Sebagian masyarakat disekitar kita mungkin sering mendengar istilah “cungkrik” yaitu minuman keras yang dioplos dengan berbagai tambahan unsur bahan laindiracik menurut selera si peminum sendiri. Biasanya tambahan yang dicampurkan tanpa memperhatikan takaran standar yang jelas, padahal ini bukan hanya membahayakan tapi juga bisa mengakibatkan kematian (keracunan). Kadang kita sering bertanya kenapa hal itu sering dilakukan oleh para pecinta minuman keras (minuman beralkohol), padahal ramuan minuman yang berkadar alcohol 70% itu sendiri sudah bisa membuat mereka menjadi hilang kesadaran dan kewajaran berfikir.
Rupanya para pecinta minuman ini tidak puas dengan takaran yang sudah biasa, mereka ingin mencoba yang lain agar cepat merasakan efek dari hasil ramuan minuman tersebut. Tapi sayang itu semua dilakukan dengan cara suka-suka , yang hanya mengikuti nafsu sesaat. Akibatnya adalah sering minuman oplosan ini memakan korban jiwa atau si korban bisa menjadi kabur penglihatannya (buta) atau menjadi tuli (susah mendengar).
Begitulah efek dari sesuatu apabila di Oplos sesuai selera, tapi tidak mengikuti dasar pengetahuan standar yang ada (pokoknya “semau gue ! “)
Nah Model Politik Oplosan inilah yang nampaknya sekarang dipakai dan dikembangkan terus oleh PKS yang dikomandoi oleh Anis Matta (dan didukung elite PKS lainnya). Politik Oplosan yang ditunjukan oleh elite PKS yang juga didukung oleh para kader taqlid butanya sangat kental dirasakan dalam kancah politik di negri ini. Masyarakat diluar sering dibuat bingung melihat manuver politik yang dilakukan oleh PKS, yang mana sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan partai lain yang katanya Nasionalis , Sekuler atau Neolib sekalipun. PKS bisa bergandengan tangan dan bekerjasama dengan siapa saja asalkan mendapat keuntungan bagi kelompoknya. Kalau peminum cungkir mengoplos karena tidak puas dengan yang biasa dan mencoba dengan tambahan lain untuk bisa cepat merasakan efek pengaruh dari minumannya, maka analoginya bisa dimiripkan dengan PKS yang mengoplos ideologinya karena ingin cepat (kebelet) untuk meraih kekuasaan dengan racikan strategi oplosan sendiri.
Perbedaan yang tidak begitu jelas semakin membingungkan, karena di tingkat praktek, partai politik ini tidak menjalankan policy sesuai platform.
Ya seperti yang namanya cungkrik” tadi dioplos. PKS mengoplos antara platform Islam nya dengan mengaku sebagai partai terbuka, tidak punya keinginan untuk memperjuangkan syariah, menjunjung tinggi pluralis, dan siap mengadobsi demokrasi liberal. Tapi semua itu adalah strategi para eliteyang dimunculkan dalam menjawab kritikan dari luar yang sering mengaitkan bahwa PKS sebagai partai exclusive.
Padahal bila diperhatikan prilaku kader2 mereka dibawahnya justru sering memunculkan isu /sentimen agama ditengah masyarakat dalam upaya mencari suara /simpati publik , bahkan kader dibawah terkesan ingin mengopoinikan bahwa PKS adalah partai yang paling Islami dibanding partai Islam lain.
Dilain sisi juga para kader PKS sering merespon kritik atau nasehatdari kalanganaktifis Islam lain dengan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mengkritik tapi tidak berbuat, lalu kader membuat pernyataan seolah keberadaan merekasedang meyelamatkan islam di parlemen. Seperti halnya pernyataan salah satu contoh kader berikut :
Dengan demikian disatu sisi para kader ingin menggambarkan bahwa mereka adalah partai Islam yangbisa mewakili aspirasi umat Islam, tapi dilain sisi para elite partainya justru bermanuver seolah semakin menjauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud politik Oplosan (ambigu) yang mencampur baurkan antara yang hak(benar) dan bathil (salah). Politik ini sering juga disebut sebagai politik bermuka dua (standar ganda) alias banci, karena tidak berani menunjukan jatidiri yang sesungguhnya.
Jadi isu yang dipakai dan dikembangkan antara kader dibawah dengan elite mereka diatas justru saling kontradiktif (berbeda). Para elite partai yang dikomandoi oleh Anis Mata Cs yang sering membuat manuver politik nyeleneh dengan mengesampingkan nilai keislamannya. Bukankah sudah diketahui bahwa ada Caleg non muslim (Kristen, hindu) dari PKS di daerah2 tertentu, bahkan PKS juga mendukung Cagub non Muslim di Papua. Belum lagi pernyataan dari elite mereka lain seperti HNW dan Fahri Hamzah yang mengatakan PKS tidak akan mengusung syariat Islam.
Caleg PKS ada yang Syiah juga ho !
Lucu dan Anehnya lagi adalah saat umat islam lain mengetahui bahwa ada Caleg PKS yang juga berpaham Syiah , PKS begitu panik untuk membantah dan tidak mengakui, padahal data dan bukti sudah menunjukan kebenaran faktanya. Asri Rasyid Caleg DPR PKS dari DapilSULUT 2 (no.urut 4) terindikasi adalah anggota Ahlul Bait Indonesia (Komunitas Syiah).
Beritanya cukup heboh diberbagai media Islam online, bahkan bantahan yang bersangkutan (Asri Rasyid) bahwa FB nya di hack telah dipatahkan oleh tweet(chripstory) ampuh dari @CumiCola berkut ini : http://chirpstory.com/li/191446
Padahal seharusnya kalau PKS konsekuen dengan pengakuannya sebagai partai terbuka , kenapa harus panik dan tidak mengakui kalo ada Calegnya yangterindikasi orang syiah, bukankah Caleg yang jelas-jelas non muslim saja diakomodir oleh para elite PKS. Inilah bukti kalau PKS itu Pragmatis dan selalu memainkan standar ganda dalam politiknya.
Berikut beberapa contohkomen bantahan para kader yang tidak mengakui ada calegnya yang Syiah. Lebih seru dan detail liat link dibawahnya.
Dikalangan pengkritik aktifis dakwah (TarbiyahbukanPKS)para kader PKS selalu mengatakan ‘Memangnya mau parlemen dikuasai oleh orang non Islam” Padahal bila dilihat track record selama PKS berada baik di parlemen maupun di eksekutif, tidak ada hal signifikan yang menunjukan bahwa PKS memperjuangkan nilai2 keislaman. Sebelumnya kita sering mendengar (Orang) PKS selalu mengatakan 'kami partai yang bersih, partai dakwah'. Itu adalah klaim mereka ditengah masyarakat untuk mencari simpati umat, namun pada prakteknya partai tersebut tidak pernah memperjuangkan ideologinya. Justru kita sering mendengar bahwa berlaku peraturan daerah (perda) syariah di daerah-daerah yang bukan menjadi basis kekuaaan PKS. misalnya, Lombok, Nusa Tenggara Barat, serta Tasikmalaya dan Indramayu, Jawa Barat. Lalu Provinsi Banten, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Ideologi partai tersebut (PKS) sudah dioplos dengan kepentingan sesaat yang lebih menunjukan pada prilaku pragmatis dan oportunis. Hal itu tampak dari politik transaksional yang kental berlaku di PKS terutama dalam setiap pemilihan kepala daerah atau Pemilu. Dalam pelaksanaan Pilkada PKS dikenal dengan partai yang suka meminta “Mahar Pilkada” untuk mengusung calon kepala daerah tertentu. Bukti otentik mungkin bisa diambil dari contoh pada saat Pemilihan Gubernur SulSel, dimana saat itu Cagub SulSel Ilham Arief Sirajuddin mengaku telah menyetor sampai 8M (Milyar) ke PKS, 1M langsung ke DPW PKS Sulsel dan 7M ke DPP PKS melalui A.Fathonah, hal ini diungkapkan oleh Ilham A.Sirajuddin di persidangan Fathonah. Mungkin ini salah satu contoh kasus yang sudah terlanjur muncul dimata publik, masih banyak kasus transaksional PKS dengan para Calon Kepala Daerah atau Pejabat besar (saat Pencapresan th.2004) yang bisa disimak pada link berikut ini : Bayang-bayang Kematian PKS
Ramuan oplosan yang dipakai PKS juga diracikdengan dogma agama yang dipadu dengan ambisi harapan untuk meraih kekuasaan sebanyak-banyaknya untuk menjadikan partai besar dan meraih puncak kekuasaan. Karena itu tidak heran bila Yudi Setiawan pernah diminta oleh LHI untuk mempresentasikan guna pencapaian 2 trilyun untuk membesarkan partai.
Sejatinya normayang dijadikan asas partai bukan hanya dijadikan alat hanya untuk menarik simpati umatsebagai pendulang suara kepentingan kelompok dan partai. Kalau mengacu pada landasan dasar partai yang katanya berasaskan Islam harusnya bisa menunjukkan dan mencerminkan jatidirinya sebagai partai Islam, paling tidak PKS bisa berkaca pada partai Masyumi di era Soekarno yang mempunya konsistensi dalam berpolitik.
Bukan malah menjadi anomali yang tidak bisa dimengerti dan kemudian bermetamorfosis menjadi pemburu kekuasaan semata. Sebuah entitas politik yang berasal dari kegiatan dakwah berubah karakter, perilaku politik, dan visi-misinya. Sekarang bukan saja melakukan pragmatisme politik, melainkan juga melakukan pelanggaran terhadap asas dan doktrin gerakan.
Secara structural PKS termasuk partai yang terkonsolidasi bukan karena figur, tapi doktrin,sedikit berbeda dengan partai-partai lain, namun belakangan doktrinitas yang sejak lama sudah ditanamkan terhadap para kader , kini diselewengkan oleh para elite untuk melindungi dan menutupi kebusukan para elite partainya. Dan ini pada akhirnya membalikkanposisi yang tadinya tidak bergantung terhadap figure , justru sekarang lebih mengandalkan figuritas dalam menyikapi tanggapan dari luar yang mana saat ini partai tersebut menjadi sorotan.
Sementara kita tahu bahwa elit PKS bebas melakukan akrobat politik dan manuver liar yang dikemas dengan dalih: “ini masalah ijtihadiyah dalam siyasi dan untuk kemaslahatan dakwah, dan para kader dari level Inti hingga level bawah diwajibkan menjalankan tugas yangdiberikan partai.
Nampaknya kebenaran sejati yang selama ini hanya dimonopoli segelintir elite PKS dalam rangka meredam daya kritis kader-kadernya dengan cara :
Harus tsiqoh (percaya) dan tha’at saja se abnormal apapun dan kontroversial perilaku dan keputusan elite mereka. Apapun yang diputuskan partai dianggapsuatu yang benar dan terbaik , dengan doktrinkata “tsiqoh” dan “thoat” untuk meredam daya kritis kader.
Padahal secara tidak sadar sesungguhnya mereka telah dikelabuhi pemahamannya, Sementara kader mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dan petunjuk, atau mengira bahwa dia termasuk orang-orang yang berbuat baik. Begitu dahsyatnya pengaruh doktrin yang ditanam dalam jaringan tarbiyahPKS.
Manifesto Kolektivisme Doktrin
PKS adalah partai dengan relasi ikatan personal yang terinstitusionalisasi sebagai manifestasi dari doktrin. denganbekerja melalui mekanisme voluntarisme anggota. Inilah yang disebut dengan kolektivisme-doktrin. Model kolektivisme-doktrin seperti ini memang akan menciptakan kekuatan yang solid secara internal karena didukung oleh tiga nalar penting: persaudaraan (emotional ties), agama (doctrine internalization), dan kelembagaan (organizational discipline).
Namun, ketika kolektivisme ini ditempatkan pada konteks penyikapan kasus korupsi (saat melawan KPK demi membela LHI) , maka akan sangat rawan dalam perspektif publik. Itu karena akan menciptakan persepsi public bahwa kasus PKS sebagai corporative crime, kejahatan korupsi yang terkonsolidasi secara institutisonal. Akhirnya model kolektivisme-doktrin yang ditunjukkan oleh partai akan bergeser pada perilaku ashabiyah (fanatisme golongan) atau sebuah sikap fanatik akibat identitas individual yang terkait secara institusional, dan ideologis.
Sebagai sedikit gambaran tentang prilaku Kolektivisme doktrin , mungkin bisa dibandingkan terhadap kasus korupsi yang dihadapi antara Partai Demokrat (PD) dengan PKS. Beberapa petinggi dan bahkan mantan Ketua umum PDmasuk juga dalam kasus korupsi yang ditangani KPK , namun elite lain di PD menyikapi bahwa kasus korupsi adalah kasus individual kader yang mempunyai implikasi hukum yang harus ditanggung sendiri. Berbeda dengan PKS yang menyikapi kasus LHI (suap impor sapi ), PKS malah melakukan konsolidasi logika partai sebagai organisatoris untuk melakakuan pembelaan yang berlebihan hingga menyerang organisasi kelembagaan negara seperti KPK.Hal ini malah mengesankanbahwa kasus kader justru disikapi sebagai kasus institusional, mungkin ini akibat dari Manifesto Kolektivisme doktrin yang ada pada PKS.
Manifestasi dari Kolektivisme doktrin yang dijalankan oleh PKS tidak lepas dari proses pengkaderan yang mereka bina selama ini. PKS menganut sistem Kepartaian yang tidak seperti biasanya pada partai lain, yaitu dengan prinsip yang dipakai “gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan” (al-harakah hiya al-hizb wa alhizb huwa al-harakah). Jadi gerakan partai ini diikat dengan yang namanya Tarbiyah (pembinaan). Didalam proses tarbiyah inilah biasanya dijalankan program dan strategi kepentingan partai dengan cara TOP-Bottom melalau guru(murobi) kepada binaannya masing-masing.
Kunci dari disiplin biroktarik organisasional yang ditanamakan paraQiyadah (pimpinan) PKS kepada para kader adalah kata “Tsiqoh (percaya saja)” dan Tha’at (patuh)”jadi se abnormal, atau se absurd, atau se kontroversialapapun suatu keputusan yang diambil oleh para Qiyadah(pimpinan/elite ) mereka maka ditingkat bawah harus meyakini dan mempercayai (tsiqoh) dan kemudian patuh (tha’at) menjalani atau melaksanakannya, dan ini yang sering kita dengar sebagai bentuk Taqlid (mengikuti saja).
perilaku disiplin biroktarik organisasional dan kepercayaan pada tujuan akhir ”perjuangan”. Kolektivitas partai sebagai organisasi dalam konteks ini menjadi tidak relevan, karena kolektivitas menciptakan perilaku defensive sekaligus offensive terhadap kebenaran sekalipun, dan ini tentunya menimbulkan fanatisme golongan(shobiyah) yang membabi-buta (sudah tidak melihat lagi benar /salah).
Sampai disini dulu !, klo ada kesempatan berlanjut !