Telur pindang rebus yang bagian putihnya berwarna cokelat nyaris menghitam, dengan bumbu yang meresap sampai ke bagian kuningnya.
Krecek kehitaman yang rasanya maknyus karena seluruh racikan bumbu sudah meresap ke seluruh pori-pori. Kreceknya pedes-pedes gurih berpadu dengan potongan tempe yang dimasak bersama.
Demikian juga daging ayamnya empuk gurih sangat memuaskan.
Aku menandaskan seporsi gudeg yang kupesan. Segelas jeruk hangat mendapat giliran berikutnya untuk berpindah ke lambungku. Tinggal duduk kekenyangan menikmati pengamen yang menyanyikan lagu kenangan... "Dindaaa, di manakah kau berada, rindu aku ingin jumpaaaa..."
Aku membuka ponsel dan memeriksa sekali lagi foto gudeg yang sempat kuabadikan. Aku akan mengirimkannya pada dinda kesayanganku, istriku tercinta nun jauh di sana. Kutambah caption: ..."bagaimana dinda, apa foto ini cukup membuatmu ngiler?"
Tak menunggu waktu lama, dinda membalas fotoku dengan beberapa emoticon ngiler.
"Kanda ingat ya, jangan lupa ya, bawakan dinda gudeg. Bisa yang dikemas di kendil, atau yang dikemas di besek. Tidak akan basi kalau kanda membelinya sesaat sebelum kanda berangkat ke bandara..."
Istriku masih mengetik banyak pesan. Berderet-deret. Setelah selesai, aku hanya membalas dengan "OK". Praktis, kan?
Kedatanganku ke Jogja kali ini bukan untuk senang-senang liburan. Aku ditugaskan oleh kantor untuk mengikuti rapat di sebuah hotel selama empat hari berturut-turut. Rapat yang sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Peserta rapat yang terdiri dari staf kementerian di seluruh UPT daerah, tidak diberi waktu luang untuk healing-healing. Malam ini kebetulan tugasku sudah selesai sehingga aku bisa mencuri waktu untuk makan gudeg.
Selesai membayar aku bertanya-tanya pada mbak kasir, bagaimana caranya agar aku aman membawa gudeg sebagai oleh-oleh untuk dindaku tersayang di Makassar. Si mbak yang manis menjelaskan dengan ramah berbagai opsi yang bisa kupilih.