Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mahasiswa Revolusioner: Dosen Vs Mahasiswa

23 Maret 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 183 0
"Afektivitas adalah sebuah kegiatan tarik menarik. Seorang pengada memiliki sebuah bakat yang dinamakan bakat untuk tertarik. Saat seorang memperhatikan sesuatu yang menariknya, ia dapat menjadi suka atau tidak suka."

Seorang mahasiswa mengacungkan tangannya untuk mendapatkan perhatian dari dosennya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dan ia ingin bertanya.

Dosen mengangguk padanya untuk mempersilakan dia bertanya.

"Pak, kalau afektivitas itu bukan cinta, tapi tarik menarik, lalu kenapa kita tidak menggunakan kata gravitasi saja? Bukankah sama saja?"

Dosen mengelah nafas, sambil berusaha bersabar, ia kemudian mendorong sedikit kacamatanya dan menjawab, "saat seseorang memperhatikan sesuatu yang menariknya, ia dapat menjadi suka atau tidak suka. Jelas? Kalau gravitasi itu adalah sesuatu yang lain, sekalipun bentuknya sama, kegiatan tarik menarik."

"Tapi saya bener-bener gak ngerti dari mana kata "afeksi" itu berasal dan digunakan. Setahu saya itu adalah kata-kata yang tersangkut dengan "cinta". Kalau begini, berarti filsafat adalah ilmu yang seenaknya mengacak-acak kosakata bahasa Indonesia,dong?" si mahasiswa berusaha keras untuk menahan senyumnya karena merasa telah berhasil menemukan kecacatan dalam ajaran dosennya. Telah lama ia mendengar bahwa seorang murid yang berhasil adalah murid yang berhasil mengkritik dosennya.

"Ya gak begitu." Dosen mulai bingung bagaimana harus menjelaskan pada muridnya, lagipula ia tidak pernah ingat mengatakan bahwa afektivitas bukanlah cinta. "Begini. Kita tertarik pada apa yang menarik kita, kemudian hasil dari ketertarikan itu bisa menjadi baik atau buruk...."

Akhirnya dosen pun mendapatkan insight bahwa ia harus mengganti satu kata dalam kalimat yang sejak tadi ia gunakan. "... nah kalau tanggapan kita positif, maka itu akan menjadi cinta, kalau tanggapan kita negatif, itu akan menjadi benci. Kalau kita cinta, kita akan begerak menuju hal itu, sebaliknya bila kita benci, kita akan merespon dengan negatif dan menjauhinya. Jelas?"

Si murid terlihat sedang berpikir keras. Ia yakin ada yang salah dengan ucapan dosen ini dibandingkan pemahamannya selama ini mengenai "afeksi". Setelah ia menemukan kesalahan itu, ia bertanya lagi, "kurasa itu bukan cinta, pak. tapi tertarik. Cinta itu kan memberi dengan tulus apa adanya tanpa mengharap kembali, sedangkan benci itu bukan lawan dari cinta. Lawan dari cinta adalah ketidak pedulian."

Dosen geleng-geleng kepala. "Jadi kamu maunya apa sekarang? Mau menciptakan filsafat sendiri?"

"Tidak begitu, pak, saya hanya ingin menanyakan kesalahan dan kekeliruan dalam ajaran bapak yang saya temukan. Karena kalau diteruskan, ini akan berpotensi menjadi ketersesatan. Tidak baik, pak." si Mahasiswa merasa seperti pahlawan sekarang.

"Ya sudah. Berhubung ini kelas saya, jadi biarkan saya mengajar. Kalau kamu tertarik untuk menjadi seorang revolusioner, saya tidak akan menentangnya. Tapi tahan dulu, karena saya masih harus mengajar bahan yang tersisa untuk teman-temanmu yang lain." Ujar Pak Dosen yang segera disertai gumaman rendah dan tawa miris dari para mahasiswa lain yang menghadiri kuliahnya.

"Inteligensi adalah kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu yang membuatnya tertarik. Prosesnya adalah sadar, kemudian inteligensi bekerja terhadap objek, setelah itu objek jadi dapat dipahami menurut persepsi subjek." ajar Dosen itu lagi.

Kali ini mahasiswa lain bertanya, "pak, kalau begitu tanggapan setiap orang terhadap benda yang sama bisa berbeda-beda dong?"

Dosen menjawab, "seharusnya tidak berbeda. Tapi bila objek yang dimaksud semakin rumit, maka pemahaman setiap pengada bisa bervariasi karena semakin luas yang harus diamati."

Mahasiswa revolusioner itu kembali mengacungkan tangannya. Melihat wajahnya, si Dosen sudah tahu bahwa akan ada gerakan revolusioner lagi di kelasnya. Tapi Dosen masih memberikan kesempatan baginya untuk berbicara.

"Inteligensi itu kan sesuatu yang digunakan untuk belajar, pak, sebuah kecerdasan. Gak logis banget lah kalau inteligensi itu adalah persepsi atau prasangka. Seharusnya inteligensi itu adalah logika." jawabnya penuh percaya diri.

Dosen ingin tertawa sekaligus menangis mendengar tanggapan mahasiswa spesialnya ini. "Ada benarnya. Hubungan antara Inteligensi dan logika itu sejalan. Jadi bila logikamu itu lurus dan benar, kau dapat mempersepsikan sesuatu secara tepat dan benar. Sebaliknya, bila logikamu keliru, kau bisa menyimpulkan sesuatu dengan salah."

"Kalau begitu kenapa anda tidak menyebutkan logika daritadi?"

Dosen menjadi malas untuk melanjutkan menanggapi kritik dari muridnya. "Memang sudah otomatisnya seperti itu. Sudah ya, bisa kita lanjutkan?"

Si mahasiswa revolusioner pun diam dan kelas berlanjut.

"Bahasa adalah kenyataan daripada sebuah pemikiran yang mengabstrak. Pada awalnya pikiran bersifat mentah, dan akhirnya bahasa-lah yang membuat konsep dalam kepala ini menjadi nyata. Jadi apa yang kau katakan sesungguhnya menunjukkan cara pikirmu, dan cara pikirmu menunjukkan siapa dirimu. Dan apa yang anda katakan dapat kembali lagi pada diri anda. Jadi bila anda mengatakan rentetan caci maki, maka itu akan memengaruhi cara pikir anda kembali."

Seorang mahasiswi pun bertanya, "menarik sekali pembahasan tentang bahasa ini, pak. Dan apakah bila seseorang bernyanyi sebuah lagu yang bahasanya berbeda dengan bahasa ibunya sehingga ia tidak memahami liriknya, ia tetap akan terpengaruh dengan apa yang ia ungkapkan?"

Dosen menyukai pertanyaan cerdas dari mahasiswi berambut panjang ini. "Ciri khas bahasa manusia itu kan dapat diterjemahkan ke bahasa manusia yang lainnya. Itu salah satu perbedaan antara bahasa manusia dengan bahasa hewan yang tidak bisa diterjemahkan. Kau tidak bisa menterjemahkan bahasa kucing menjadi bahasa anjing. Tapi tidak demikian dengan bahasa manusia.

Nah, kunci dari berbahasa ini adalah pemahaman. Saat seseorang mengungkapkan apa yang ia pahami. Kemudian ungkapan itu akan kembali lagi padanya seperti proses backfire pada sebuah senjata pistol. Jadi kalau seseorang ga paham dengan apa yang ia katakan, maka ia tidak memasukkan konsep ke dalam kata-katanya. Jadi bahasa yang ia nyanyikan itu tidak akan memengaruhi dirinya."

Mendadak dosen merasakan tengkuknya merinding tidak nyaman. Dan dugaannya benar ketika ia melihat si mahasiswa revolusioner sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Ya, silakan."

"Ada yang keliru di sini, pak." katanya dengan yakin. "Tentang bahasa menterjemahkan pikiran yang mengabstrak. Jadi anda ingin mengatakan bahwa saat orang berpikir, ia tidak tahu apa yang dipikirkannya sampai ia berbahasa? Menurutku itu salah. Karena siapapun pasti pernah berpikir dalam hati dan untuk sebuah alasan menahan diri agar tidak berbahasa."

Dosen pun sudah habis kesabaran. Namun ia masih bisa mengendalikan dirinya. "Ya, jadi begini yah. Otak manusia ini sangat kompleks. Apapun bisa dipikirkannya. Bila manusia memikirkan sesuatu, hal itu bagaikan ratusan konsep yang beterbangan dan mengambang dalam sebuah ruang tanpa gravitasi. Dengan mengungkapkan pikirannya, konsep itu akan menjadi matang dan lebih terolah lagi. Jadi bila ucapan seseorang itu begitu sederhana dan melenceng, maka berarti inteligensinya tidak sanggup menangkap apa yang memancar kepadanya."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun