terdapat prestasi yang harus dipenuhi disebut dengan Kontrak Terapeutis (Ameln 1991, 15) berdasarkan pada daya upaya, ikhtiar, atau usaha dari dokter yang dilakukan dengan maksimal untuk menyembuhkan pasiennya dari suatu penyakit walaupun hasilnya belum ada kepastian apakah pasien tersebut akan benar - benar sembuh atau tidak (Putra 2000, 135). Perikatan itu lahir karena persetujuan berdasarkan pada Pasal 1233 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata") (Tjitrosudibio n.d.).
Persetujuan antara kedua belah pihak dinamakan juga sebgai perjanjian, berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdaata terdapat empat syarat dari sahnya perjanjian, yaitu 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dikaitan dengan informed consent, maka kedua belah pihak antara pasien dengan dokter sudah menyepakati untuk melaksanakan perjanjian tersebut yang berupa pelayanan kesehatan,
2) kedua pihak cakap untuk membuat suatu perjanjian, para pihak harus sudah dewasa dan cakap dalam melakukan perbuatan hukum, apabila pihak yang bersangkutan belum dewasa maka bisa diwakili oleh pengampunya, walinya, atau orang tuanya,
3) suatu hal tertentu, informed consent yang menjadi isi perjanjian harus sudah jelas mengenai apa yang akan dilakukannya terkait pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, dan
4) suatu sebab yang halal, informed consnet dibuat karena adanya hal yang pnting dan membutuhkan persetujuanpara pihak terkait pekayanan kesehatan dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, juga kepentingan umum. Dengan terpenuhinya keempat syarat stersebut maka perjanjian akan sah secara hukum. Mengenai prestasi, sebagaimana dalam Pasal 1 angka 11 UU Kesehatan pemenuhan prestasi adalah yang dilakukan oleh dokter termasuk dalam upaya kesehatan.
Informed consent sebagai persetujuan antara kewajiban dokter untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien beserta efek dan risikonya dan hak pasien untuk memberikan consent atau persetujuan sebagai umpan balik (feedback). Terdapat dua unsur dalam informed consent, yaitu pasien mendapatkan informasi dari dokter dan pasien menyetujui atau ada persetujuan. Pasien memiliki hak atas informasi yang didapatkan.
Dalam dua unsur itu, terdapat juga beberapa elemen dalam informed consent, yaitu threshold elements berarti yang memberikan consent (persetujuan) harus orang yang berkompeten dalam arti cukup umur dan matang secara kejiwaan dan information elements berarti adanya disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman) dalam arti mengenai pembukaan informasi beserta penjelasannya (Rahmad Dui Wahyudi 2017, 4).
Dalam hal ketika perawat memberikan tindakan harus sudah menyelesaikan urusan mengenai inform dan consent antara dokter dan pasien. Apabila perawat langsung melakukan tindakan kepada pasien yang kemudian terjadi kegagalan dalam persetujuan, pasien menanyakan mengenai risiko yang akan ia terima, maka yang memiliki hak untuk menjelaskannya hanyalah dokter karena pada dasarnya hak, kewajiban, dan kewenangan ada pada dokter.
Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 32 tahun 2009 sudah lebih banyak aturan mengenai informed consent dibandingkan dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, tetapi menggunakan istilah lain yang bukan informed consent secara langsung. Tepatnya tercantum dalam Pasal 8 UU Kesehatan mengenai unsur informed consent, yaitu informasi dan pengobatan yang akan diberikan kepada pasien.
Terdapat juga pada Undang - Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang didalamnya termasuk pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi yang tercantum pada Pasal 45 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Berdasarkan Pasal 1 Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 tercantum pula pengertian informed consent/ persetujuan tindakan medik. Peraturan mengenai informed consent terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 dan Surat Keputusan PB IDI Nomor 319/PB/A4/88.
Tindakan medis yang hasilnya penuh dengan ketidakpastian dan sulit diperhitungkan menjadi faktor dibutuhkannya suatu informed consent. Informed consent berakibat pada adanya perubahan hubungan antara dokter dan pasien dari pola paternalistik menjadi partnership. Pada paternalistik berarti ada suatu kepentingan seseorang yang dipercayakan pada suatu kegiatan walaupun kegiatan ini bertentangan dengan kehendak dan hak pasien tersebut. Hak pasien menurut literatur meliputi:
1. Hak atas informasi ;
2. Hak memberikan persetujuan ;
3. Hak memilih dokter ;
4. Hak memilih sarana kesehatan ;
5. Hak atas rahasia kedokteran ;
6. Hak menolak pengobatan/ perawatan ;
7. Hak menolak tindakan medis tertentu ;
8. Hak atas second-opinion (pendapat dokter lain) ;
9. Hak inzage (melihat rekam medis).
Hak pasien untuk menolak atau menerima pengobatan atau perawatan tercantum dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kesehatan. Penolakan pasien ini disebut dengan informed refusal. Informed consent berbeda dengan malapraktik. Dalam malapraktik terdapat empat unsur dalam aspek hukum pidana, yaitu 1) penyimpangan, 2) kelalaian, dan 3) hubungan kausal (sebab akibat), dan 4) timbulnya kerugian.
Keempat unsur ini harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai malapraktik. Informed consent belum sampai pada terjadinya akibat atau kerugian pihak yang bersangkutan. Tetap ada kemungkinan adanya kerugian, hanya saja tidak dihitung secara materiil, melainkan imateriil, misalkan pasien merasa tidak menerima informasi secara jelas dan lengkap.
Informed Consent selalu menjadi perbincangan, "Sebenarnya Bagaimana Urgensi Informed Consent dalam Melaksanakan Pelayanan Medis dan Pelayanan Kesehatan?"
Informed consent yang tidak sesuai akan berimplikasi atau berisiko pada "sengketa", yaitu malapraktik kedokteran dan putusan pengadilan yang sudah in kracht. Sebenarnya informed consent ini bukan suatu solusi atau penyelesaian masalah melainkan awal dari suatu ikatan antara pasien dan dokter dalam praktik. Sengketa tersebut bisa terjadi antara dokter dan pasien, pasien dan rumah sakit, dokter dan rumah sakit, tenaga kesehatan dan rumah sakit, dan sebagainya. Hukum yang ditegakkan dalam hal terjadinya sengketa dapat memberi manfaat dalam perlindungan hukum dan pemberian sanksi ketika ada yang melanggar.
Kerap kali, terjadi informed consent yang telah disetujui dan ditandatangani oleh pasien tidak relevan dengan kenyataannya dalam pelayanan dari tenaga medis, yaitu jasa yang diberikan oleh dokter. Misalnya dalam persetujuan terkait pengoperasian yang dilakukan kepada pasien di organ tubuh tertentu, tetapi pada keadaan darurat dokter harus melakukan bedah juga terhadap organ tubuh lain pada pasen tanpa ada persetujuan sebelumnya mengenai risiko kemudian kondisinya kritis dan meninggal.
Sebenarnya, keadaan darurat hanya bisa ditentukan oleh dokter ataupun tenaga medis. Pasien, keluarga pasien, bahkan penyidik sekalipun yang memegang sengketa medis tidak akan memahami keadaan darurat yang terjadi sebenarnya. Maka, dari sinilah penyidik harus berprofesi sebagai dokter agar mengetahui kebenaran yang terjadi.
Kesalahan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan medis diukur dan dibuktikan melalui hukum pidana (Loqman 1991, 568). Lebih tepatnya ketika dalam menjalani perawatan atau pengobatan pasien mengalami cacat pada bagian tubuhnya atau bahkan meninggal. Tidak dapat dipungkiri, banyak yang berpendapat bahwa adanya persetujuan dalam pelayanan kesehatan dari pasien itu berarti meniadakan dasar pemidanaan.
Tetapi, dengan adanya informed consent bisa menjadi senjata dalam persidangan manakala terjadinya penuntutan di pengadilan sebagai alat bukti yang kuat untuk dokter dan rumah sakit karena dalam ranah pidana apabila tidak ada persetujuan yang sah memiliki sangkut paut dengan ranah hukum perdata berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka sangat dimungkinkan untuk dituntut dalam ranah hukum pidana berdasarkan Pasal 359 tentang Penganiayaan, yaitu kelalaian yang mengakibatkan mati dan Pasal 360 yaitu kelalaian yang mengakibatkan luka berat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ("KUHP") (Soesilo 1995). Kelalaian yang dimaksud adalah dokter sebagai subjek hukum dari tenaga medis yang memberi perawatan dan yang meninggal atau menderita luka berat adalah pasien sebagai subjek hukum yang menerima perawatan dari dokter.
Sementara itu, apakah setiap sengketa medis harus diproses melalui ranah hukum pidana?
Jawaban singkatnya, tidak.
Tidak setiap sengketa medis harus diselesaikan melalui ranah pidana, yang awalnya hubungan antara dokter dengan pasien hanya antar individu menjadi individu, masyarakat, dan negara (Loqman 1991, 568). Hal ini dikarenakan pertama-tama hukum pidana yang tujuannya menimbulkan efek jera atau memberikan penderitaan kepada pelaku yang memenuhi suatu unsur pidana dan kedudukannya pidana sebagai ultimum-remedium yang artinya sebagai pilihan atau jalan terakhir (Prodjodikoro 2003, 43).
Misalnya, pada sengketa antara dokter dan pasien yang hanya dimintai pertanggungjawaban hanya dokter saja, sedangkan pasien sebagai pihak yang dirugikan tidak menerima ganti rugi maupun kepuasan sehingga tidak menyelesaikan masalah dan kurang seimbang di antara kedua belah pihak dan berarti sengketa medis bisa diselesaikan melalui cara-cara lain.
Cara-cara tersebut diantaranya, yaitu pertama pasien yang merasa dirugikan sebagai orang awam akan melaporkannya ke polisi. Tidak jarang terjadi, adanya seorang pasien yang menjadi korban malapraktik atau setidak-tidaknya dirugikan haknya dalam kondisi pasien masih terbaring lemas atau sakit dan menderita, pasien akan mengalami depersonalisasi.
Depersonalisasi adalah proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu (Citrawati 2011, 50), yaitu pada keadaan tidak berpikir panjang dan mencari jalan pintas atau jalan cepat dengan baik. Kemudian, yang kedua dengan cara mediasi. Penyelesaian sengketa dan tindak pidana malapraktik berdasarkan Undang -- Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 29 menyatakan bahwasannya penyelesaian sengketa terlebih dahulu melalui mediasi.
Ketika salah satu sengketa yang terjadi antara pasien dan rumah sakit, maka dalam hal ini, bukan hanya pasien melainkan rumah sakit pun tidak mau dirugikan apalagi sengketa tersebut diketahui oleh khalayak umum sampai ke media. Di sini rumah sakit pasti berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan sengketanya secara berdamai dengan pasien melalui mediasi.
Ketiga, dengan mengajukan gugatan perdata. Pasien yang sudah tidak terlalu awam mengenai hukum atau dalam artian pasien tersebut cukup paham proses hukum yang ada di negaranya walaupun hanya segelintir pasien yang mendapatkan advis dari seorang pengacara, maka pasien tersebut akan meminta ganti rugi melalui gugatan perdata.
Terkait dengan pelanggaran etika dan disiplin maka dapat dilaporkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ("MKDKI") atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ("MKEK"). MKDKI diatur dalam Undang - Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa MKDKI sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam nentukan kesalahan pada dokter dan doter gigi yang akan berakibat pada sanksi, kemudian MKDKI bertanggung jawab kepada Konsil Keodkteran Indonesia ("KKI") sebagaimana dalam Pasal 56.
Terkait dengan pelaporan ke MKEK hanya berlaku bagi anggota Ikatan Dokter Indonesia ("IDI"), sementara bagi yang bukan anggota IDI maka terdapat Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Etika Pelayanan Medis ("MP2EPM") terdapat juga sanksi berupa teguran lisan maupun tertulis, skorsing, atau dikeluarkan dari IDI (Ameln 1991, 19).
Berhubung etika adalah lingkup yang paling luas karena didalamnya meliputi disiplin dan hukum. Ketika terjadi pelanggraan hukum maka pasti meliputi juga pelanggaran terhadap disiplin dan etika. Etika diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia ("KODEKI"). Dengan diaturnya etika, maka tenaga medis ataupun tenaga kesehatan tidak bisa memperlakukan pasiennya dengan semena-mena dalam memberikan pelayanan kesehatan karena terdapat batasan pada lingkup etika yang berdasar pada moral value.
Pada akhirnya, walaupun informed consent tidak sepenuhnya menyelesaikan suatu sengketa medis, tetapi memiliki urgensi yang sangat penting. Setidaknya persetujuan itu memiliki peranan dan sebagai aat bukti yang kuat dalam penyelesaian sengketa.
Sengketa dalam medis ini menyangkut pada hukum pidana mengenai denda dan penderitaan, hukum perdata mengenai ganti kerugian, dan hukum administratif mengenai izin dokter yang berpraktik. Namun, perlu diingat hukum pidana sebagai ultimum-remedium karena akibatnya yang akan memberikan penderitaan terhadap seseorang. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadinya kesalahan oleh tenaga kesehatan dan bagi pihak yang bersengketa, yakni:
- Melakukan mediasi;
- Melaporkan kepada MKEK atau MKDKI:
- Menggugat secara perdata;
- Jika ternyata terdapat kesengajaan dalam tindakan tentang kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana.