Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Bhenyamin Hoessein: “Gubernur dan Bupati/Walikota Berperan Ganda, Daerah Otonom Berstatus Ganda”

22 Februari 2012   11:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:19 682 0

Guru besar ilmu administrasi negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bhenyamin Hoessein menyatakan, gubernur dan bupati/walikota harus berperan ganda sebagai kepala pemerintah daerah otonom (asas desentralisasi) dan sebagai wakil pemerintah pusat (asas dekonsentrasi) agar terjadi one single command dari atas ke bawah. Daerah otonomnya juga berstatus ganda sebagai daerah otonom (asas desentralisasi) dan sebagai wilayah administrasi (asas dekonsentrasi).


Ia mengungkapnya saat Perspektif Indonesia “Quo Vadis Peran Gubernur dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah” di Pressroom Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/5). Narasumber lainnya adalah mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Mendagri Otda) Muhammad Ryaas Rasyid, anggota DPD asal DKI Jakarta Andi Mapetahang (AM) Fatwa, dan staf ahli bidang pemerintahan Gubernur Banten Kurdi Matin.


Bhenyamin, juga anggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Kemdagri, yang disahkan menjadi UU 22/1999, UU 32/2004, dan anggota Tim Perumus RUU Perubahan atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa ada dua konsepsi sistem pemerintahan daerah yang menonjol, yaitu sistem pemerintahan daerah kontinental (negara-negara Eropa daratan) dan sistem pemerintahan daerah Anglo-Saxon (negara-negara Eropa lautan).


Sistem pemerintahan daerah kontinental yang terutama ialah integrated prefectoral system (sistem prefektoral terpadu) yang dianut Perancis dan Belanda dan mulai berlaku di Indonesia di masa penjajahan Belanda. Konsekuensi sistem pemerintahan daerah berkarakteristik integrated prefectoral system adalah hirarki kepala daerah yang berperan ganda dan hirarki daerah otonom yang berstatus ganda.


Penjelasannya, kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) berperan ganda sebagai kepala pemerintah daerah otonom (berdasarkan asas desentralisasi) dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (berdasarkan asas dekonsentrasi). “Gubernur berperan ganda. Di bawahnya, bupati/walikota berperan ganda.” Daerah otonom juga berstatus ganda, yaitu sebagai daerah otonom (berdasarkan asas desentralisasi) dan sebagai wilayah administrasi (berdasarkan asas dekonsentrasi).


Dalam integrated prefectoral system, gubernur dan bupati/walikota memiliki peran yang mirip, yaitu menegakkan hukum dan mewujudkan ketertiban masyarakat; menciptakan stabilitas politik; mengoordinasikan kegiatan antara instansi vertikal dan dinas daerah otonom, antardaerah otonom, antara daerah otonom yang lebih tinggi dan daerah otonom yang lebih rendah (di bawahnya), baik perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan.


Kemudian, pengawasan yuridis terhadap produk hukum daerah otonom yang lebih rendah; menyeimbangkan berbagai kepentingan antarkekuatan serta antara daerah otonom dan pemerintah (balancing agent); menyelesaikan konflik antardaerah otonom; sebagai problem solver,bukan problem maker, berbagai hambatan, gangguan, dan ancaman; mengupayakan kesetaraan kualitas layanan antardaerah otonom secara vertikal dan horizonal; serta memperkecil rentang kendali pemerintah pusat terhadap susunan daerah otonom.


Menurutnya, peran ganda kepala daerah diatur UU 1/1945, UU 22/1948, dan UU 1/1957. Terhenti karena UU 1/1957 menghapus peran ganda kepala daerah tetapi Penpres 6/1959 mengembalikannya dan peran ganda kepala daerah kembali diatur UU 18/1965 dan UU 5/1974. “Muncul masalah ketika UU 22/1999 dan UU 32/2004. Mengapa? Karena bupati/walikota tidak berperan ganda,” ujar Bhenyamin.


UU 22/1999 menerapkan split model yang memosisikan bupati/walikota hanya sebagai kepala daerah dan tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Karena provinsi menjadi daerah otonom dan menjadi wilayah administrasi maka gubernur sebagai kepala daerah otonom sekaligus kepala wilayah administrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah. Tetapi, UU 32/2004 menerapkan fused model di provinsi yang memosisikan gubernur sebagai kepala daerah sekaligus kepala wilayah, sedangkan di kabupaten/kota diterapkan split model yang memosisikan bupati/walikota hanya sebagai kepala daerah.


Dalam UU 5/1974, pelaksanaan otonomi dititikberatkan pada daerah tingkat I dan asas dekonsentrasi lebih menonjol ketimbang asas desentralisasi, karena peran gubernur sebagai kepala wilayah lebih menonjol ketimbang sebagai kepala daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, gubernur dan bupati/walikota bertindak sebagai kepala daerah sekaligus kepala wilayah.


Ia menambahkan, karena dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004 bupati/walikota tidak berperan ganda maka gubernur tidak memiliki grip (cengkeraman) kepada bupati/walikota. “UU Pemerintahan Daerah harus jelas dan tegas mengatur peran ganda gubernur dan bupati/walikota. Wacana revisi UU 32/2004 menyinggung peran ganda gubernur dan bupati/walikota. Tapi, keberhasilannya tergantung perkembangan di Senayan. Mudah-mudahan lolos rancangan seperti ini.”


Masalahnya, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004 dalam rangka melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan khusus. Semestinya, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam rangka melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan umum. “Wakil pemerintah pusat melaksanakan dekonsentrasi urusan pemerintahan umum. He is generalist, instansi vertikal specialist.”


Tetapi, one single command tidak terjadi jika, misalnya, UU Pemerintahan Daerah mengatur peran ganda gubernur sementara UU lain membolehkan bupati/walikota menjabat pengurus dan/atau anggota partai politik. “Di tengah konstelasi sekarang, question mark-nya ialah bisakah terjadi one single command kalau gubernur dan bupati/walikota masing-masing diusung ‘kapal berbeda’? Andaikan konstelasinya seperti dulu, bupati/walikota juga sebagai wakil pemerintah pusat maka terjadi one single command dari atas ke bawah.”


Beberapa wacana mengemuka untuk menghindari dualisme loyalitas antara loyalitas ke partai pengusung dan loyalitas ke pemerintah, yaitu ada yang mengusulkan agar gubernur dan bupati/walikota melepas dirinya dari partai bersangkutan setelah dinyatakan sebagai gubernur dan bupati/walikota terpilih. “Jadi, setelah terpilih maka bupati/walikota melepas baju partainya. Tapi, sekali lagi, keberhasilannya tergantung perkembangan pembahasan rumusannya di Senayan.”


Bhenyamin juga menjelaskan pembagian urusan. Jika mengikuti sistem pemerintahan daerah kontinental maka urusan pemerintahan terbagi menjadi urusan pemerintahan khusus (seperti pendidikan, pertambangan, pertanian) dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum tidak terdesentralisasi tapi terdelegasi dari presiden ke wakilnya di daerah. “Instansi vertikal adalah wakil kementerian, kepala instansi vertikal yang bertanggung jawab kepada menteri.”


Ia berharap, pemikiran sistem pemerintahan daerah kontinental teralur jelas dan tegas dalam UU Pemerintahan Daerah yang disepakati di Senayan, bahwa desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia merupakan executive decentralization. “Desentralisasi hanya memancar dari eksekutif, tidak mencakup legislative decentralization, apalagi judicial decentralization. Judicial decentralization hanya di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), tapi itu pun masih dalam satu garis.”


Dalam sistem pemerintahan daerah kontinental, penguasanya tidak dipilih lewat sistem pemilihan (election system). “Semuanya diangkap pemerintah pusat,” tukasnya. Kombinasinya ialah calon gubernur dan calon bupati/walikota dipilih dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) seperti diatur UU 22/1999. “Ketika RUU Pemerintahan Daerah dirancang tahun 1999, Tim Perumus menghadap Pak Ryaas (Rasyid), agar gubernur dan bupati/walikota dipilih langsung. Pak Ryaas menolak.”


“Semestinya teralur jelas dan tegas pemikiran sistem pemerintahan daerah kontinental dalam RUU Pemerintahan Daerah hasil revisi UU 32/2004, karena selama ini kita mengikuti sistem kontinental. Mengapa harus Anglo-Saxon? Di negara-negara bagian Amerika Serikat yang menganut Anglo-Saxon bervariasi penerapannya. Ada yang election system, ada yang diangkat pemerintah negara bagian, ada yang diangkat DPRD. Kenapa kita harus berkiblat ke Amerika Serikat?”


Ia bercerita bahwa di hadapan delegasi Musyawarah Nasional, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengingatkan bahwa titik berat otonomi dalam UU 1/1957 yang akan berlaku saat itu adalah pada provinsi. Hatta ingin titik berat otonomi di kabupaten/kota yang bupati/walikotanya berperan ganda tetapi calon-calonnya dipilih DPRD, kemudian salah satunya diangkat pemerintah pusat. Tujuannya, agar terjadi titik temu antara unsur acceptability di bawah dan di atas.

Hatta khawatir, pemilihan langsung bupati/walikota justru melahirkan republik-republik kecil di wilayah Republik Indonesia. “Nanti, kita akan menghadapi perpecahan,” kata Hatta, sebagaimana dikutip Bhenyamin. Kekhawatiran Hatta ternyata terbukti setelah pemberlakuan pemilihan langsung kepala daerah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun