Dimas adalah sahabat terbaiknya sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi tawa dan tangis, menghadapi tantangan hidup, dan saling mendukung satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu, Rania mulai menyadari bahwa kehadiran Dimas dalam hidupnya tak seindah yang ia bayangkan.
Mereka berdua duduk di tepi sungai, tempat favorit mereka sejak dulu. Dimas memulai percakapan, "Rania, kamu tahu kan betapa berharganya kamu buat aku?"
Rania tersenyum tipis, menatap wajah sahabatnya. "Iya, aku tahu. Aku juga merasa kamu sangat berarti buatku, Dimas."
Tapi ada sesuatu yang selalu mengganggu hati Rania. Setiap kali Dimas membutuhkan bantuan, ia selalu ada. Namun, ketika Rania yang membutuhkan, Dimas seringkali tak ada. Rania merasakan kesepian yang mendalam setiap kali menyadari hal ini.
Suatu hari, ketika Rania sedang menghadapi masalah besar di tempat kerjanya, ia mencoba menghubungi Dimas. Pesan demi pesan dikirim, panggilan telepon yang tak terjawab. Rania merasa putus asa. Saat itu, ia benar-benar membutuhkan dukungan dari sahabatnya.
Namun, ketika Dimas akhirnya menghubungi balik, suaranya terdengar riang seperti tak ada yang terjadi. "Maaf ya, Rania. Aku lagi sibuk banget tadi. Ada apa?"
Rania terdiam sejenak sebelum menjawab, "Nggak apa-apa, Dimas. Aku cuma butuh ngobrol sama kamu. Tapi sekarang udah nggak penting lagi."
Waktu berlalu, dan Rania semakin menyadari pola yang sama berulang. Dimas hanya muncul saat dia membutuhkan sesuatu darinya. Ketika Rania membutuhkan Dimas, sahabatnya itu selalu punya alasan untuk tidak ada. Rania merasa hubungannya dengan Dimas seperti benang yang semakin hari semakin renggang.
Pada suatu sore, Rania memutuskan untuk menemui Dimas dan berbicara jujur. Mereka bertemu di kafe favorit mereka, tempat di mana banyak kenangan manis tercipta. Suasana kafe yang hangat tak mampu meredakan kegelisahan di hati Rania.
"Dimas," kata Rania dengan suara lembut namun tegas, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Dimas mengangkat alisnya, sedikit terkejut mendengar nada serius Rania. "Apa itu, Ran?"
"Aku merasa... kamu cuma ada saat butuh sesuatu dari aku. Ketika aku yang butuh kamu, kamu selalu nggak ada. Aku nggak tahu, mungkin aku salah. Tapi aku merasa seperti itu."
Dimas terdiam. Ia menunduk, merenungi kata-kata Rania. "Rania, aku... aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Mungkin aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri."
"Setiap orang punya kesibukan, Dimas. Tapi kita sahabat, kan? Seharusnya kita saling mendukung, bukan hanya ketika salah satu dari kita membutuhkan sesuatu," balas Rania, suaranya mulai bergetar.
Dimas menatap Rania dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Aku nggak pernah berpikir kalau aku membuatmu merasa seperti itu, Rania. Maafkan aku."
Rania menghela napas panjang. "Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku sayang kamu, Dimas. Tapi aku juga harus menghargai diriku sendiri."
Setelah percakapan itu, Rania memutuskan untuk menjaga jarak dari Dimas. Ia ingin memberi waktu untuk dirinya sendiri, untuk memahami apa yang sebenarnya ia inginkan dari hubungan mereka. Rania mulai fokus pada dirinya, mengejar mimpi dan ambisinya tanpa selalu bergantung pada Dimas.
Bulan demi bulan berlalu, dan Rania menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Ia bertemu dengan orang-orang baru, membangun hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung. Meski demikian, kenangan bersama Dimas tetap ada di hatinya.
Suatu hari, Dimas menghubungi Rania. Suaranya terdengar ragu-ragu di telepon. "Rania, aku ingin ketemu. Bisa?"
Rania setuju, meski dengan sedikit keraguan. Mereka bertemu di taman, tempat di mana banyak cerita mereka bermula. Dimas terlihat berbeda, lebih dewasa dan tenang.
"Rania," kata Dimas dengan sungguh-sungguh, "aku sudah banyak merenung sejak terakhir kita bicara. Aku menyadari banyak kesalahanku dan betapa pentingnya kamu buat aku. Aku ingin memperbaiki semuanya, kalau kamu masih bersedia memberi kesempatan."
Rania menatap mata Dimas, melihat kejujuran di sana. Ia tersenyum lembut. "Kita bisa coba, Dimas. Tapi kali ini, kita harus benar-benar saling ada untuk satu sama lain, bukan hanya saat salah satu dari kita membutuhkan."
Dimas mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rania merasa harapan kembali tumbuh di hatinya. Mereka memutuskan untuk memulai lembaran baru, dengan saling menghargai dan mendukung, bukan hanya saat membutuhkan....