Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Cita-cita Politik Kristen

27 Februari 2010   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42 573 0
Oleh Putra Gara

Gerakan politik Kristen sangat rapih. Konsep pemisahan antara politik (kenegaraan) dengan agama merupakan trik politik missi Kristen untuk mempermudah mencapai tujuan.

Sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, sepak terjang kaum Kristiani di dalam pergulatan politik bangsa mempunyai andil yang cukup besar. Meskipun dalam berbagai pernyataannya para petinggi kaum kristiani selalu mengatakan bahwa antara agama dan politik tidak bisa disatukan. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Deni Tenu, Sekjen Partai Damai Sejahtera (PDS), “Institusi (agama) itu dengan politik (kenegaraan) terpisah. Artinya kita tidak mengkaitkan institusi agama dengan politik. Kita di politik membangun bangsa, bukan agama.”1
Namun kenyataannya tidaklah demikian. Salah satunya sebagaimana yang tertulis dalam Nota Pastoral dan Surat Gembala 2004 yang dikeluarkan oleh para uskup yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam menyikapi pesta domekrasi Pemilu 2004, dalam butir ke-6 jelas-jelas tertulis bahwa; “Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama.” Dan pada butir yang lain (butir 11), para uskup juga menyatakan, “Bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian, kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuk oleh iman itu. Salah satu akibatnya adalah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan dibibir tetapi tidak dilaksanakan secara konkrit. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi terciptanya kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri.”2

Kendaraan Politik Kristen
Pernyataan dalam Nota Pastoral yang dikeluarkan oleh KWI sudah jelas merupakan pernyataan politik bagi kaum kristiani. Belum lagi dengan adanya partai Kristen (PDS) yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 2001 oleh Dirjen Bimas Kristen Departemen Agama, para ketua sinode, pimpinan organisasi gereja, gembala sidang, pendeta dan penginjil, para tokoh masyarakat Kristen dan kaum intelektual Kristen, serta para pemimpin organisasi LSM. PDS yang berlambang salib dan merpati putih pimpinan Ruyandi Hutasoit memperjelas kaum kristiani bahwa mereka telah memiliki kendaraan politik untuk masuk menjadi legislatif maupun eksekutif melalui partai tersebut.3
Royandi Hutasoit sendiri adalah aktivis gereja pilihan. Ayahnya, mendiang Manixius Hutasoit, mantan Sekjen P & K, pejabat Bappenas, dan salah satu tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di jaman orde lama. Sedangkan ibunya, Raden Mantria, yang berasal dari Bandung, juga seorang aktivis gereja.
Aktivitas Hutasoit di lingkungan gereja dan khotbah penginjilan di tekuni sejak tahun 1974. Ia juga dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.
Sepakterjang Hutasoit dalam dunia politik Kristen sudah lama berjalan jauh hari sebelum ia mendirikan PDS. Seperti dengan Yayasan Bersinar bagi Bangsa, Hutasoit melakukan program pengentasan kemiskinan, kejahatan, penyalahgunaan narkoba, dan beasiswa pendidikan. Yayasan ini juga giat menggelar program pelayanan orang tua asuh (POTA) yang didukung penuh oleh UNICEF-nya PBB. Saat ini, ada sekitar 2.300 siswa di luar agama Kristen yang direkrut melalui beasiswa POTA. Belum lagi termasuk 10.000 anak yatim piatu yang direkrut melalui panti-panti asuhan.
Bersama UKI, Yayasan Bersinar bagi Bangsa juga memberikan beasiswa calon guru-guru dalam bidang studi Matematika, Biologi dan Fisika.
Pria kelahiran Bandung, 28 januari 1950 ini juga menjadi ikon Yayasan Doulos. Lembaga yang bergerak di bidang penginjilan dan pemuridan, pusat rehabilitas untuk sakit jiwa, kerasukan setan, konsultasi hukum, sekolah teologia, pastoral healing dan pastoral konseling.
Hutasoit juga mengasuh tabloid Jemaat Indonesia yang terbit mingguan. Kiprahnya di ladang pelayanan dan kepemimpinan Kristen terus berkembang seiring perkembangan zaman.
Pada tahun 1988, ia tercatat sebagai Ketua II Persekutuan Injili Indonesia (PII), sebuah lembaga Kristen yang menaungi 86 sinode gereja dan 117 lembaga/yayasan Kristen.
Lelaki berdarah Batak ini juga dipercaya menjadi ketua dari Jaringan Doa Sekota (JDS), sebuah jaringan yang tersebar di 113 kota di Indonesia. JDS merupakan salah satu bentuk dalam JDN (Jaringan Doa Nasional). Dan dalam JDN, Hutasoit menduduki posisi Sekretaris Umum dari tahun 1999 – 2001. Ia juga menduduki posisi sebagai Ketua Prayer Comitee untuk SEACOE (South East Asia Conference On Evangelism) yang bekerjasama dengan Billy Graham Evangalism Association Amerika Serikat.
Dengan segudang aktivitas dan jabatannya, Hutasoit yakin betul bahwa ia akan dapat membawa kaum Kristiani berada di garis depan dalam percaturan politik. Karena itulah ia mendirikan PDS. Dan lahirnya PDS sendiri, merupakan tindak lanjut dari proyek Yusuf 2004.4 Di mana nama proyek ini diambil dari nama tokoh di Bibel, dalam Kitab Kejadian Pasal 42 ayat 41 yang mengatakan;
Selanjutnya Firaun berkata kepada Yusuf: “Dengan ini aku melantik engkau menjadi kuasa atas seluruh tanah Mesir.”
Yusuf yang bukan orang mesir itu akhirnya menjadi penguasa di sana. Filosofi inilah yang mengilhami PDS untuk tampil di pemilu 2004. Para petinggi PDS yang umumnya adalah aktivis gereja memiliki obsesi untuk dapat tampil sebagai pemimpin di Indonesia. Karena tujuan utama proyek Yusuf 2004 adalah mengantarkan orang Kristen menjadi pemimpin di masa yang akan datang.
Pengalaman yang terjadi di negara Negeria juga telah membangkitkan semangat dan kepercayaan diri kaum Kristiani untuk tampil menjadi pemimpin. Karena di Negeria, meskipun penduduk Kristen berjumlah tidak lebih dari 40 %, namun kursi presiden negara di Afrika itu berhasil di duduki oleh orang yang beragama Kristen. Itukah yang akan dilakukan umat Kristiani di Indonesia?
Selain memililiki kendaraan politik dengan adanya PDS di tahun 2004, missi politisasi Kristen pun menyebar di partai-partai nasionalis atau partai terbuka. Seperti di PDIP (33 %), Golkar (37 %), PKB (23 %) dan partai-partai terbuka lainnya. Malah Pendeta T.B. Susanto menjadi caleg urutan pertama untuk DPR Pusat di PKB di pemilu 2004.6
Dengan begitu, gerakan politik Kristen sangat rapih, karena selalu dengan sangat mudah membedakan antara lembaga dengan pribadi. Konsep pemisahan antara politik (kenegaraan) dengan agama merupakan trik politik missi Kristen untuk mempermudah mencapai tujuan.
Dan dengan menumpangi partai-partai yang berbasis terbuka, penguasaan kursi legislatif dan eksekutif yang mengarah pada kebijakan politik bagi kaum Kristiani telah berhasil digolkan pada Pemilu tahun 1999. Ambil contoh yang terjadi di Riau. Untuk jatah 11 kursi anggota legislatif DPRD I Riau dari PDIP, 8 kursinya diduduki oleh orang Kristen. Padahal penduduk Kristin di Riau adalah minoritas. Keberhasilan secara politis ini tentu saja sebuah prestasi yang besar bagi kaum Kristen.7
Sedangkan pada Pemilu 2004, berdasarkan data pada penghitungan suara KPU, PDS berhasil mengumpulkan suara 2.414.254 atau 2,13 %. Dari perolehan suara ini, PDS dapat jatah 12 kursi di DPR RI. Itu tandanya, PDS berhasil masuk 10 besar dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004. Namun karena tidak mencapai 3 % dari total keseluruhan, PDS tidak berhak mengusung calon presiden. Harapan Hutasoit untuk maju ke RI-1 pun kandas. Namun bukan berarti langkah dan missi Hutasoit dengan bendera partai Kristennya mundur, untuk mencari amannya, PDS pun mendeklarasikan dukungannya kepada pencalonan Megawati dan Hasyim Muzadi yang memakai kendaraan politik PDIP. Dalam sambutannya Hutasoit mengatakan, program ke depannya, pemerintah harus menghapuskan disparitas wilayah Indonesia Timur dan Barat. Pernyataan Hutasoit itu berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah di Indonesia yang katanya sulit dibandingkan dengan membangun rumah maksiat. Terutama membangun gereja-gereja yang menurut Hutasoit selalu mengalami hambatan. Oleh karena itu, dalam kontrak politiknya dengan PDIP, Hutasoit melalui PDS-nya mengajukan 5 perjanjian tertulis yang poin kelima bunyinya antara lain; “Menghilangkan diskriminasi kelompok minoritas dan persamaan hak dalam karier.”8
Poin tersebut menekankan pada kalimat “diskriminasi minoritas”. Karena selama ini, Hutasoit merasa bahwa telah terjadi diskriminasi terhadap umat Kristen yang minoritas. Diskriminasi tersebut menurut pandangan Kristen adalah karena adanya undang-undang atau peraturan dari pemerintah sendiri. Oleh karena itu, PDS siap mendukung pasangan Megawati dan Hasyim asalkan bersedia memperjuangkan dua agenda yang merupakan penjabaran dari poin kelima kontrak politiknya dengan PDIP. Dua agenda tersebut adalah:
1. Pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Meteri Agama No. 1/1969 yang bunyinya antara lain: Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
2. Pencabutan UU Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini berisi antara lain: Kewajiban sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswa.9
PDIP rupanya bersedia memperjuangkan agenda politik PDS. Dan PDS pun siap menyokong pencalonan presiden dan wakil presiden antara Megawati dan Hasyim. Padahal sebelumnya, kontrak politik PDS tersebut pernah disodorkan kepada Salahudin Wahid, cawapres dari Golkar. Tetapi Salahudin yang tak lain adalah adik Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak berani menerima tuntutan yang diajukan PDS. Lalu PDS sempat juga menjajaki kemungkinan berkualisi dengan Partai Karya Peduli Bangsa. Syaratnya, Hutasoit menjadi wakil presiden mendampingi Tutut. Putri mantan Presiden Soeharto itu ternyata memilih Zaenudin Mz sebelum akhirnya kemudian batal mencalonkan diri.
Gugur bersanding dengan Tutut, PDS disebut-sebut sebagai salah satu partai yang dibawa Tutut untuk mendukung Wiranto. Pernyataan itu dikemukakan oleh pengacara Elza Syarif, mediator dukungan Tutut kepada Wiranto. Namun akhirnya PDS menentukan pilihan ke PDIP. Karena, hanya PDIP-lah yang bersedia menerima tuntutan yang diajukan oleh PDS. Dan selain lima tuntutan tertulis, Hutasoit juga mengemukakan ada lagi tuntutan yang lebih spesifik. “Tuntutan yang lebih spesifik akan disampaikan sambil berjalannya pemerintahan,” kata Hutasoit.10
Keberhasilan PDS dalam meloloskan kepentingan kaum Kristiani yang akan diemban oleh para wakilnya yang duduk di bangku legislatif, tidak lepas dari peran Hutasoit yang aktif keliling menggalang dukungan dari dalam dan luar negeri. Pada Februari 2002, pimpinan PDS ini dikabarkan bertemu dengan Presiden AS George W Bush dan beberapa anggota kongres. Ia minta restu dan dukungan dari Presiden AS yang dijuluki “Presiden Perang” itu karena George W Bush juga memiliki missi yang sama dengan Hutasoit dalam penyebaran agama Kristen.11
Sedangkan menurut penyelidikan Presedium Forum Komunikasi Lembaga Pembina Mualaf, Irene Handono, gagasan dan kegiatan proyek Yusuf 2004 yang targetnya para pemimpin di legislatif dan eksekutif adalah orang Kristen, ternyata sudah disiapkan 20 tahun lalu.12 Jadi tidak menutup kemungkinan kalau pada Pemilu 2004 kepentingan politis orang Kristen yang diwakili oleh partai PDS baru mencapai 12 kursi di DPR, pada pemilu-pemilu selanjutnya bisa jadi lebih banyak lagi.
“Dengan pertolongan Yesus Kristus dan dukungan semua komponen bangsa, PDS akan menjadi suatu kekuatan politik yang menentukan atau setidak-tidaknya turut menentukan dan diperhitungkan,” kata Ruyandi Hutasoit dalam pidato politiknya saat mendeklarasikan PDS.
Sebelum adanya PDS, pada awal jaman kemerdekaan, kehidupan politik Kristen di Indonesia melalui partai yang berasaskan kekristenan juga sudah ada. Di antaranya adalah Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang salah satu tokohnya adalah Manixius Hutasoit, bapaknya Ruyandi Hutasoit (Ketua Umum PDS).
Parkindo didirikan pada tanggal 18 November 1945 sebagai penjelmaan dari Partai Kristen Nasional (PKN) yang dipimpin oleh D. W.I. Yohannes. Sedangkan di Sumatera ketika itu didirikan juga Partai Kristen Indonesia (Parki). Namun pada bulan Maret 1947, pemimpin dari kedua partai ini bertemu di Malang dalam kesempatan sidang Komite Nasional Pusat. Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat untuk bergabung. Maka, tanggal 19 April 1947 Parki mengadakan kongres di Prapat dan memutuskan melebur serta bergabung pada Parkindo.
Selain Parkindo, ada juga Partai Katolik (PK) yang didirikan di Yogyakarta oleh Kongres Umat Katolik seluruh Indonesia pada tanggal 12 Desember 1949. Partai ini sebagai penjelmaan fusi dari beberapa partai katolik yang telah ada. Di antaranya adalah;
1. Partai Katolik Republik Indonesia (P.K.R.I.) yang didirikan di Surakarta.
2. Partai Katolik Rakyat Indonesia (P.K.R.I.) yang didirikan di Makasar.
3. Partai Katolik Rakyat Indonesia (P.K.R.I.) yang didirikan di Flores.
4. Partai Katolik Indonesia Timur (Parkit) yang didirikan di Timor.
5. Persatuan Politik Katolik Flores (Perkokaf) yang didirikan di Flores.
6. Permusyawaratan Majlis katolik (Permakat) yang didirikan di Menado.
7. Partai Katolik Indonesia Kalimantan (Perkika) yang didirikan di Kalimantan.13
Melihat banyaknya partai-partai politik yang berasaskan Kristen pada awal kemerdekaan, merupakan sebuah kepentingan yang tentu saja demi jayanya agama Kristen. Dan pemikiran politis Kristen berkembang secara agak serius sejak 1950, diawali lahirnya DGI dan partisipasi gereja-gereja Indonesia dalam WCC (World Council of Churches/Dewan Gereja-gereja se-Dunia).
Peran politik Kristen dari tahun 1950 hingga sekarang bersifat permanen monirity parties. Di mana pemikiran itu berkisar pada pokok dasar-dasar partisipasi Kristen dalam bidang politik. Di mana mereka menegaskan bahwa gereja tidak dapat diidentikan dengan sistem politik dan partai politik. Namun mereka menugaskan secara terus menerus kepada gereja untuk mempersiapkan anggota-anggotanya agar turut serta sebagai orang-orang Kristen yang bertanggung jawab dalam bidang politik.14 Karena itulah, seiring perjalanan politik, dan peralihan kekuasaan dari jaman orde lama ke orde baru, peran politik melalui partai-partai pun dileburkan. Seperti yang diketahui, pada jaman orde baru, tiga partai yang ada hanyalah Golkar, PPP dan PDI. Aktivis gereja dan tokoh-tokoh pilitik Kristen pun akhirnya melebur ke partai Golkar dan PDI. Sedangkan partai-partai yang berasaskan Islam, ketika itu disatukan dalam PPP.

Sepak Terjang Politik Kristen
Menoleh ke belakang lebih jauh lagi untuk melihat sepak terjang politik kaum Kristiani, sebenarnya sudah muncul sejak abad XVI, di saat bangsa Indonesia masih dalam cengkraman penjajah.
Peran politik kaum kristiani yang dibawa oleh penjajah Portugis mempunyai misi penyebaran agama di bumi Nusantara. Orang-orang Spanyol dan Portugis menjelang abad XVI sengaja datang ke berbagai pelosok dunia, antara lain untuk memerangi agama lain di luar Kristen, dan menggantikannya dengan agama Kristen. Ekspansi ini sebagai tindak lanjut dari perang salib. Tak heran kalau orang-orang Portugis yang datang ke Indonesia sebagai penjajah dalam misinya menggunakan kekerasan. Karena patokan mereka adalah jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap agama di luar Kristen.
Selain itu, organisasi dagang Belanda – VOC (Verenigde Oost Indische Companie) yang didirikan tahun 1602 dan dibubarkan tahun 1799, ketika mewajibkan penyebaran agama Kristen di tanah jajahan, juga melakukan hal yang sama seperti apa yang pernah dilakukan Portugis, yaitu dengan cara kekerasan atau dipaksa. Yang jelas targetnya adalah, bumi Nusantara bisa di Kristenkan.15 Dengan jalan apa pun, bukanlah masalah. Karena bagi penganut Kristen, perintah itu sudah dimandatkan dalam Bibel, Kitab Roma Pasal 3 ayat 7 yang berbunyi:
“Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?”.
Juga dalam Bibel Kitab Roma pasal 5 ayat 20 mengatakan:
“Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”
Jadi, dusta atau berbuat dosa dengan cara kekerasan atau memaksa demi berkembangnya agama Kristen seperti yang dilakukan oleh penjajah Portugis dan Belanda dalam menyebarkan agama Kristen bukanlah masalah. Karena al-Kitab pun tidak melarangnya.
Lalu pada tahun 1661, peran politik dan kepentingan Kristen di bumi Nusantara agar lebih kuat dan mengakar, VOC Melarang penganut agama lain untuk melakukan ajaran dan kewajiban yang diyakini. Tetapi sebaliknya, memberi dukungan bagi siapa saja yang mau masuk ke agama Kristen. Pidato tahunan raja Belanda pada September 1901 antara lain menekankan kewajiban etis dan tanggungjawab moral pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat di Hindia Belanda, yakni memberikan bantuan lebih kepada usaha penyebaran Kristen.
Yang paling berpengaruh sepakterjang politik Kristen ketika itu adalah apa yang dilontarkan seorang Katolik yang juga anggota parlemen Belanda bernama Bogart. Dalam pernyataannya ia menegaskan, andai kata kemakmuran di Jawa tidak bisa diperbaiki, maka kesalahan tersebut berasal dari luar agama Kristen. Pernyataan Bogart itu tentu saja membuat gerah agama lain. Dan kalau orang yang beragama di luar Kristen tidak mau disalahkan, sudah tentu mereka harus masuk Kristen. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau pindah agama, akan mendapatkan perlakuan kekerasan atau dipaksa sampai masuk Kristen.16

Awal Peran Politik Kristen
Pada mulanya, peran politik Kristen pada jaman penjajahan Belanda di pusatkan di Maluku. Dari data sejarah yang ada, Belanda dalam menjajah Nusantara menjadikan Maluku sebagai wilayah yang pertama yang berhasil dikuasainya.
Politik Kristen pun bermain di sana. Belanda setelah menguasai Maluku tahun 1620, lalu menduduki Jayakarta tahun 1619.17 Setelah itu, Belanda pun melancarkan politik Kristenisasi. Dan bagi orang Maluku yang telah beralih agama atau konversi menjadi penganut agama Kristen, oleh pemerintah kolonial Belanda ketika itu digolongkan tidak lagi sebagai pribumi, melainkan berubah statusnya sebagai warga negara Eropa. Mereka juga mendapatkan fasilitas khusus. Antara lain, sekolahnya dipisahkan dari kelompok pribumi. Banyak pula orang Maluku yang masuk tentara Belanda, dan memegang jabatan penting pada perkantoran pemerintahan kolonial.18 Mereka inilah yang akhirnya disebar ke kawasan-kawasan militer Belanda di pulau Jawa; Batavia, Semarang dan Surabaya. Dan mereka pulalah yang pertama-tama membentuk jemaat Kristen pribumi (bukan orang Belanda.)
Sedangkan politik Kristenisasi di Jawa dimulai pada masa kekuasaan Inggris di Hindia Belanda. Pada tahun 1813, seorang Inggris bernama Robinson datang ke Batavia untuk mengkristenkan kaum pribumi. Tahun berikutnya, 1814, London Missionary Sosiety (LMS) mengirimkan missionaris ke Hindia Belanda, masing-masing bernama Kam, Supper, dan Bruckner. Meskipun hanya Supper dan Bruckner yang diutuskan di Jawa, tetapi sebelum berangkat ke tempat tugasnya di Maluku, beberapa saat Kam sempat tinggal di Surabaya dan sempat mengkristenkan Emde. Ketika Kam menjalankan misinya ke Maluku, Emde inilah yang kemudian bergiat melakukan Kristenisasi di Surabaya. Supper bertugas di Batavia, dan Bruckner menentap di Semarang. Selama misi politik Kristennya, Bruckner telah berhasil merampungkan terjemahan Injil Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa.19
Ditinjau lebih jauh, di antara empat bangsa yang pernah menjajah wilayah Nusantara seperti Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris, di samping untuk kepentingan duniawi dengan mengambil sumber kekayaan alam yang dimiliki negara jajahannya, ternyata mempunyai missi yang sama. Yakni bagaimana menjadikan bumi Nusantara ini sebagai wilayah Kristen.
Hasil akhir politik Kristen yang dijalankan oleh empat bangsa penjajah, meski tidak sampai target yang ingin dicapainya, yaitu menjadikan bumi Nusantara sebagai wilayah Kristen, tetapi telah berhasil secara emosionl kepada kaum pribumi yang telah dikristenkan hingga Indonesia merdeka. Seperti di Timor Timur misalnya. Sebelum wilayah tersebut berdaulat menjadi sebuah negara melalui refrendum (Sekarang Timor Leste) tahun 1999, wilayah yang berdekatan dengan negara Australia secara geografis itu diketahui mayoritas penduduknya beragama Katolik. Keyakinan agama bagi penduduk setempat tidak bisa dipungkiri merupakan andil besar dari politik Kristen penjajah Portugis yang pernah bercokol di sana.
Perjuangan politik Kristen di Timor Timur begitu gencar dalam rangka membuat wilayah tersebut menjadi negara Katolik. Terlepas dari adanya kepentingan politik dan konflik yang terjadi di sana, penulis masih ingat betul pernyataan seorang rekan asal Timor Timur ketika wilayah tersebut masih menjadi bagian dari Indonesia.
“Tidak sampai tahun 2000, Timor Timur pasti akan terpisah dari Indonesia,” begitu pernyataan rekan penulis asal Timor Timur itu.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Karena menurut rekan tersebut yang saat ini telah menjadi tokoh pemuda di Timor Leste, perjuangan mereka didukung oleh pihak luar seperti Amerika dan Vatikan. Sedangkan pejabat-pejabat pemerintahan yang ketika itu dipegang oleh orang Timor Timur sendiri, merupakan bola salju yang pada saatnya akan menggelinding menjadi kekuatan persatuan dalam rangka membentuk negara Timor Leste. Jadi rasa nasionalis mereka terhadap NKRI sama sekali tidak terpatri di hati. Dan itu terbukti ketika seiring era reformasi bergulir, Timor Timur menuntut Refrendum, dan suara terbanyaklah yang menginginkan Timor Timur terpisah dari NKRI.
Keluarnya Timor Timur dari NKRI sebagai suatu kesempatan bagi RMS untuk mendapatkan dukungan politik dan logistik dari Dili. Bahkan sebelumnya mereka sempat berencana untuk mendirikan “Republik Malanesia Raya” yang mencangkup Papua, Maluku Selatan dan Timtim. Ketiga wilayah ini memang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sehingga isu agama dalam mencapai kesamaan visi pun sempat digulirkan. Dan hal itu menyebabkan upaya pendirian RMS ke depan tidak pernah akan luntur. 20
Sikap politik kaum penjajah Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda yang tidak senang terhadap orang-orang yang beragama di luar Kristen, terwarisi dengan baik oleh orang-orang bumiputra yang telah menjadi Kristen. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya desintegrasi di bumi pertiwi. Setelah Timor Timur melepaskan diri dari NKRI, kini Maluku dengan RMS-nya terus menggrogoti keutuhan berbangsa dan bernegara. Militannya RMS merupakan ikatan emosional idiologi yang mengacu pada upaya merealisasikan pembentukan negara Protestan setelah Timor Timur berhasil menjadi negara merdeka Katolik.
Prinsip itulah yang tidak pernah dilirik, atau mungkin sengaja dikesampingkan oleh para pengamat politik, sosiolog dan psikolog serta para pimpinan LSM yang sering memberikan penilaian atau tafsiran macam-macam terhadap pergerakan yang didalangi oleh kepentingan politik Kristen yang disokong oleh luar negeri, dan tentu saja punya kepentingan politik untuk menyebarkan agama Kristen di bumi Pertiwi seperti missi yang pernah mereka lakukan pada saat masih menjajah di wilayah Nusantara. Padahal sudah jelas, dalam kerangka NKRI pergerakan mereka untuk memisahkan diri merupakan tindakan yang separatis.

RMS dan Negara Kristen
Target politik Negara Protestan di Maluku tidak terlepas dari peran negara Belanda yang telah berhasil menyebarkan missi Kristenisasi di sana. Sejarah mencatat, pada tanggal 25 April 1950, Orang-orang Kristen di Maluku telah memproklamirkan Negara Republik Maluku Selatan. Tentu saja tindakan politik ini ketika itu didukungan sepenuhnya oleh kolonial Belanda.
Pada mulanya, sikap para pemimpin Maluku saat itu baru sebatas reaksi atas disepakatinya Pancasila (baca; Piagam Djakarta), yang di dalam sila pertamanya menetapkan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dan melalui seorang opsir Jepang yang datang kepada Mohammat Hatta, mereka mengusulkan agar tujuh kata-kata tersebut dicabut. Sebab kalau tidak, mereka mengancam akan keluar dari Republik Indonesia Serikat (RIS) serta membentuk negara sendiri.
Demi menjaga keutuhan bernegara yang baru merdeka, akhirnya usulan dari pihak RMS disetujui. Kendati demikian, meskipun tujuh kata-kata tersebut kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana kini tercantum di dalam sila pertama Pancasila berdasarkan kesepakatan bersama, namun para tokoh Kristen di Maluku tetap memproklamirkan juga berdirinya RMS.21
Pembentukan RMS didukung sepenuhnya oleh komonitas Kristen di Maluku saat itu dan juga pasukan elit RMS mantan pasukan KNIL asal Ambon dan Lease (Saparua) yang sangat populer dengan istilah “Baret Merah dan Baret Hijau.” Pasukan KNIL inilah yang menjemput Anggota Dewan Maluku Selatan dan kepala pemerintahan setempat untuk rapat persiapan proklamasinya RMS di Gedung Batu Gajah (Sekarang Kodam XVI/Pattimura) pada tanggal 24 April 1950, satu hari sebelum RMS diproklamirkan. 22
Pola penjajah dalam pemaksaan kehendak untuk melegalkan berdirinya RMS diadopsi hingga banyak menimbulkan kekerasan terhadap orang-orang Maluku yang tidak beragama Kristen dan tidak mendukung berdirinya RMS.
Pembelajaran dari penjajah yang telah berhasil memaksakan kehendak untuk siapa saja yang harus dikristenkan inilah yang benar-benar diterapkan oleh RMS untuk mendirikan negara Protestan. Padahal dalam Surat Matius Pasal 7 ayat 16 mengatakan;
“Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.”
Dan Surat Matius Pasal 7 ayat 17 mengatakan:
“…Sedangkan pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik.”
Generasi muda Maluku yang lahir tahun 1950 bisa dipastikan tidak merasakan betapa kejamnya pasukan elit RMS yang langsung mengeksekusi orang-orang yang melawan atau dianggap pro terhadap NKRI.23
Pada bulan Oktober 1950, pasukan TNI datang ke Ambon untuk menumpas gerakan RMS. Meski mendapat perlawanan yang kuat dari pasukan elit RMS dalam baku tembak yang banyak memakan korban, akhirnya TNI berhasil mendesak pasukan RMS ke kota. Petinggi-petinggi RMS terdesak hingga ke pegunungan di sekitar Ambon dan kemudian melarikan diri ke Pulau Seram.
Dari Pulau Seram, RMS tetap menjalankan aksi-aksi pemberontakannya. Hingga tahun 1960, akhirnya beberapa petinggi RMS berhasil ditangkap, meskipun tidak sedikit pula yang pergi mencari suaka ke negeri Belanda. 24
Sekarang, sudah lebih dari setengah abad peristiwa itu terlewati, tetapi bukan berarti gerakan RMS sudah mati. Pada tahun 1999, masih hangat dalam ingatan bangsa Indonesia, di mana reformasi tengah bergulir, pada 19 Januari 1999 itu Ambon kembali bergejolak. Dan pemicunya adalah tindakan kekerasan yang dilakukan orang Kristen terhadap agama lain. Kejadian tersebut pada awalnya tidak pernah dianalisi sebagai embrio kembalinya orang-orang RMS dari Belanda ke Ambon.25 Setelah era reformasi, pemerintahan Indonesia memang banyak membebaskan para tapol. Musuh politik pemerintah Indonesia yang berada di luar negeri pun ketika itu berbondong-bondong datang kembali ke tanah air. Hal tersebut terjadi mengingat kebebasan berpendapat telah dijamin haknya oleh pemerintahan reformasi. Tak terkecuali anggota RMS yang banyak mencari suaka ke luar negeri. Terutama negeri Belanda yang dianggap sebagi ibu asuhnya atau induk semangnya.
Kebebasan berpendapat pun diartikan berlebihan oleh orang-orang RMS. Mereka berkeyakinan bahwa dengan adanya reformasi, cita-cita berdirinya RMS yang sempat tertunda dari tahun 1950 mungkin dapat terealisasi. Jalan satu-satunya adalah menyingkirkan orang-orang yang pro NKRI di tanah Maluku.
Dan … konflik itu pun terjadi.
Ambon membara.
Ambon berduka.
Pemberitaan melalui media cetak maupun elektronik berusaha diredam, agar konflik tersebut tidak meluas ke wilayah lain. Tetapi siapa pun tahu, tragedi di Ambon adalah tragedi kemanusiaan yang begitu biadab yang pernah terjadi di alam kemerdekaan Indonesia. Tragedi itu merupakan lembaran sejarah hitam yang dapat merobek kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Ribuan mayat-mayat tak berdosa pun bergelimpangan di sana. Rumah, dan gedung-gedung untuk sarana umum rata dengan tanah. Ambon menjadi kota yang menakutkan untuk orang-orang yang mengimpikan hidup tenang dalam kedamaian.
Berbagai upaya guna menciptakan Ambon kembali damai pun dilakukan. Tanggal 2 Desember 1999, Forum Solidaritas Maluku Se-Jawa dan Bali yang terdiri dari pemuda-pemudi lintas agama menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan kerusuhan. Sepuluh hari kemudian, seruan tersebut disikapi positif oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri dengan berkunjung ke Ambon dan berdialog kepada masyarakat serta para tokoh pemuka agama disana. Lalu tanggal 15 Januari 2000, Presiden KH Abdurrahman Wahid atas nama pemerintah mengingatkan agar “tangan-tangan jahat” yang mendalangi kerusuhan di Ambon segera menghentikan tindakan mereka. Bila tidak, pemerintah mengancam akan bertindak keras dan tegas.26
Berbagai gagasan dan pertemuan terus digalang guna mencari titik temu untuk menghentikan konflik yang berkepanjangan. Hingga pada tanggal 11-12 Februari 2002, pertemuan dua kelompok yang bertikai pun diadakan di kota wisata Malino, Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan. Pada pertemuan tersebut kedua belah pihak yang berkonflik menyepakati 11 butir kesepakatan damai. Pada tanggal 1 Maret 2002, kerinduan masyarakat mengakhiri konflik komunal tiga tahun tak bisa dibendung lagi. Masyarakat Kristen maupun non Kristen di Ambon secara spontan melampiaskan kegembiraan dengan mengadakan konvoi, saling mengunjungi, berjalan-jalan atau berbelanja ke wilayah komunitas lain. Luapan kegembiraan dalam pawai perdamaian itu berlangsung tiga hari di seluruh wilayah Ambon. Keamanan di ibu kota provinsi seribu itu dalam setahun pasca konflik itu berangsur-angsur terus membaik.27 Kehidupan kembali normal dengan menjunjung budaya pelagandong (hidup rukun berdampingan dalam beda agama.).

Turut Campur Tangan Asing
Namun pada tanggal 25 April 2004, belum sembuh benar peristiwa 1999-2002 ini merobek rasa kebangsaan kedua kelompok masyarakat yang kehidupannya hancur dan masa depannya terampas oleh konflik berkepanjangan, tiba-tiba perang saudara (sipil) jilid dua kembali mengancam warga Ambon.28
Peristiwa tersebut begitu mengejutkan bagi bangsa Indonesia. Karena kerusuhan itu terjadi, menyusul insiden peringatan 54 tahun RMS yang dilakukan Front Kedaulatan Maluku (FKM).
Peristiwa itu terjadi begitu saja.Tetapi dari kronologisnya, nampaknya RMS bukan hanya sekadar merayakan hari ulang tahunnya dan mengibarkan bendera, tetapi seperti ada rencana yang besar dari itu semua.
Pukul 09.00 pagi, rumah Alex Manuputty dipenuhi oleh simpatisan FKM/RMS yang ingin memperingati 54 tahun RMS. Acara pun dilakukan, tak kurang dari 1000 orang datang dan memenuhi jalan-jalan. Sebuah pidato yang ditulis oleh Alex Manuputty dari Amerika, tepatnya dari California, tempat persembunyian Alex dalam menyusun langkah sepakterjang RMS di Maluku, dibacakan oleh Sekjen FKM, Mozes Tuanakotta.29
Berikut petikan pidato Alex Manuputty yang dicakan Mozes Tuanakotta dalam rangkan menyambut 54 tahun RMS:

Upu Ama, Upu Ina. Ama, Ina, Wate, Jojaro, Mongare dan Anak-anak Bangsa Maluku/Alif’uru/Ina/Cikal bakal Malanesia dan Polinesia yang Tuhan sayang siang dan malam. Basudara Bangsa Alif’uru yang beta kasihi, yang beta tidak pernah lupa walaupun beta ada di negeri orang.
Terimalah salam kebangsaan katong. Mena! Mena! Mena! Terimakasih, Tuhan menyertai kalian semua.
Hari ini, tepat tanggal 25 April 2004 yang jatuh pada hari minggu, Hari Tuan. Hari ini seluruh anak bangsa Maluku bersuka cita dalam Tuhan, hari ini seluruh anak bangsa Maluku bersyukur pada Tuhan, sebab Tuhan mengizinkan terlaksananya HUT Proklamasi kemerdekaan RMS yang ke 54.
Semua karena Tuhan, FKM (Forum Kedaulatan maluku) hanya menanam dan menyirami, tetapi Allah-lah yang menumbuhkan.
Jikalau hari ini kita boleh bersorak sorai, adalah karena Tuhan! Jikalau hari ini kita boleh berpenghibur, adalah karena Tuhan.
Barangsiapa mengandalkan Tuhan akan mewarisi negeri (Mazmur 37:9). Barang siapa mengandalkan Tuhan tidak akan dipermalukan (Yesaya 49:23). Barang siapa mengandalkan Tuhan akan diberkati (Yeremia 17:7).
Saya bangga sebagai anak bangsa Maluku! Saya bangga sebagai anak bangsa Alif’uru! Saya bangga sebagai anak bangsa Ina!Kenapa demikian, justru karena Maluku/Alif’uru/Ina/ adalah jatidiri kita! Adalah harga diri kita! Adalah mutiara katong!
Maluku/Alif’uru/Ina adalah tanah perjanjian bagi kita dan anak cucu kita. Tanah yang Tuhan sudah berikan lewat datuk-datuk, tanah yang berlimpah dengan susu dan madu-Nya. Saya bangga dalam Tuhan sebab busu-busu Tanah Maluku sudah menjadi berkat bagi banyak bangsa di bumi. Jelek-jelek tanah Maluku telah menjadi berkat buat Indonesia jaya selama 54 tahun.
Sekarang Maluku sudah sangat dewasa. Maluku adalah ibarat seseorang yang telah mencapai setengah umur sesuai dengan bahasa Alkitab! Maluku telah banyak makan asam garam kehidupan, Maluku sudah banyak mengalami pahit getirnya kehidupan.
Maluku mengerti tentang penghianatan! Maluku mengerti tentang kedudukan dan harta yang menyesatkan! Maluku mengerti tentang kepentingan pribadi! Maluku menyadari arti sebuah penderitaan dan kesengsaraan! Dan dari semuanya itulah Maluku belajar!
Pengalaman merupakan guru yang baik bagi Maluku. Maluku menyadari tentang arti sebuah kehidupan bersama Tuhan! Itulah kehidupan yang berarti bagi Tuhan dan semua-Nya.
Kenapa hari ini ada bagi kita? Kenapa Tuhan siapkan hari ini bagi kita? Kenapa harus merayakan HUT proklamasi dan kemerdekaan RMS yang ke 54? Karena hari ini Tuhan punya maksud dengan Maluku. Tuhan punya maksud dengan kita.
Front Kedaulatan Maluku (FKM) memuliakan hari ini, karena hari ini adalah untuk mengakhiri penjajahan Indonesia (Jawa) atas Maluku (Spice Island). Mengakhiri aktivitas pemerintahan penjajah dan tentara pendudukan Indonesia (Jawa) atas maluku sejak kurun waktu 13 Juli 1950 sampai saat ini telah mengakibatkan:
1. Sekitar 20.000 rakyat Maluku Selatan mati sebagai akibat anaksasi Indonesia (Jawa) atas Maluku (Negara RMS 25 April 1950) melalui agresi militer/kekerasan bersenjata.
2. Sekita 12.000 rakyat Maluku Selatan menjadi pengungsi di negeri Belanda. Sekarang telah mencapai 70.000.
3. Penangkapan, penyiksaan dan penghukuman di luar batas prikemanusiaan atas tokoh/pejuang RMS.
4. Transmigrasi ilegal Jawa atas maluku mulai tahun 1955 di Karatu, Pulau Seram, yang kini telah merasut sampai ke sumsum tanah pusaka Maluku.
5. Pelanggaran Hak Asasi Maluku di mana-mana.
6. Perampokan habis-habisan atas sumber daya Maluku (Kayu, Minyak, Hasil Laut dan sumber lainnya).
7. Perusakan sistem pertanian dan perkebunan Maluku oleh transmigrasi Jawa.
8. Sekitar 40.000 rakyat Maluku akibat skenario Jawa dan Islam garis keras atas maluku melalui tragedi kemanusiaan Maluku 19 Januari 1999 sampai kini.
9. Sekitar 16.000 rakyat Maluku menjadi pengungsi di seluruh Indonesia.
10. Ribuan rakyat Maluku menderita cacat fisik dan mental.
11. Puluhan ribu anak-anak menjadi yatim piatu.
12. Ratusan negeri adat hancur dan ratusan ribu rumah musnah.
13. Pengislaman dan penyunatan paksa terhadap masyarakat Kristen di atas 6.000 orang (Seram Tengah, Timur, Barat Utara) belum termasuk maluku Utara.
14. Sekitar 350 gedung gereja dan sekitar 100 masjid rata dengan tanah.
Pemuda pemudi Maluku yang beradab dan berbudi pekerti luhur! Inilah hasil yang kita/Maluku dapatkan dari Indonesia! Inilah UPAH yang Maluku terima dari Indonesia! Inilah hadiah yang Indonesia berikan buat kita/ Maluku selama 54 tahun.
Hanyalah kematian! Hanyalah kesengsaraan! Hanyalah puing-puing kehancuran!
Hanyalah yatim dan atau piatu! Hanyalah cacat! Hanyalah perampokan sumberdaya alam! Hanyalah kemunafikan yang dipertontonkan kepada Maluku dan lain-lain sebagainya.
Adakah hadiah-hadian ini sebanding dengan kekayaan yang sudah Maluku berikan buat Indonesia? Adakah kebaikan yang telah Indonesia berikan bagi Maluku yang sudah berkorban bagi Indonesia selama ini? Ataukah bahwa kebaikan yang diberikan hanyalah kepada anjing-anjing kurap penjilat pantat Jawa? Hanyalah kepada anjing-anjing kurap penghianat Maluku yang menjadi kesulungan bangsa Maluku.30

Pidato tersebut dibacakan Mozes dengan semangat perjuangan RMS. 15 menit setelah pembacaan pidato yang dikirim jarak jauh itu, tepat pukul 10.00 bendera RMS dikibarkan. Dan saat pengibaran itulah aparat setempat yang berada di lokasi setempat tidak bertindak apa-apa, seakan membiarkan simpatisan RMS merayakan hari ulang tahunnya.
Melihat pasifnya kepolisian, FKM/RMS kian antusias. Balon udara yang membawa bendera RMS menjelang tengah hari di terbangkan. 15 menit kemudian, Mozes ditangkap oleh petugas dan digiring ke Mapolda Maluku, Ambon.
Melihat hal tersebut, massa jadi beringas. Dengan berjalan kaki, massa RMS berpawai menuju Mapolda. Sepanjang perjalanan mereka mengibarkan bendera RMS sambil berteriak – “Bebaskan! Bebaskan! Bebasakan!”. Iring-iringan itu melewati perkampungan non Kristen. Hal inilah harusnya yang sudah bisa diantisipasi oleh aparat keamanan. Karena begitu melewati perkampungan non Kristen, antara massa RMS dan massa yang cinta tanah air itu pun bentrok. 31
RMS sepertinya sudah siap dengan kejadian itu. Di Batu Merah, Merdika, juga Waringin, massa RMS sudah siaga. Bahkan begitu terjadi kerusuhan, penembak gelap (Sniper) dari pihak RMS pun berkeliaran.
Letupan bom dan bentrokan antar massa yang pro NKRI dengan RMS pun kembali terjadi. Dalam hitungan hari, puluhan korban berjatuhan. Kendali aparat yang demikian lemah dan cenderung bersikap “membiarkan” terhadap FKM yang merayakan hari ulang tahun RMS, memang melahirkan tandatanya besar. Ada apa gerangan dengan mereka? Karena selama tiga tahun berturut-turut yaitu tahun 2001, 2002, dan 2003 setiap tanggal 25 April, RMS bebas mengibarkan benderanya.
Pada hari ke-empat kerusuhan, tercatat 27 orang yang terkena sniper. 22 di antaranya tertembak di kepala, dua di rusuk, duanya lagi di perut, dan satu di dada. Jumlah keseluruhan yang tewas terkena sniper dan bentrokan masa pada hari ke-empat itu mencapai 36 orang. Bahkan dua anggota Brimob juga terkena sniper.32
Hal tersebut membuat Menteri Koordinator Politik dan keamanan (Menko Polkam) ad interim Hari Sabarno, didampingi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kapolri Jendral Polisi Da’i Bachtiar langsung mengadakan tatap muka dengan Gubernur Maluku, Pangdam XVI Pattimura, Kapolda Maluku, dan tokoh agama setempat. Baik agama Kristen maupun Islam.
Pertemuan diadakan di ruang tunggu VIP. Karena menurut aparat, mereka tidak mau kecolongan. Mereka mengaku ingin belajar dari pengalaman, di mana setiap pejabat yang datang saat konflik terjadi di Ambon selalu dihadang dan dilempari massa. Apalagi ketika itu aparat keamanan belum dapat menghentikan laju pertikaian.
Dalam pertemuan tersebut para pejabat pusat meminta masukan dari masyarakat dan para tokoh di Ambon untuk mengatasi konflik yang sudah kadung akut terjadi. Para tokoh agama dan pejabat terkait sepakat mengutuk gerakan separatis RMS. Mereka meminta pemerintah untuk menindak tegas gerakan separatis itu.
Dari komunitas non Kristen meminta agar pemerintah memberlakukan darurat militer di Maluku guna mencegah konflik yang berkepanjangan dan lebih luas lagi seperti yang terjadi tahun 1999. Dengan begitu, diharapkan pemberontakan RMS dapat cepat diberantas. Namun keinginan itu ditolak pihak Kristen. Melalui Ketua Gereja Protestan Maluku (GPM), IW J Hendriks, dia berpendapat bahwa warga Kristen memandang tidak ada alasan yang kuat untuk memberlakukan status tersebut di Kota Ambon. Hendriks juga membantah anggapan bahwa orang Kristen di Maluku adalah pendukung RMS.32
Tetapi menurut pengakuan sejumlah personil Brimob yang bersiaga di Kantor Gubernur Maluku ketika konflik itu terjadi, sniper yang berkeliaran ketika itu berada di gedung tinggi berwarna putih di Batu Gantung Atas. Dan gedung tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Gereja Rehoboth.33 Letaknya yang berada di ketinggian membuat para sniper mudah mengintai sasaran tembaknya. Beberapa Brimob mengaku telah melihat penembak gelap itu berada di atas gereja tersebut. Mereka berseragam hitam-hitam dan menenteng senjata yang dilengkapi teleskop. Senjata milik sniper itu diyakini lebih canggih dari senjata yang dimiliki polisi. Dan tidak menutup kemungkinan, senjata-senjata tersebut didapat dari luar negeri. Entah pihak RMS yang membeli, atau memang ada dukungan persenjataan dari luar negeri.34
Dengan begitu, bentrokan yang terjadi di Ambon tidak menutup kemungkinan memang adanya turut campur tanggan asing. Karena menurut Amir Hamzah, penasehat Komite Penyelamat Maluku (KPM), kerusuhan di Ambon tidak lepas dari keterlibatan pihak asing. Beberapa negara asing menginginkan RMS keluar dari NKRI. Hal ini, kata Amir, diketahuinya setelah adanya pertemuan KPM dengan Dirjen Kesbang Depdagri dan Badan Intelejen Negara (BIN) setelah Alex Manuputty, ketua FKM dan Samuel Waeleruny, Pemimpin Yudikatif FKM, dibebaskan dari LP Tangerang menyusul berakhirnya penahanan dari majlis hakim tingkat kasasi berkaitan dengan tragedi Ambon tahun 1999-2002.35
Alex dan Samuel dibebaskan tanggal 8 November 2003. Setelah itu, mereka pergi ke Amerika pada tanggal 19 November 2003. Tanggal 3 Januari 2004, Kejaksaan Agung dan Departemen Luar Negeri minta Pemerintah AS mencabut visa dan mendeportasi Alex ke Indonesia menyusul ditolaknya permohonan kasasi Alex oleh MA. 36
Namun Pemerintah AS tidak merespon permintaan tersebut. Karena memang, dalam konvensi internasional bahwa seseorang yang terkait dengan persoalan politik tidak bisa ditangkap begitu saja ketika mereka sudah keluar dari negara yang bersangkutan tanpa persetujuan dari negara yang disinggahinya. Maka, melengganglah Alex dan Samuel di Amerika sana. Kendati demikian, bukan berarti pemberontakan Alex dengan RMS-nya berhenti sampai di sini. Karena dalam rangka menyambut 54 tahun berdirinya RMS, Alex masih mengobarkan semangat pemberontakan melalui pidato tertulisnya yang dikirim dari Amerika kepada anggota RMS yang ada di Maluku.
Dengan keberadaan Alex dan Samuel di luar negeri, dan dikaitkan meletusnya kerusuhan 25 April 2004 yang berbarengan dengan perayaan ulangtahun ke 54 RMS oleh FKM, tidak menutup kemungkinan adanya dukungan pihak asing yang mengkondisikan Ambon akan terus bergejolak sampai apa yang dicita-citakan politik Kristen untuk mendirikan negara Protestan melalui gerakan RMS-nya, sebagaimana Timtim yang berhasil mendirikan negara Katolik. Itukah cita-cita politik Kristen di tanah air ini?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun