Dua minggu sekali, mereka berkumpul di kantor organisasi, untuk belajar. Bukan untuk belajar matematika, pastinya. Melainkan belajar segala hal yang terkait dengan perjuangan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Mulai dari memahami undang-undang ketenagakerjaan, cara berkomunikasi, strategi menambah anggota baru, tahapan memperjuangkan hak mereka dan mempelajari beberapa kasus yang pernah ditangani SPBI berikut dengan penyelesaiannya.
Mereka belajar tentang sejarah, lalu belajar juga tentang bagaimana mengatur keuangan. Bagi SPBI, pengetahuan ini penting, mengingat pekerjaan yang dilakoni mereka rentan PHK.
Tak cukup sampai di situ, setahun sekali, mereka juga belajar bagaimana menyampaikan aspirasi di depan umum, seperti di depan gedung Disnaker, DPRD, atau di depan pabrik. Ya, mereka belajar demo. Mereka belajar orasi. Mereka diajari mengenal provokator yang bertujuan membuat demo jadi rusuh. Mereka diajari strategi dan sebagainya.
Itu semua berguna saat mereka dihadapkan dengan sebuah kasus di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja. Ya, nyaris di setiap pabrik tempat anggota SPBI bekerja, pasti ada kasus.
Namun, dari sekian banyak kasus, ada 1 kasus yang paling aku ingat.
Kawan buruh itu divonis mengidap kanker. Ia sengaja bertahan bekerja sampai tiba masa pensiun agar mendapatkan pesangon. Pesangon bagi buruh yang pensiun, menurut undang-undang, nominalnya cukup besar. Rencananya, pesangon itu akan ia gunakan untuk berobat. Ia sadar, pengobatan untuk penyakit yang dideritanya itu tidak murah.
Pabrik mau memberikannya. Namun, nominalnya tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jika saja selisih antara nominal pesangon sesuai undang-undang dengan nominal pesangon yang diberikan pabrik sedikit, kawan buruh itu tidak keberatan. Sayangnya, selisihnya banyak, jadi kawan buruh itu memilih untuk meminta bantuan organisasi.