Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Paulus Y Sumino: “Pen-jumeneng-an Tidak Berlawanan dengan Demokrasi”

5 April 2012   10:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:00 180 0

Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merampungkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta beserta naskah akademiknya. Sidang Pleno Komite I DPD tanggal 30 Agustus 2010 menyepakati tenggat waktu (deadline) tanggal 20 September 2010 bagi Presiden untuk mengajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ternyata, Presiden molor.


Komite I DPD melaporkan perkembangan tugasnya saat Sidang Paripurna DPD tanggal 26 Oktober 2010. Mereka menyepakati mekanisme kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak melalui pemilihan tapi penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono yang bertahta (jumeneng) dan Sri Adipati Paku Alam yang bertahta (jumeneng) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.


Jumeneng maksudnya, bukan hanya Sultan dan Adipati yang sekarang jumeneng tapi jumeneng yang ditetapkan melalui mekanisme pen-jumeneng-an keraton dan puro di masa-masa mendatang,” demikian ditegaskan Ketua Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Komite I DPD Paulus Yohanes Sumino (anggota DPD asal Papua) ketika bertemu delegasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY.


Delegasi DPRD DIY yang dipimpin ketuanya, Yoeke Indra Samawi, ke Jakarta untuk menemui pimpinan DPD. Mereka diterima dua Wakil Ketua DPD, Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DIY) dan Laode Ida (Sulawesi Tenggara), di lantai 8 Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan--Jakarta, Rabu (13/10).


Komite I DPD mengakui dan menghormati mekanisme penetapan Dwi Tunggal Hamengkoni Agung DIY masing-masing sebagai pemimpin budaya tertinggi di Kasultanan dan Kadipaten sesuai dengan suksesi ala Kasultanan dan Kadipaten. “Kami sowan ke ngarso dalem (Hamengku Buwono X) untuk mengetahui mekanisme pen-jumeneng-an keraton. Ternyata, keraton telah mengaturnya.”


Karena kultur tradisional bukan tantangan demokratisasi di Indonesia dan demokratisasi tidak hanya formal dan prosedural belaka, maka Tim Kerja mengombinasikan suksesi ala kerajaan dan demokrasi. “Karena sekarang ada fenomena demokratisasi di Yogyakarta juga maka kami mengawinkan antara cara suksesi kerajaan dan demokrasi. Kami menyimpulkan, pen-jumeneng-an tidak berlawanan dengan demokrasi,” tutur lelaki kelahiran Magetan, 1 Desember 1948.


Demokrasi mengandung prinsip-prinsip seperti kedaulatan rakyat, pemerintahan mayoritas, perlindungan minoritas, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan. Dalam konteks sosiokultur Yogyakarta, Pemerintah menempatkan demokrasi di simpang jalan antara lokalitas dan universalitas.


Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Jayawijaya (1973–1978), Ketua DPD Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Kabupaten Jayawijaya (1979–1984), dan Sekretaris DPD Golkar Kabupaten Jayawijaya (1976–1987) ini, demokratisasi di tengah arus globalisasi meniscayakan kontekstualitas.


Demokrasi sebagai nilai-nilai yang diletakkan dalam konteks sosiokultur tertentu adalah pilihan yang arif. Penilaian apakah demokratis atau tidak sebuah komunitas, termasuk bangsa, tidak bisa mengesampingkan faktor sosiokultur yang secara historis dialami oleh sebuah komunitas atau bangsa yang bersangkutan.


Sumino menjelaskan sebagai wujud kesiapan, Komite I DPD merampungkan naskah akademik dan draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Jika Pemerintah hingga tanggal 20 September 2010 tidak mengajukannya ke DPR, maka Komite I DPD mengajukan RUU usul inisiatifnya ke DPR. “Kami menggunakan hak konstitusional, karena DPD tidak bisa membiarkan daerah brontak.”


“Kami ke Yogyakarta mendengar aspirasi masyarakat. Kemudian, kami melakukan kajian akademis. Bukan pekerjaan satu dua hari, melelahkan. Hasilnya, terkaji kelemahan undang-undang yang ada. Bukan hanya isu kepemimpinan yang menjadi keistimewaan. Hasil kajian DPD, sekurang-kurangnya empat pilar menjadi kekuatan keistimewaan Yogyakarta. Empat pilar itu masa depan Yogyakarta.”


Keistimewaan Yogyakarta mencakup bidang kepemimpinan; kepemerintahan; pelestarian dan pengembangan kebudayaan; dan tata kelola pertanahan. Semuanya dilandasi nilai-nilai kearifan lokal dan kepemimpinan lokal yang memihak rakyat.


Di tengah-tengah polemik, spanduk-spanduk referendum terpasang di sudut kota Yogyakarta. Spanduk intinya menyatakan rakyat Yogyakarta siap referendum.


“Kalau Yogyakarta agak keras, referendum, kami menganggapnya kegelisahan, karena RUU yang berlarut-larut. Terbiarkan. Kami juga gelisah. Jangan sampai kegelisahan ini meningkat dari waktu ke waktu. Presiden tidak bisa membiarkan Yogyakarta gelisah terus menerus. Kita harus segera mempercepatnya. DPD sudah siap, draft-nya sudah ada,” ucap sarjana pendidikan Universitas Cendrawasih (1984) dan magister manajemen Universitas Hasanudin (2003) ini.


“Untungnya, Republik Indonesia ini didiami orang Yogyakarta yang halus, sopan, santun, sabar, walaupun diperlakukan begitu. Kalau pakai rumus Papua, ‘kita merdeka saja’. Tapi, kita mencintai Republik Indonesia agar tetap lengket dan kuat. Kita ingat sejarah, bagian-bagian Republik Indonesia pernah memberontak karena kecewa atas perlakukan pusat yang tidak adil kepada daerah.”


Sumino menyinggung Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 86/P Tahun 2008 tertanggal 7 Oktober 2008 yang dimaksud agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan DIY. Presiden mengeluarkan keputusan yang memperpanjang paling lama 3 tahun masa jabatan mereka yang berakhir tanggal 9 Oktober 2008. Selama tiga tahun itu, diharapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta selesai dibahas dan disosialisasikan.


Perpanjangan masa jabatan dilandasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Soal dasar hukum perpanjangan masa jabatan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) waktu itu, Mardiyanto, mengakui UU 32/2004 tidak eksplisit menyebutnya tetapi harus ada formula yang legal mengatasinya.


“Kami harus tegas dan berani menyatakan apa yang benar dan apa yang salah,” tukasnya. “Landasan hukum tersebut tidak satu pun mengamanatkan suksesi melalui keputusan presiden. Kami mengingatkan Presiden bahwa suratnya bisa menyebabkan masalah jadi berlarut-larut. Sekarang saja, suratnya terancam lagi oleh masa jabatan yang mau selesai. Cara ini tidak bisa diteruskan, harusnya setingkat undang-undang.”

Menurut anggota DPRD Papua periode 1999-2004 dan 2004-2009 ini, sikap DPD mengenai Keppres tidak kontraproduktif dengan eksistensi pembentukan DIY karena bertujuan untuk menciptakan tertib hukum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun