Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kepada MPR, DPD Menjelaskan Proses Legislasi Model Tripartit

3 Mei 2013   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:12 267 0
Hari Senin (29/4), pukul 11.00 WIB, di Ruangan Delegasi lantai 9 Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengadakan pertemuan konsultasi. Kepada MPR, DPD menjelaskan konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal hak dan/atau kewenangan DPD dalam proses legislasi model tripartit, yakni antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD, dan Presiden.

DPD diwakili pimpinannya, yaitu Ketua DPD Irman Gusman serta para Wakil Ketua DPD, La Ode Ida dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Sedangkan MPR diwakili pimpinannya, yaitu Ketua MPR Taufiq Kiemas serta para Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Thohari, Lukman Hakim Saifuddin, Ahmad Farhan Hamid, dan Melani Leimena Suharli; dan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) MPR Lukman Edy. Sekretaris Jenderal (Sesjen) MPR Eddy Siregar dan Pelaksana Tugas (Plt) Sesjen DPD Djamhur Hidayat.

Dalam pertemuan itu, Irman menyampaikan tiga poin: putusan MK, Tim Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia, serta sarana dan prasarana DPD.

Kesatu, perintah atau suruhan (amar) putusan MK menegaskan konstitusionalitas hak dan/atau kewenangan DPD, baik pengajuan rancangan undang-undang bidang tertentu maupun pembahasan rancangan undang-undang bidang tertentu yang disebut Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Selain itu, penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Konsekuensinya proses legislasi berubah dari model bipartit ke model tripartit, yaitu DPR, DPD, dan Presiden.

Jadi, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak awal hingga akhir pada pembahasan tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu menyampaikan pengantar musyawarah sebagai tahap awal; mengajukan dan membahas daftar inventaris masalah (DIM), serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir. Selanjutnya, DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR namun DPD tidak terlibat persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU).

Kedua, DPD mengapresiasi pembentukan Tim Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan mendukungnya untuk menghasilkan rekomendasi Perubahan Kelima UUD 1945 yang disampaikan Tim Kajian kepada pimpinan/anggota MPR agar ditindaklanjuti.

Ketiga, DPD belum memiliki ruangan sidang paripurna. Selama ini DPD meminjam Gedung Nusantara V yang merupakan aset MPR setiap menyelenggarakan sidang paripurna. "Ruangan yang ada saat ini tidak representatif," ujar Irman, seraya mengharapkan penataan ruangan dan gedung di kompleks parlemen.

Menyosialisasikan putusan MK

Menanggapinya, Hajriyanto mengusulkan agar DPD menggelar pertemuan konsultasi yang intensif dan ekstensif, khususnya dengan DPR dan Presiden, guna menindaklanjuti putusan MK. Agar tersepakati aspek dan dimensi kewenangan legislasi DPD. "Putusan MK itu banyak aspek dan dimensi yang mesti dikonsultasikan dengan DPR dan Presiden. MPR akan mendukung terhadap apa yang nanti disepakati, terhadap apa yang disebut sebagai tripatrit dalam pembahasan RUU dimaksud."

Persoalannya, sampai saat ini belum jelas pembagian urusan antara pusat dan daerah, sehingga belum tegas pula definisi masalah nasional dan masalah lokal. Contohnya, apakah RUU Kepelabuhan terkategorikan RUU urusan daerah atau bukan. Tanpa defenisi masalah yang tegas dan pembagian urusan yang jelas, penentuan rancangan undang-undang bidang tertentu menjadi tergantung versi tiga pihak (DPR, DPD, dan Presiden).

"Putusan MK itu tidak serta merta bisa dilaksanakan, tanpa definisi yang tegas, karena putusan MK itu maknanya sangat luas. Apalagi, negara ini bukan negara federal, melainkan negara kesatuan Republik Indonesia." Sambungnya, "Untuk mendapatkan kepastian definisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan daerah, perlu pertemuan konsultasi yang intensif dan ekstensif."

Taufiq mengakui, memang tak ada lagi lembaga negara yang lebih tinggi (tertinggi) pasca-amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), melainkan semuanya setara sebagai lembaga tinggi negara. Oleh karena itu, tindak lanjut putusan MK sebaiknya dimusyawarahkan dan dimufakatkan oleh lembaga negara terkait, karena menyangkut pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. "DPD harus lebih ulet, kerja keras lagi untuk sosialisasikan putusan MK."

Menanggapi sarana dan prasarana DPD, Taufiq mengusulkan agar pimpinan DPD juga membicarakan masalahnya dengan pimpinan DPR, agar DPD bisa memanfaatkan dan menggunakan aset-aset DPR di Kompleks Parlemen.

Hajriyanto menambahkan, pimpinan MPR sebaiknya menggelar rapat dengan Sekretariat Jenderal MPR terlebih dahulu guna mendengar penjelasan Sekretariat Jenderal MPR. Setelah terinventarisasi, bisa saja terjadi pengalihan aset-aset dari MPR ke DPD. "Saya kira, DPD perlu membuat gedung sendiri," katanya.

Lukman berpendapat, persoalan gedung baru sebaiknya menjadi bahasan mendalam antara pimpinan DPD dan pimpinan MPR yang menyertakan penjelasan Sekretariat Jenderal MPR.

Farhan mengakui, selama ini DPD seolah-olah tidak memiliki aset, sehingga harus meminjam ruangan dan gedung yang merupakan aset MPR. Untuk itu, sebaiknya MPR menjelaskan aset-aset miliknya yang bisa dialihkan kepada DPD.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun