Menuju 100 hari kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi Pudjiastuti telah menuai berbagai kontroversi. Tidak hanya sosok nyentrik ibu menteri itu sendiri, sorotan terhadap KKPsemakin intens melalui gebrakan pemberantasan pelaku illegal fishing. Akibatnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dulunya jauh dari sorotan media, kini media cetak , berita online dan televisi seakan rame-rame meliput kebijakan kementerian yang dibentuk di era Presiden Gus Dur. Tidak tanggung – tanggung, kebijakan yang diambil KKP untuk pelaku illegal fishing dengan jalan menenggelamkan kapal atau dengan menembaki kapal pelaku illegak fishing. Kebijakan tersebut dilakukan sebagai langkah untuk melindungi laut Indonesia. Pemberantasan pelaku illegal fishing memang patut untuk didukung mengingat telah merugikan negara hingga Rp 300 Triliun setiap tahunnya. Praktek illegal fishing dilakukan oleh negara tetangga yang memiliki armada kapal yang mumpuni dengan modus double flagging, menggunakan ABK asing, dan menjualnya di pasar luar negeri.
Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang menjadi sasaran empuk pencurian ikan adalah Laut Natuna dan Laut Arafura. Bayangkan hampir 1.130 kapal asing di atas 30 GT berpesta mengeruk hasil laut Indonesia. Padahal, Laut Arafura berkonstribusi pada produksi perikanan laut nasional hingga 13% per tahun yang tentu akan berdampak positif bagi perekonomian masyarakat nelayan. Sejak diberlakukan program tembak dan tenggelamkan kapal pencuri ikan, kasus illegal fishing mengalami penurunan yang signifikan, namun hal ini menimbulkan berbagai kontroversi terutama bagi negara pelaku pencuri ikan yang lebih menginginkan adanya pendekatan diplomatik.