KORUPSI. Tujuh kata penuh makna, penuh emosi, dan penuh tanya. Tanggal 9 Desember lalu, warga dunia memperingati hari ANTIKORUPSI, hari yang ketika kita menyebutkannya akan memunculkan banyak sekali makna. Tak terkecuali dengan saya, ada banyak hal yang bermunculan di dalam otak saya ketika saya mendengar kata itu, hingga pada akhirnya saya membuat catatan ini. Ya, berbicara mengenai KORUPSI memang tidak akan pernah lepas dari keanekaragaman makna, emosi, dan pertanyaan yang terkandung di dalamnya.
Makna.
Setiap orang memiliki pandangan tersendiri terkait makna dan definisi KORUPSI, kok bisa? Darimana kamu tahu itu, Na? Tentu saja! Buktinya, ketika saya bertanya kepada sepuluh teman saya mengenai definisi korupsi, mereka sanggup menjelaskannya dengan kalimat dan ragam-kata yang berbeda. Entah itu, "maling", "penyelewengan", "semena-mena", ataupun "egois-individualis". Yang jelas, ketika semua potongan kata itu digabungkan menjadi satu, maka akan memunculkan satu makna yang saling berkaitan. Nah, itu ketika kita membahas KORUPSI dalam artian pemerintahan, politik, ataupun yang berhubungan erat dengan "suap-menyuap".
Memangnya korupsi dibagi menjadi dalam berapa "artian" Na? Nah itu dia! Itu dia yang saya maksud penuh "makna".
Ada satu kalimat pahit yang waktu itu diucapkan oleh salah seorang teman saya, dan kalimat itu benar-benar mencengangkan. "Enggak usah jauh-jauh deh! Dari kecil aja kita udah dididik untuk korupsi kan? Liat aja noh! Nyontek, telat, minta uang jajan lebih ke ortu. Ya kan? Itu tandanya Kita emang udah ditaburi bibit korupsi dari sejak dini, bro!" Begitu katanya. Jlebb! Ya, jleb banget! Pagi itu saya sudah koar-koar hari antikorupsi dan berbicara mengenai masalah Angie, Gayus Tambunan, serta Akil Mochtar dengan fasih sekali bak seorang reporter. Setelah itu saya baru sadar, sebenarnya yang saya bicarakan dan yang saya elu-elukan sejak pagi adalah orang lain. Orang lain yang faktanya mereka melakukan kasus korupsi dan kemudian tertangkap.
Nyatanya, saya pernah melakukan tiga hal yang katanya itu adalah bibit-bibit korupsi. Apalagi kalau bukan nyontek, telat dan meminta uang jajan lebih. Tuhkan! Jujur ajadeh! Siapa sih yang enggak pernah nyontek? Okedeh, minimal telat. Telat pun bisa dikatakan korupsi. Iyadong, korupsi waktu. Di era globalisasi, bukan hanya uang yang bisa dikorupsi, waktu pun bisa dan bahkan sering dikorupsi. Lhohh, saya sendiri pun ternyata tersangka korupsi, dan dengan bangganya saya berteriak "Hari ini hari antikorupsi lhohh teman!" Lucu kan? Ironis sekali kan?
KORUPSI yang lekat dengan aktivitas keseharian manusia aja masih sangat sulit dibasmi, bisa dibilang telah mengakar dan membudaya secara subur di Indonesia. Nah, apalagi kasus korupsi yang sudah beredar di level pemerintahan noh! Koruptor pada level ini tidak lagi memakan benda yang dinamakan waktu, ataupun secuil receh untuk membeli nasi, melainkan sekoper rupiah yang cukup untuk bolak-balik pergi haji sepuluh kali. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh dosen saya, mengubah sebuah Negara itu tidak akan pernah berhasil sebelum mengubah setiap individu yang terdapat di dalamnya.
Emosi.
Emosi yang muncul ketika mendengar kata KORUPSI tak kalah beragamnya dari makna KORUPSI itu sendiri. Hmm, iyya kan? Lantas apa yang kamu rasakan, Na? Marah, tentu saja! Marah sembari bertanya-tanya, mengapa KORUPSI marak sekali di Indonesia? Mengapa KORUPSI sudah membudaya dan mengakar dengan cepatnya di Indonesia? Mengapa saya sendiri pun pernah terjerat dalam kasus KORUPSI (nyontek)? Sedih, tentu saja! Sedih sembari merenungkan, akan menjadi seperti apa bangsa ini di masa mendatang sedangkan kasus KORUPSI tak kunjung reda? Bagaimana nasib anak-cucu saya ketika mendengar bahwa mereka dilahirkan di negeri para KORUPTUR? Bingung, tentu saja! Bingung sembari memikirkan, Bagaimana cara menghilangkan budaya KORUPSI yang telah mengakar ini? Bagaimana cara memberantas dan menanamkan jiwa antikorupsi terhadap anak sejak dini?
Di sela-sela segelumit emosi yang beragam itu, ada satu emosi yang membuat saya bertanya-tanya akan kehadirannya. MALU! MALU! MALU! Ya, saya MALU! Saya MALU dan saya tidak tahu alasannya. Hmm, bukan tidak tahu alasannya, tetapi tidak tahu sebenarnya rasa MALU ini ditujukan kepada siapa. Muncul dua pernyataan di dalam otak saya ketika saya memikirkan alasan adanya rasa malu ini. Yang pertama, saya malu karena saya pernah melakukan tindakan korupsi, entah itu telat ataupun nyontek. Yang kedua, saya malu karena negara saya tergolong negara dengan kasus korupsi terbesar di dunia. Saya tidak tahu pasti negara saya berada di peringkat berapa, yang jelas itu sangat aneh dan lucu mengingat negara saya terkenal akan SDA-nya yang LUAR BIASA.
Pertanyaan.
Ya, korupsi memang tidak pernah lepas dari beragam PERTANYAAN, khususnya kasus korupsi yang marak bermunculan di Indonesia. Tidak perlu penjelasan panjang, saya yakin bahwa sebagian besar rakyat Indonesia memiliki pertanyaan yang sama dengan saya terkait masalah KORUPSI. Apa sih yang menyebabkan masyarakat Indonesia rawan sekali melakukan KORUPSI? KORUPSI seperti sudah tidak asing lagi dan mulai menyebar ke berbagai kalangan, tidak peduli apakah dia lulusan "CUMLAUDE", apakah dia seorang "PROFESOR", apakah dia "BERPECI" ataupun "BERJILBAB". Iya kan? KORUPSI tidak memandang apakah seseorang itu pintar atau tidak.
Lalu apa penyebabnya? Melemahnya keimanan seseorang?
Awalnya saya berpendapat bahwa maraknya kasus korupsi ini bisa jadi disebabkan oleh semakin "lemahnya" pegangan hidup atau katakanlah faktor agama seseorang. Tidak! Ya, tidak! Salah seorang teman saya mengatakan, "Kalau masalah agama, bukankah negara maju di dunia - katakanlah Amerika atau Singapura - di dominasi oleh orang-orang atheis (tidak beragama), tetapi faktanya kasus korupsi di negara mereka sangatlah RENDAH," begitu katanya. Saya tercengang dan menggumam, "Iya juga sih!" Hmm, bukan agama! Lihat saja! Banyak kok yang berpeci, naik haji berkali-kali, lalu dibesarkan di keluarga taat agama, tetapi ujung-ujungnya korupsi juga. Lalu apa penyebabnya?? Saya sendiri belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pertanyaan ini.
Jika saya ditanya balik, lalu kenapa kamu juga korupsi, Na? Korupsi waktu, telat, molor, nyontek! Jawabannya simpel, "Pengen aja! Lagian juga kepepet kok!!! Hehehe!" Itu jawaban saya, apakah jawaban para koruptor yang memakan uang rakyat juga sama dengan saya? Ahh! Entahlahh!!! Saya rasa, hanya Angie, Gayus, Akil Mochtar, dan beberapa orang yang terjerat kasus korupsi lah yang tahu alasannya. Alasan yang ketika kita mendengarkannya mungkin akan semakin menambah pertanyaan dan keheranan, "kok bisa yaaa?"
Apa yang saya mau?
Saya mau kasus KORUPSI berkurang! Okelah, mustahil jika memang kita ingin memberantas semua kasus KORUPSI atau benar-benar menghilangkan istilah KORUPSI dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Namun, setidaknya pemerintah dan masyarakat harus bersinergis untuk menekan dan mengurangi angka KORUPSI hingga ke titik terendah! Saya tidak ingin rakyat cuma diam di tempat ketika melihat kasus korupsi mewabah di lingkungan mereka. Ya, banyak hal yang ingin saya lakukan untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, tapi mustahil jika saya hanya mengumbar "kata" belaka. Yang kita butuhkan adalah aksi nyata! Minimal, saya ingin mengubah diri saya sendiri dan mulai mengembangkan apa yang saya miliki.
Saya masih sangat ingat pernyataan yang diucapkan oleh salah seorang dosen saya, beliau berkata, "Mengubah suatu negara itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Paling tidak, ubahlah diri kamu sendiri terlebih dahulu menjadi lebih baik sebelum "berkoar-koar" untuk mengubah negara, apalagi dunia!"
Seperti firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra'd ayat 11 : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan mereka sendiri.
Terima kasih :)