Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Mozaik Pendidikan Indonesia

28 Januari 2014   14:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 108 1

Ada banyak hal yang ingin saya ungkapkan ketika berbicara seputar Pendidikan di Indonesia. Entah itu berkaitan dengan sistemnya, pendidiknya ataupun peserta didiknya. Yang jelas, setelah 12 tahun menimba ilmu dari bangku SD hingga SMA, saya semakin memahami dan tentunya ada banyak hal yang ingin saya kritisi seputar Pendidikan di Indonesia. Sekali lagi, ini adalah pendapat saya, saya tidak bermaksud untuk memojokkan pihak-pihak tertentu #Ehh ataupun menyalahkan perorangan/individu. Yapp, postingan ini hanyalah salah satu dari beberapa hal yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran saya.

Mozaik Pendidikan di Indonesia

Dua kerajaan besar yang menjadi salah satu simbol kekuasaan masa lampau di Indonesia, dialah Sriwijaya dan Majapahit. Dua kerajaan di Indonesia yang wilayah ekspansinya mencapai daratan Malaysia, bahkan Thailand. Dua kerajaan yang namanya selalu memiliki tempat di dalam sejarah perkembangan sosial dan budaya di Indonesia. Tahukah Kalian? Apa yang membuat dua kerajaan itu berkembang pesat dan dijuluki kerajaan agraris-maritim terhebat di Indonesia bahkan hingga Asia tenggara? Apakah faktor keberuntungan belaka?

Bukan. Salah satu faktor yang turut mendorong kemajuan Sriwijaya adalah faktor pendidikan. Terutama pada pengembangan ilmu sosial-budaya dan pengembangan ilmu agama, sebagaimana kita tahu bahwa Sriwijaya adalah pusat studi Agama Buddha terbesar di Asia Tenggara. Yapp, salah satu mata kuliah saya pernah membahas masalah tentang perkembangan Pendidikan Indonesia dari masa ke masa. Saya penasaran dan akhirnya menanyakan pertanyaan ini pada dosen saya :

“Majapahit dan Sriwijaya adalah dua kerajaan besar yang terkenal dengan kekuatan maritim dan agraria serta ekspansi wilayahnya yang luar biasa. Pendidikannya lebih berorientasi pada keagamaan, sosial budaya, dan etika. Berbeda dengan pendidikan Indonesia pada masa sekarang, yang tidak hanya mengedepankan pendidikan agama, tetapi juga teknologi. Sistemnya pun sudah tertata rapi dan siap pakai seperti yang kita sebut ‘Kurikulum’. Namun, mengapa Indonesia sekarang tidak bisa seperti Sriwijaya ataupun Majapahit? Adakah perbedaan yang mencolok selain perkembangan zaman?”

Dosen saya tersenyum dan kemudian menjawab, “Semua ada masa-nya. Seperti yang kita tahu bahwa untuk mencapai suatu keberhasilan itu tidaklah mudah. Kita harus terjatuh berkali-kali dan itu membutuhkan waktu yang lama serta bertahap. Begitu pula dalam memajukan suatu negara, komitmen dari setiap elemen dan menyamakan tujuan adalah kunci utamanya.”

Saya masih bingung, kemudian saya mencerna kembali kata demi kata yang telah dosen saya sampaikan. Apa maksud dari ‘Semua ada masa-nya’?

Yapp, berhari-hari saya mempelajari pernyataan beliau dan akhirnya saya dapat menyimpulkan beberapa hal.

Yang pertama. Semua ada masa-nya, itu berarti setiap negara ada masanya. Ada masa-nya ketika negara Maritim-Agraria yang berkuasa, karena memang yang menjadi kebutuhan utama pada masa itu adalah maritim dan agraria. Begitu pula sekarang. Sekarang adalah masa-nya ‘Teknologi-Sains’ yang didominasi oleh negara barat termasuk eropa, karena memang pada masa ini dikuasai oleh kecanggihan teknologi dan keunggulan informasi.

Pada akhirnya, semua tergantung pada bangsa kita sendiri. Tinggal bagaimana upaya bangsa kita dalam menghadapi dan kemudian berbalik mengunggulinya. Ya, saya percaya bahwa setiap negara ada masanya, dan saya percaya bahwa akan ada masa dimana Indonesia akan lebih berjaya dibandingkan dengan pendahulunya (Sriwijaya dan Majapahit). Kembali lagi, semuanya butuh waktu dan partisipasi dari segenap elemen, bukan hanya pendidikan.

Yang kedua. Pendidikan tetaplah menjadi kunci utama kemajuan suatu bangsa. Bagaimana bisa saya mengatakan demikian? Hmm, bukankah pendahulu kita memang sudah menempatkan pendidikan dalam posisi inti? Yapp, menimba ilmu adalah suatu kegiatan yang  diwajibkan dan diutamakan dalam semua agama. Mustahil dan memang tidak ada suatu agama yang melarang umatnya untuk menimba ilmu.

Lalu, pendidikan agama, sosial dan budayakah kuncinya? Bukankah pada masa lampau, pendidikan dalam bidang itu yang diutamakan?

Menurut saya, segala sesuatunya akan menghasilkan produk yang baik jika kita memprosesnya secara seimbang. Orang yang rajin berolahraga akan tetap memiliki masalah dengan kesehatannya jika ia tidak menjaga pola makannya dengan baik. Intinya, pendidikan dalam bidang apapun, jika kita menakarnya dalam kadar yang seimbang atau proporsional, maka hasilnya akan baik. Banyak kok kasus orang-orang yang pintar, ber-IQ tinggi, sekolah di sekolah favorit, tapi kondisi moral dan religinya NOL/MINIM. Ada! Tidak usah melirik ataupun menilai orang lain, cukuplah tengok ke dalam diri kalian masing-masing, apakah kalian tergolong orang yang demikian?

Okke! Saya akan sedikit sharing mengenai suatu hal. Beberpa hari yang lalu, saya mengamati tweet dari seorang pelajar yang kebetulan ditujukan kepada Bapak Ridwan Kamil (Walikota Bandung). Dalam tweet yang disertai gambar itu, pelajar yang saya beri inisial AD menulis “Keluhan mereka para pelajar BDG”. Kemudian dalam gambar yang ia lampirkan (saya lupa apa kalimatnya, karena saat saya buka kembali, ternyata si AD sudah menghapus gambarnya), tertulis sebuah kalimat yang intinya ia merasa bingung dengan aturan sekolah dalam hal rambut dan sepatu ataupun aturan lainnya. Karena ia berpendapat bahwa rambut dan sepatu tidak ada kaitannya dalam proses belajar-mengajar.

Saya setuju dengan pendapat pak Ridwan Kamil dan beberapa orang yang berpendapat disitu. Tata tertib atau aturan tidak akan pernah bernilai NOL/SIA-SIA selama fungsi dari aturan tersebut adalah untuk kebaikan bersama. Saya juga tidak menyalahkan AD, karena memang ada tipe orang dimana ia harus mengerti betul esensi dari suatu aturan sebelum ia menerapkannya.

Setelah melihat tweet tersebut, saya menjadi marah dan tergerak untuk menuliskan sesuatu. Saya teringat dengan suatu kejadian dimana saya mengendarai sepeda motor di area banjir dan tiba-tiba ada pengendara sepeda motor yang mendahului saya dan seenaknya ngebut. Wusshh~ Air yang berasal dari banjir itu membasahi sisi kanan saya dan pengendara motor itu hanya tertawa. Semakin miris ketika saya mengetahui bahwa si pengendara motor itu adalah seorang remaja (yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan saya) dan ia tidak memakai helm. Saya MARAH! Saya bergumam dalam hati saya, “Seperti inikah orang-orang yang akan menjadi penerus bangsa Indonesia?”

Yaa, saya berpikir, ada yang salah dengan pendidikan kita. Hanya saja, saya tidak tahu betul dimana letak kesalahannya? Apakah di sistem? Pendidik? Peserta didik? Atau orangtua sebagai wali peserta didik? Andai saja ada alat penjelajah waktu, saya ingin menjelajah ke masa dimana pendidikan agama, sosial dan budaya adalah segalanya. Saya ingin menjelajah ke masa dimana etika dan tata krama adalah pendidikan utama yang menentukan derajat seorang manusia. Ya, saya ingin tahu dan kemudian membandingkannya dengan masa sekarang.

Yaa, saya ingin memperbaiki kekurangan ini. Karena saya memimpikan suatu masa dimana semua orang memiliki animo besar terhadap pendidikan dan tanggung jawab penuh pada moral, agama serta tanpa meninggalkan jejak budaya bangsa. Yaa, saya menginginkan hal itu! Saya menginginkan aplikasi nyata dari UU No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi :

“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap perubahan zaman.”

Itulah tugas sekaligus tantangan yang harus saya dan mungkin kalian – yang memiliki pemikiran yang sama dengan saya –  taklukkan.

Sekian. Terima kasih karena telah membaca :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun