Ia masuki hutan-hutan di tubuhnya, Membelah musim yang suram, mencabuti belukar dan duri-duri, kemudian memberi sekeping bulan di atas telaga sebagai pertanda.
Aduhai cinta, menjadi cahaya memeluk kabut, sampai tuntas segala yang dingin dan pedih, sampai nisbi ketakutan yang mengurungnya, sampai berani menantang luka dukanya.
Suatu waktu yang diberkati, ia menulis puisi cinta, tanpa dendam, tanpa beban, tanpa akanan.
Kesunyian dalam tafakur telah menempa dirinya menjadi selembut daun-daun yang santun.