Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

“Mengadopsi Proses Legislasi Model Tripartit (DPR, DPD, dan Presiden) dalam Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD”

23 Mei 2014   15:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:12 842 0

Tanggal 14 September 2012 yang lalu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan ke Mahkamah Konstistusi (MK) pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pimpinan DPD, yakni Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD), bertindak selaku pemohon yang memberikan kuasanya kepada Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan. Sebagai pihak yang menganggap pemberlakuan kedua undang-undang merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, judicial review tersebut merupakan upaya lembaga negara ini untuk memperoleh ketepatan dan kepastian dalam mengoptimalisasikan sistem keparlemenan di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Alhamdulillah, tanggal 27 Maret 2013 yang lalu MK memberikan penegasannya. MK mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Poin-poinnya antara lain kedudukan DPD di bidang legislasi setara DPR dan Presiden serta pengusulan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah) oleh tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan DPR (bukan fraksi DPR). Pembahasan RUU yang bukan lingkup bidang DPD dilakukan oleh Presiden dan DPR yang levelnya antarlembaga (bipartit), bukan dilakukan oleh Pemerintah dan fraksi DPR.


Konsekuensi perintah atau suruhan (amar) putusan MK tersebut adalah proses legislasi model tripartit, yakni DPR, DPD, dan Presiden, yang setara sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I (kegiatannya adalah pengantar musyarawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini). Artinya, MK memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahasnya sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I. Pada Pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapat sebelum persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR sampai sebelum tahapan persetujuan. Jadi, DPD tidak terlibat pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU).


MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit), DPD dapat mengusulkan RUU tentang pencabutan peraturan pengganti undang-undang (perppu) yang menyangkut lingkup bidang DPD, serta putusan MK yang berlaku pada saat diucapkan (negative legislature) tanpa menunggu revisi UU MD3 dan UU P3.

Mahkamah menilai, memosisikan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, tapi kemudian Baleg DPR mengubahnya menjadi RUU dari DPR adalah mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU sesuai ketentuan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah memutuskan, kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden. RUU diajukan oleh DPD berdasarkan Prolegnas dan di luar Prolegnas. Ihwal DPD ikut membahas RUU dari DPR atau RUU dari Presiden yang selama ini tidak melibatkan DPD dalam keseluruhan proses pembahasannya, Mahkamah menilai bahwa UU MD 3 dan UU P3 mengurangi kewenangan DPD untuk membahas RUU sesuai ketentuan UUD 1945.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun