“Selesaikan masalah ini, atau kami pindah bersama gajah-gajah di sini,” kata putus asa atau (mungkin) masih ada harapan yang terujar dari mulut seorang Mahout (pelatih gajah) yang menanti ketegasan pemerintah mengenai terusiknya habitat gajah oleh masyarakat perambah.
Pagi di hari Sabtu, peringatan kemerdekaan republik ini tidak bergaung sama sekali di Pusat Pelatihan Gajah Holiday Resort, di Desa Aek Raso, Kecamatan Torgamba, Kabupaten Labuhan Batu Selatan (Labusel), Sumatera Utara. Para Mahout hanya sibuk dengan aktifitas kesehariannya mengurusi gajah-gajah yang mulai terancam keberadaannya di lokasi tersebut.
Tidak ada upacara kemerdekaan, tidak ada perlombaan atau hiburan seperti tahun-tahun sebelumnya. Para Mahout hanya sibuk memindahkan gajah dari satu tempat ke tempat lain. Kemudian mencari pakan berupa pelepah sawit. Petangnya, kembali memindahkan gajah-gajah ke tempat semula. Malamnya, mahout-mahout hanya menikmati kesendirian mereka di barak.
“Kami dijajah masyarakat perambah. Taka da lagi perayaan kemerdekaan. Bisa dipastikan gajah-gajah akan tersingkir dari lokasi ini,” kata Legiono, salah seorang Mahout senior.
Keputus asaan ini, merupakan rangkaian penantian suatu kebijakan dari dua kubu yang berseberangan, antara pemerintah kabupaten Labusel dan Dirjen Perlindungan Hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), terhadap kelangsungan dua jenis makhluk hidup ciptaan Tuhan, Gajah dan Manusia. Bagi BKSDA, gajah butuh lahan luas sebagai tempat hidup, namun manusia perlahan tapi pasti akan mengambil alih lokasi tersebut, juga demi melanjutkan hidup dari tempat lain, jika menurut Pemkab Labusel.
“Kembalikan tempat ini seperti semula, atau pindahkan kami ke hutan lain,” kata Legiono bernada emosi.
Legiono mempunyai alasan jelas atas nasib 18 ekor gajah sumatera yang dilatihnya saat ini. Lelaki piawai melatih gajah ini, menceritakan situasi yang terjadi sejak dahulu hingga sekarang.
Sejak areal Taman Wisata Alam Holiday Resort, atau Pusat Pelatihan Gajah, Aek Raso dibuka pada tahun 1994, gajah-gajah dapat menikmati hidupnya seperti layaknya di habitat asli. Perlahan tapi pasti, lahan seluas 1.975,5 hektar itu, sedikit demi sedikit tersulap menjadi lahan garapan masyarakat untuk dijadikan kebun sawit dan karet. Kini hanya tersisa lebih kurang 30 hektar.
“Gajah terlebih dahulu menempati kawasan ini, bukan manusia!” ketusnya.
Perkiraan punahnya gajah sumatera mungkin saja bisa terjadi dengan cepat jika tidak ada langkah penyelamatan dini. Apalagi langkah tersebut sulit terwujud jika kepentingan manusia terus mengusik habitat gajah.
Ya… efeknya dari perambahan yang dilakukan masyarakat penggarap, hutan menjadi gundul berakibat minimnya pasokan makanan, resapan air akibat tanaman sawit, tempat satwa bermain dan sarana pendidikan bagi gajah.
Jika dahulu gajah bertambat di bawah pepohonan dengan lokasi luas, kini gajah terpaksa berjemur di bawah teriknya matahari. Penjelajahan hutan tidak bisa lagi dilakukan. Luasnya kian menyusut dalam dua dasawarsa ini.
Aliran-aliran sungai kecil tempat gajah bermain, kini semakin mengering. Padahal, kebutuhan konsumsi air bagi gajah, 20 hingga 50 liter per hari.
Mahout juga kerap menjadi sasaran amukan gajah. Barangkali karena gajah merasa penderitaannya kian berat setelah pohon-pohon sebagai tempat berteduh tidak ada lagi. Gajah sumatera adalah hewan yang tidak tahan terhadap udara panas. Udara terbuka menjadi ancaman bagi gajah. Gajah di sini pernah mati tersambar petir.
Tidak hanya kebun dan bangunan rumah, pangkalan truk melintasi jalan besar Cikampak-Bagan Batu, provinsi Riau, menjadi salah satu pemandangan untuk mengusir hewan-hewan tersebut secara perlahan.
Selain itu, gangguan dan intimidasi terhadap gajah kerap dilakukan masyarakat perambah. Alasannya, gajah yang terlepas dari ikatannya memakan tanaman. Kadang rantai mengikat gajah sengaja dilepas warga untuk membuat satu alasan negative terhadap gajah. Sudah begitu, ‘warga’ meracun, di panah hingga pantat gajah di bakar.
Mahout hanya bisa mengobati dengan ala kadarnya. Yakni, hanya mengoleskan minyak makan ke luka gajah
Inilah yang harus dijalani bagi para Mahout. Mereka harus memperjuangkan kehidupan mereka dan gajah-gajah yang mereka rawat. Apalagi, perkiraan dalam dua bulan ini, mereka akan dihadirkan seekor anak gajah dari gajah yang sedang hamil.
Departemen Kehutanan pernah menyiapkan alokasi dana untuk relokasi masyarakat perambah. Namun, pemerintah Labusel seperti enggan menerima solusi yang ditawarkan.
Alhasil, BKSDA Sumatera Utara menjadi pesimis untuk kembali meremajakan hutan dan mengatur ulang rencana yang sudah diprogramkan sebelumnya.
“Sekarang, kami seperti dibiarkan pimpinan dengan gajah-gajah di sini. Tak diperdulikan lagi. Kami hanya menunggu nasib,” kata Legiono.
Beberapa Mahout mengindikasikan, tidak terimanya Pemkab Labusel tak terlepas dari kepentingan politis dari bupati dan orang-orang terdekat. Bisa jadi, sang bupati dan kroninya memperjuangkan masyarakat penggarap hanya untuk meraih simpati agar dipilih kembali. (inc)