Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sepenggal Kisah, Alumni STMN Pembangunan Semarang

31 Agustus 2024   00:26 Diperbarui: 31 Agustus 2024   00:32 135 1

Di sebuah bengkel mesin di sudut kota Semarang, Supriyadi duduk di depan mesin bubut yang berderak perlahan. Udara di sekitar terasa panas dan pengap, seiring dengan deru mesin-mesin tua yang seakan berjuang melawan waktu. Di depannya, sebatang jarum coklat dan segelas kopi tergeletak di atas meja kecil yang terbuat dari kayu. Supriyadi memandangi jarum dan kopi itu dengan tatapan kosong, tenggelam dalam lamunan tentang kehidupan yang terasa semakin tidak adil baginya.

Supriyadi adalah seorang yang cerdas dan terampil. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang pintar dan rajin. Di STM Pembangunan, ia menjadi salah satu siswa terbaik, selalu menonjol dalam setiap kegiatan, baik akademik maupun non-akademik. Ia sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba keterampilan teknik, dan tidak jarang pulang membawa piala juara.

Namun, keberhasilan di sekolah itu tidak datang dengan mudah. Supriyadi berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya seorang buruh bangunan, sementara ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Kehidupan mereka sederhana, sering kali penuh dengan kekurangan. Tapi hal itu tidak pernah mematahkan semangat Supriyadi. Justru sebaliknya, kesulitan hidup membuatnya semakin bertekad untuk belajar dan berusaha sebaik mungkin.

Di sekolah, Supriyadi memiliki seorang teman sekelas bernama Supriyanto. Berbeda dengan Supriyadi, Supriyanto berasal dari keluarga yang kaya. Ayahnya memiliki beberapa usaha di bidang konstruksi dan perdagangan. Dengan latar belakang yang berbeda, Supriyanto tumbuh sebagai anak yang manja dan kurang bertanggung jawab. Ia sering kali mengandalkan kekayaan keluarganya untuk menyelesaikan berbagai masalah, termasuk masalah akademik.

Meski begitu, Supriyanto dan Supriyadi tetap berteman. Mungkin karena nama mereka yang hampir mirip, atau mungkin karena Supriyadi yang selalu bersikap baik kepada semua orang, termasuk Supriyanto yang sering kali tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas. Supriyadi yang pintar selalu membantu Supriyanto dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, bahkan tak jarang Supriyadi yang mengerjakan tugas-tugas itu untuk Supriyanto.

Supriyanto bukanlah anak yang malas secara sengaja. Namun, dengan segala kemudahan yang ia miliki, ia tak pernah benar-benar berusaha keras untuk belajar. Setiap kali ada tugas atau ujian, Supriyadi selalu ada di sampingnya, memberikan arahan dan bantuan. Begitu pula saat mereka harus mengerjakan proyek akhir untuk kelulusan, Supriyadi lah yang menyusun semua rencana dan pelaksanaannya, sementara Supriyanto hanya mengikuti apa yang dikatakan temannya itu.

Akhirnya, dengan segala bantuan dari Supriyadi, Supriyanto berhasil lulus meski dengan nilai yang pas-pasan. Di sisi lain, Supriyadi lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan sederet penghargaan atas prestasi-prestasinya selama di sekolah.

Namun, semua prestasi dan kerja keras itu seakan tidak berarti ketika Supriyadi memasuki dunia kerja. Meski ia telah melamar ke berbagai perusahaan dengan bermodalkan ijazah dan prestasi yang gemilang, ia hanya mendapatkan posisi sebagai operator mesin bubut di sebuah bengkel kecil. Di sinilah ia bekerja setiap hari, mengendalikan mesin tua yang sudah tak lagi sempurna, sambil terus memendam impian untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Sementara itu, Supriyanto, dengan latar belakang keluarganya yang kaya, langsung masuk ke dunia bisnis setelah lulus. Ayahnya mempercayakan salah satu cabang perusahaan kepada Supriyanto, meski ia tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang memadai. Tapi uang dan koneksi yang dimiliki keluarganya membuka jalan bagi Supriyanto untuk sukses dengan cepat. Dalam beberapa tahun, Supriyanto sudah menjadi bos besar di perusahaan machining yang berkembang pesat.

Supriyadi mendengar kabar kesuksesan Supriyanto dari teman-teman sekolah mereka yang lain. Di setiap reuni, cerita tentang Supriyanto yang sukses selalu menjadi topik pembicaraan. Supriyadi yang hanya seorang operator mesin bubut sering kali merasa tersisih dalam percakapan itu. Dalam hatinya, Supriyadi merasa sedih dan kecewa. Ia bertanya-tanya, mengapa kehidupan begitu tidak adil? Mengapa orang seperti Supriyanto, yang tidak pernah benar-benar berusaha, bisa meraih kesuksesan besar, sementara ia yang bekerja keras harus puas dengan menjadi operator mesin?

Supriyadi menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mengingat semua hal yang pernah ia lakukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Di dalam hati kecilnya, Supriyadi merasa ada sesuatu yang salah dalam dunia ini. Sebatang jarum coklat di meja itu seakan menjadi simbol dari usahanya yang selama ini sia-sia, sementara kopi yang pahit mencerminkan kehidupan yang ia jalani, penuh dengan kegetiran.

"Kehidupan ini aneh," gumam Supriyadi kepada dirinya sendiri. "Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang, ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Mungkin ini semua tentang DNA, tentang bagaimana kita dilahirkan."

Pikiran itu membuat Supriyadi termenung lebih dalam. Mungkinkah benar bahwa kehidupan seseorang ditentukan sejak lahir? Apakah benar bahwa kemampuan seseorang, meskipun hebat, tidak akan banyak berarti jika ia tidak dilahirkan dengan "DNA yang benar"? Supriyadi merasa frustrasi. Selama ini, ia selalu percaya bahwa kerja keras dan ketekunan akan membuahkan hasil. Namun, kenyataan yang ia hadapi membuatnya meragukan keyakinan itu.

Tiba-tiba, suara dering telepon dari meja sebelah mengusik lamunan Supriyadi. Dengan cepat ia meraih telepon itu, dan mendapati bahwa panggilan tersebut datang dari bengkel utama. Suara mandor terdengar jelas di ujung telepon.

"Supri, ada masalah dengan mesin di bengkel utama. Bisa segera ke sini?" perintah mandor itu. Supriyadi segera menjawab "siap", lalu ia berdiri dan berjalan cepat ke arah bengkel utama, meninggalkan sebatang jarum coklat dan segelas kopi yang kini benar-benar dingin.

Sesampainya di bengkel utama, Supriyadi melihat beberapa teknisi sedang mencoba memperbaiki mesin besar yang mogok. Mesin itu adalah salah satu mesin paling penting di bengkel, dan kerusakannya bisa mengakibatkan berhentinya produksi untuk sementara waktu. Supriyadi segera mendekati mesin itu, mengamati apa yang terjadi, dan mulai bekerja dengan cekatan.

Dalam waktu yang relatif singkat, Supriyadi berhasil menemukan masalah dan memperbaikinya. Mesin kembali hidup, dan suara deru mesinnya yang khas kembali memenuhi ruangan. Para teknisi lain memandang Supriyadi dengan kagum, meskipun itu bukan pertama kalinya Supriyadi menunjukkan kemampuannya. Mereka tahu bahwa Supriyadi adalah sosok yang sangat terampil dan cerdas, meskipun dia hanya seorang operator.

Namun, pujian dan kekaguman dari rekan-rekannya tidak cukup untuk menghilangkan rasa frustrasi di hati Supriyadi. Baginya, keberhasilannya dalam memperbaiki mesin hanya sementara mengalihkan pikirannya dari kenyataan pahit bahwa hidupnya tidak pernah berubah. Setelah pekerjaan itu selesai, Supriyadi kembali ke tempatnya, duduk dan menatap kembali jarum coklat dan kopi di atas meja. Ia berpikir tentang bagaimana hidupnya mungkin akan berbeda jika ia terlahir di keluarga yang kaya seperti Supriyanto.

Waktu terus berlalu, dan meski Supriyadi berusaha sebaik mungkin untuk meraih kesuksesan, ia tetap terjebak dalam rutinitas sebagai operator mesin. Setiap hari, ia melakukan pekerjaan yang sama, dengan upah yang tak seberapa. Sementara itu, Supriyanto semakin sukses dalam bisnisnya, memperluas usahanya ke berbagai daerah, dan dikenal sebagai salah satu pengusaha muda yang berhasil di Semarang.

Pada suatu hari, Supriyanto memutuskan untuk mengunjungi bengkel tempat Supriyadi bekerja. Supriyanto ingin melihat langsung produksi mesin yang ia pesan untuk perusahaannya. Ketika Supriyanto masuk ke bengkel, Supriyadi yang sedang bekerja langsung mengenali temannya itu. Supriyadi menyapanya dengan ramah, meskipun di dalam hatinya ada perasaan yang campur aduk.

"Supriyadi! Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?" sapa Supriyanto dengan nada yang ceria. Ia tampak rapi dengan jas mahal dan sepatu kulit mengkilap, sangat berbeda dengan Supriyadi yang masih mengenakan seragam kerja yang lusuh.

"Baik, Supri. Kamu sendiri bagaimana? Sepertinya sukses besar sekarang," jawab Supriyadi dengan senyum yang dipaksakan.

Supriyanto tertawa kecil. "Ya, begitulah. Tuhan memberiku banyak rezeki. Kamu sendiri, bagaimana di sini? Masih operator mesin?" tanyanya dengan nada yang terdengar sedikit meremehkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun