Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sambal Belacan

27 Januari 2021   19:51 Diperbarui: 27 Januari 2021   21:02 477 13
Aku pergi pagi-pagi sekali, berbarengan dengan kokok ayam jantan kesayangan Bapak. Kokoknya semacam suara peluit, tanda keberangkatan kapal berlayar.

Tujuannya tak lain, ke rumah sahabatku, Manti. Sahabat yang tak pernah jemu mendengarkan segala dumelan atau kesemringahanku. Sebelumnya, sudah kuhangatkan singkong yang direbus semalam, kuletakkan di sisi kopi panas untuk Bapak di beranda.

***

"Oi, dia sampai juga. Selamat ulang tahun yaa, Manis." Manti merajuk, mencubit pipiku.

Manti tau benar, tak pernah ada ucapan ulang tahun lebih dulu dari rajukannya. Bertahun-tahun begitu, sejak Ibu, meninggalkan aku dan Bapak untuk selamanya.

"Emakku sedang masak nasi kuning. Katanya, Emak kepingin memberi sesuatu yang istimewa buatmu."

Meski cuma nasi kuning, bawang goreng dan bakwan sayur, kesibukan Emak Manti yang berasap-asap di dapur bikin aku terharu, sungguh haru sekali.

Meski tetap, yang aku rindukan sambal belacan. Sambal yang biasa Ibu bikin setiap aku bertambah umur.

Aku jadi kangen Ibu. Seraya aroma nasi kuning menyeruak sampai ke seluruh ruangan rumah Manti. Dan Gemericik suara minyak panas dituang adonan bakwan.
Tapi tak ada sambal belacan di antaranya. Sambal tradisi yang wanginya sangat legendaris, merasuk lembut ke hidung Bapak dan aku. Bikin nafsu makan berlipat-lipat.

Teringat Ibu bikin aku menitikkan air mata. Sedikit sesegukan. Kemudian lekas-lekas kutampik tetesnya yang hampir sampai ke sudut bibir.

Aku tak mau, Manti dan Emaknya melihat aku bersedih setelah apa yang mereka lakukan di hari ini.

Aku juga tak mau mengingat-ingat kebiasaan Bapak yang lupa tanggal 11 Juni. Tanggal kelahiran perempuan renung, Putrinya yang penyendiri.

Ahh, Biar bagaimana pun Bapak adalah Laki-laki pujaan Ibu. Bapak yang sama cueknya dengan watakku. Sama keras kepala dengan kepalaku yang batu.

Perayaan ulang tahun memang bukan hal sakral yang harus dilakukan. Tapi, setidaknya, Bapak mengingat hari kelahiran, Anaknya yang sudah piatu ini.

***

"Nasi kuning, bakwan sayur dan bawang goreng sudah siap. Ayok makan dulu!" Emak Manti semangat menggiring kami ke dapur.

Meja kayu sederhana. Empat kursi makan yang masih kokoh. Teh hangat yang memekarkan asap melati. Emak Manti sigap menyusun nasi kuning, bakwan empuk dan bawang goreng di hadapan kami.

Bismillah. Kami bertiga sangat lahap menyantap sajian sarapan pagi yang hampir kesiangan ini.

"Sungguh nikmat." Batinku.

Emak Manti memang jago memasak. Hampir mirip dengan masakan Ibu. Karna mereka memang bersahabat sejak remaja, seperti aku dan Manti.

Setelah nasi kuning diaduk bawang goreng dan beberapa keping bakwan tandas, aku berkicau haru pada Emak Manti.

"Sedap sekali. Hari ini jadi istimewa, Mak. Terima kasih sangat."
Aku cium tangan Emak Manti. Sembari jemarinya mengusap-usap rambutku.

***

Selesai bebenah dapur dan mencuci piring. Aku dan Manti sepakat menuju bukit hijau belakang rumah Manti. Bukit yang tetap bernama Hijau meski rumput-rumputnya nanti mengering. Kami biasa ngobrol panjang tentang apa saja di sana.
Emak berpesan, jangan kelewat Asar. Lekas pulang sebelum azan.

"Aku mau bermalam di rumahmu. Boleh, kan?"

"Malam ini aku dan Emak mau ke tempat Paman Sigi. Ada ngunduh mantu di rumahnya. Besok sajalah kamu balik sini, kita bikin kue bikang bersama." 
Manti memberikan pilihan. Aku cuma bisa setuju.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun