"Tidak boleh membuang sampah sembarangan", atau "Memelihara harmoni dengan lingkungan alam", mungkin itu yang pertama terlintas dalam pikiran jika mendengar kata "Hidup selaras dengan alam". Namun, benarkah penafsiranya hanya sebatas hidup selaras dengan alam, atau tidak membuang sampah sembaragan? tentu tidak. Berpegang pada prinsip Stoisisme tentang Hidup selaras alam "in accordance with nature", Stoisisme menekankan satu-satunya hal yang dimiliki manusia, yang membedakannya dari binatang adalah nalar, akal sehat, rasio, dan kemampuan menggunakannya untuk hidup berkebajikan. Manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar.
Manusia yang hidup dengan arete/virtue/kebajikan adalah ia yang sebaik-baiknya menggunakan nalar dan rasionya, karena itulah esensi, nature mendasar dari menjadi manusia. Stoisisme lebih menekankan bahwa rasionalitas adalah fitur unik dari manusia. Walaupun ilmu psikiatri dan saraf modern mengerti bahwa fungsi nalar bisa menjadi rusak/terganggu karena gangguan otak atau penggunaan narkoba, tetapi untuk pembahasan ini lebih mengasumsikan fungsi nalar yang sehat pada kebanyakan orang. Stoisisme lebih jauh mengajarkan mengapa harus selalu menggunakan rasionalitas, ini disampaikan oleh stoisisme melalui argumenya yang berbunyi :
- Jika kita ingin hidup bahagia, bebas dari emosi negatif, kita "harus hidup selaras dengan alam"
- "HIDUP SELARAS DENGAN ALAM" untuk manusia artinya kita harus menggunakan nalar. saat kita tidak menggunakannya, praktis kita tidak berbeda dengan binatang.
- Ketika kita tidak menggunakan nalar kita, selain kita menjadi sama dengan binatang, kita akan rentan merasa tidak bahagia, karena kita telah " tidak selaras lagi dengan alam".
- Kita baru berkenalan dengan perempuan, kemudian langsung mengajaknya tidur bersama.