Ketua DPD Irman Gusman menyatakannya saat diskusi bertajuk "Peran, Fungsi, dan Aktualisasi Senat dalam Sistem Parlemen di Berbagai Negara" di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/4). Ia mengakui anggota masyarakat masih menganggap DPD itu nama jajaran pimpinan partai politik (parpol) tingkatan daerah.
"Nama DPD lebih sering disebut dengan Dewan Pimpinan Daerah parpol tertentu dan yang berpandangan seperti itu jumlahnya tidak sedikit," ujarnya. Akibatnya, struktur serta fungsi, tugas, dan wewenang DPD belum dipahami. Lebih baik DPD berganti nama menjadi senat guna menghindari ambigu penamaan dengan organisasi.
Selain itu, terjemahan The House of Regional Representatives untuk menyebut DPD juga mengandung arti yang rancu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau organisasi fungsionaris daerah.
Di acara yang sama, advokat kondang Todung Mulya Lubis menjelaskan kenyataan ambivalensi Indonesia sebagai negara "in between". Indonesia merupakan negara kesatuan namun kental berciri negara federal. Parlemennya menganut sistem bikameral namun sistem unikameral yang lebih mengemuka. Tak hanya itu, Indonesia pun menerapkan desentralisasi meski seluruh keputusan menyangkut daerah acap diputuskan oleh pemerintah pusat.
Senada dengan Todung, guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra mengatakan Senat di beberapa negara memang berjuang memperkuat kewenangannya. Menyangkut penguatan DPD, tahun ini periode penting menentukan nasib melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Menurutnya, mengubah konstitusi sulit tetapi konvensi ketatanegaraan yang langsung tidak langsung memperkuat kewenangan DPD bisa saja terjadi. "Tetapi, kalau anggota DPD periode sekarang gagal maka menjadi berat terpilih kembali di periode mendatang. Untuk itu, sangat diperlukan kedewasaan anggota DPD dan anggota DPR," ujarnya.
Diskusi tersebut menghadirkan perwakilan negara yang menganut sistem bikameral, yakni konselor politik Kedutaan Besar Jepang Hidetoshi Ogawa, profesor politik dan kebijakan publik Australian National University (ANU) Ian Marsh, Wakil Duta Besar Jerman Heidrun Tempel, dan Wakil Duta Besar Malaysia Syed Mohamad Hasrin Teungku Hussin.
Pengamat yang turut serta sebagai pembahas ialah pakar hukum tata negara Universitas Pancasila Isnaeni Ramdhan, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro, pakar hukum Universitas Khairun Margarito Kamis, pengamat hukum Irmanputra Sidin, dan pakar politik dari Australia Kevin Evans.
Diskusi dihadiri anggota DPD, anggota DPR, staf ahli, dan asisten pemerintahan dan otonomi daerah se-Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), di antaranya Asisten Tata Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sylviana Murni.