Hari ini langit tampak jemawa membingkai kota ini, semilir angin berembus lirih menerjang sukma yang berdamai ria. Entah sekarang pantas disebut pagi atau siang. Aku juga tak begitu peka. Namun yang jelas hari ini langkahku berderap cepat meloncat dari gerbong ular besi ini.
Seperti lumrahnya manusia kebanyakan, tak ada yang lebih dirindukan ketimbang tanah kelahirannya sendiri. Aku yakin setiap nurani manusia menjunjung tinggi rasa itu. Meski ada beberapa orang yang berbeda, tapi pada hakikatnya tanah kelahiran adalah tempat yang mampu menjinakkan kepenatan yang merajai sekujur daksa.
Pulang bisa menjadi keputusan paling tepat ketika akal dan nalar saling bersinggungan. Menjinakkan setiap angan atas kepenatan mimpinya yang barangkali sulit untuk diraih
Aku yang berderap kembali tersipu takjub ketika nalarku menciptakan paradigma baru yang baru saja ku pikirkan, menciptakan enigma yang alot untuk dipertanggung jawabkan. Entahlah tatapan mataku masih memeluk setiap sudut kampung ini. Benar sekali, kampung yang merekam setiap adegan mimpi manusia, merekam setiap bait kata-kata yang terbang menuju angkasa harapan. Kampung yang penuh cinta dan kasih sayang di setiap sudutnya.
Setelah beranjak dari stasiun kota, aku berhasil menyeret langkahku masuk ke dalam kampung ini. Kampung dengan sejuta kenangan ini memelukku lekat dengan atmosfir yang seringkali tak terduga datang menghampiri. Pepohonan pun tak kalah ramahnya, melambai-lambai menyambut kedatangan daksa ini dengan segala mimpi yang terjeda.
Aku berjalan menyusuri setiap jengkal jalanan yang terbuat dari susunan batu andesit. Jalan yang tak begitu luas untuk di anggap jalan. Namun cukup luas bila dianggap jalan atas setiap harapan manusia.
Aku mengamati setiap sudutnya, sukma kembali keheranan, nalar kembali terkekeh. Lihatlah sudah berapa lama aku merajut mimpi di belantara dunia ini? Waktu atau memang nalar yang lupa akan semua ini? Entahlah setiap jengkal yang kulihat berbeda dari yang kukenali. Berbeda dengan lampau yang berkonspirasi dengan waktu sebelum aku berkelana mencari sepercik mimpiku.
Dulu ketika kognitifku dalam masa pubertas, aku suka dengan tempat itu. Rumah dengan bangunan tingkat bermodel minimalis berwarna abu-abu, pagar besi hitam membingkai bibir rumahnya itu. Bukan rumah itu yang aku sukai, tapi tempat itu yang lampau adalah sepetak lapangan berumput. Lapangan dengan sejuta aksi di dalamnya, merangkai angan dalam setiap imajinasi seseorang yang asyik bersenandung ria di dalamnya. Tempat itu adalah saksi bisu atas terciptanya aku dan segala mimpiku, tempat berbagi kisah, sesekali tempat huru hara kenakalan remaja tanggung.
Aku tersenyum simpul, dengan benak yang dikelilingi ribuan tanya yang siap menyergap ujung anganku. Benakku yang sedari tadi bertafakur atas enigma dunia ini kembali di banjiri enigma baru yang sejujurnya enggan untuk ku telaah. Enigma tentang sebuah waktu dan ruang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Mataku kembali asyik menatap sebuah lapak yang mungkin bisa disematkan kata modern dan mewah. Lapak yang kurasa lapak ini adalah entitas kemoderenan yang terjadi di era ini, di mana pada masa lampau tak pernah sesekali aku menjumpainya, bahkan tak pernah sesekali aku memikirkannya.
Lapak yang dulu menjadi saksi keeksentrikan kami, menjadi saksi atas kenakalan remaja yang hendak mencari jati dirinya dengan stigma-stigma yang melekat di raganya. Membuat siapa saja termangu dengan segala huru hara perangainya. Lapak yang membuatku bandel dengan satire orang tuaku padaku. Lapak yang menjadi saksi bisu perangai kemasan unik atas jajanan kuno yang setiap hari kuimpikan. Jajanan permen rokok dengan segala kearifannya, permen karet berbedak putih, coklat berbentuk payung hingga balon tiup dengan sedotan kuning kecil.
Enigma masa
Menciptakan keheranan yang tak kunjung usai
Menumpas ketidak kuasaan manusia
Atas lajumu yang tak bisa dikendali