Merujuk pada essensi dan substansi peristiwa yang diperingati, tentu dalam benak kita akan tergambar perjuangan para pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Tewasnya Jenderal Mallaby dan juga beberapa tentara sekutu tentu tak gratis. Tentu banyak tubuh yang terhempas ke tanah dan meregang nyawa demi sebuah kata "Merdeka!"
Kini apa yang mereka nikmati? tentu mereka, para pahlawan kita tak dapat menikmatinya ... mereka telah menyatu dengan tanah air yang mereka bela hingga titik darah penghabisan. Paling-paling saat ini jasad mereka bersatu dengan tanah pekuburan yang berlabel "Taman Makam Pahlawan" Itupun dengan catatan, secara adminstratif mereka terdeteksi oleh pihak berwenang sebagai "Pahlawan" yang tentu saja membutuhkan bukti administratif.
Bagi yang saat ini masih berkesempatan menikmati hasil perjuangan mereka, tak semuanya beruntung. Tak jarang diantara mereka harus hidup dalam kekurang dan kesakitan hingga akhir hayat mereka. Belum lagi keluarga mereka. Anak cucu mereka tak semuanya beruntung. Banyak diantara mereka yang harus berjuang untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Kalaupun beruntung dan berhasil, lebih banyak bukan karena "warisan" dari pengorbanan orang tua mereka.
Hari Pahlawan bagi mereka seakan tiada arti dan tak perlu diingat. Sebab hari ini, tak banyak dari mereka yang merasakan hasil perjuangan mereka. Kalau ditelisik, mereka, para pejuang dan anak cucu mereka hanya menjadi "orang pinggiran" diperingatan Hari Pahlawan, jauh dari podium dan jajaran kursi terhormat di Grahadi Gubernuran maupun ruang VIP dan tempat pemberangkatan Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya.
Lalu siapa yang berada disana? di jajaran "yang terhormat" Grahadi Gubernuran dan Ruang VIP pemberangkatan maupun finish Gerak Jalan Mojokerto - Surabaya? Memang ada beberapa orang yang beruntung diantara para anak cucu pejuang seangkatan Bung Tomo. Tapi tak banyak, separuh ruanganpun tak ada disana.
Lalu siapakah mereka? Tentu beragam, ada politikus, pengusaha, pejabat publik, tokoh politik, tokoh pemuda dan puluhan orang yang mengaku wakil masyarakat dari berbagai lembaga. Ada ormas, partai politik, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan dan masih banyak lagi.
Lalu apa yang mereka lakukan? Tentu beragam, tergantung acara dan tempatnya. Ketika upacara berlangsung, tentu mereka mengikuti dengan khidmat. Paska itu, "para tokoh" ini akan masuk ruang gubernuran dan ketawa ketiwi, cipika cipiki tanda kedekatan satu sama lain. Tak hanya itu, merekapun menikmati hidangan yang dibiayai oleh APBD dan hasil dari tetesan darah bercampur keringat para pahlawan.
Lain lagi di Mojokerto, tempat pemberangkatan gerak jalan Mojokerto-Surabaya. Di ruang tunggu VIP mereka menikmati hidangan nan lezat  ala restoran dengan meja bundar. Tak lupa penyanyi cantikpun melantunkan suara merdu menghibur para undangan yang terhormat sembari menunggu Pakde Karwo dan Gus Ipul beserta pejabat teras lainnya datang untuk menyalami mereka.
Apakah cukup bersalaman sambil menunduk dan sebagian cipika cipiki? Tentu tidak, tentu ada "hidden agenda" yang menyertai. "Lobby" Itulah kata yang tepat untuk mewakili peristiwa ini. Mulai sekedar setor muka hingga menggolkan kepentingan tertentu yang berbau politik, ekonomi ataupun lainnya menjadi bagian dari agenda yang ingin dibicarakan.
Apakah itu salah? Tentu tidak, dalam politik dan praktik birokrasi itu sah-sah saja? Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, darimana biaya yang dikeluarkan untuk semua itu? uang pribadi? menurut hematku kok bukan. Tentu APBD. Ini sangat berbeda jauh dengan ribuan masyarakat yang berdiri di sepanjang rute yang dilalui. Dengan ikhlas mereka membagikan segelas air mineral dan seplastik es teh kepada para peserta, sembari memberi semangat kepada peserta. Ini murni dari kantong mereka sendiri. Ironis memang.
Kenyataan semakin menyayat ketika kita mengingat nasib para veteran dan anak cucu mereka. Banyak diantara mereka yang belum dapat menikmati hasil perjuangan dan pengorbanan orang tua dan kakek mereka. Bahkan banyak diantara mereka yang harus berjuang menyambung hidup dengan susah payah. Tak jarang, mereka harus menjadi korban rentenir dan debt collector karena keterhimpitan ekonomi dan kemiskinan yang mereka alami.
Sungguh memilukan, hari yang seharusnya menjadi titik bahagia karena hasil perjuangan mereka maupun leluhur mereka telah terlihat hasilnya, justru menjadi hal yang memilukan karena hasil itu tak mereka rasakan. Hari bahagia itu hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dengan fasilitas tertentu yang hanya menggunakan kesempatan tersebut untuk lobby. Seakan tak ada hari lain, hari bersejarahpun dijadikan kesempatan untuk mendekati "sang petinggi" demi kesuksesan dan keberhasilan yang diharapkan.
Sedih rasanya ......... pilu rasanya ..... sungguh fenomena yang menyesakkan ...............