Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Aida Zulaika Nasution Ismeth: “Traffickers, Smugglers Memanfaatkan Perbatasan sebagai Stepping-stone”

16 April 2012   01:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:34 210 0

Wilayah perbatasan menjadi isu yang melibatkan relasi antarnegara. Sebagai sebuah konsep geografis, masalah perbatasan selesai ketika dua atau lebih negara yang masing-masing memiliki wilayah perbatasan menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru ketika perbatasan menjadi konsep sosial ketika masyarakat menghuni atau melintasinya.


Perubahan mind-set dibutuhkan untuk mengubah stigma yang berlaku bahwa wilayah perbatasan adalah teras belakang (kurang terurus, dibiarkan terlantar) menjadi teras depan (bagian terindah sebuah negara). Langkah-langkah strategis harus ditetapkan guna pengembangan wilayah perbatasan, baik perbatasan laut maupun darat, apalagi mengingat kesejahteraan masyarakatnya sangat bervariasi.


Bagi negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia (panjang garis pantai lebih 81.000 km, jumlah pulau-pulau lebih 17.508, luas laut sekitar 3,1juta km²) yang posisinya di simpang dua samudera maka wilayah pesisir dan lautan Indonesia termasuk yang rentan dan rawan kejahatan seperti illegal trafficking, human smuggling, juga pencurian keanekaragaman hayati (biodiversity) dan illegal dumping.

Trafficking, smuggling bukan karena faktor dari sana (luar Indonesia) saja, juga faktor dari sini (dalam Indonesia). Traffickers, smugglers memanfaatkan perbatasan sebagai stepping-stone (pijakan kaki). Di imigrasi, bea cukai, dan sebagainya ada saja orang-orang kita yang mau bekerja sama. Semuanya fullback factors (faktor penarik) untuk masuk ke Indonesia,” kata Aida Zulaika Nasution Ismeth saat Perspektif Indonesia “Mengapa Persoalan Perbatasan Tak Kunjung Usai?” di Pressroom DPD, Kompleks Parlemen, Senayan--Jakarta, Jumat (27/8/2010).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun