Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berawal di Web, Berakhir di Cetak (Selamat buat Kompas)

11 Maret 2009   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 175 0
Selamat buat Pak Taufik H. Mihardja (saya mengikuti semua tulisannya di kategori media, Pak), Pak (atau Kang?) Pepih dan kru Kelompok Kompas atas langkah sukses menuju integrasi online dan cetak. Buat para blogger di luar Kelompok Kompas, jangan berkecil hati karena Anda menjadi bagian dari suatu evolusi media yang tampaknya bakal tercatat dalam sejarah media di Indonesia. Selamat untuk Anda semua.

Sebagai penanggung jawab usaha sebuah media cetak, saya memang mencermati gerak-gerik Kelompok Kompas. Bukan dengan tujuan untuk menyaingi tentu saja. Kelompok Kompas terlampau besar untuk ukuran saya. Kalau menguntit, bolehlah. Tapi jauh di belakang. Lebih utama, saya menjadikannya sebagai proses belajar, syukur-syukur bisa menjadikan semua kiat Kompas sebagai benchmark.

Setidaknya ada 2 hal yang sukses diaplikasikan Kompas untuk integrasi cetak dan onlinenya. Pertama, biarkan mesin yang bekerja. Edisi online (Kompas.com) tidak saja menjadi media interaksi pembaca dan media. Namun, juga menjadi saluran partisipasi dari masyarakat. Kompas.com sukses membangun partisipasi publik secara luas melalui saluran-saluran yang disediakannya. Saluran KoKi dan Kompasiana menjadi 2 contoh menarik.

Kedua, berawal di web berakhir di cetak. Fakta diangkatnya tulisan Prabowo Subianto ke dalam edisi cetak koran dalam jaringan Kompas menjadi bukti paling polos.  Saya pernah mencatat sebuah tulisan yang berawal dari KoKi yang lantas diangkat ke Perjalanan, Kompas Minggu. Catatan saya ini memang perlu konfirmasi. Ke depan sangat mungkin isi Kompas cetak (atau jaringan media cetaknya) yang melibatkan partisipasi publik akan bertambah.

Berawal di web dan berakhir dicetak tidak berarti harfiah seperti diangkatnya tulisan dari publik ke edisi cetak. Ini sebenarnya sebuah siklus untuk saling memperkuat kelemahan masing-masing media dari sisi penyajian informasi/berita.

Bagi wartawan, prinsip ini memerlukan perubahan cara kerja yang mendasar. Pak Pepih secara tidak langsung sudah membeberkan bahwa integrasi cetak dan online menuntuk wartawan untuk bekerja dengan kultur news room. Dalam konteks Kompas, tampaknya, itu tidak hanya berlaku bagi wartawan Kompas, namun semua lini media termasuk majalah yang bernaung di bawah kelompok Kompas.

Perubahan kultur kerja rasanya bukan hal yang sederhana. Bahkan, sejatinya itu menjadi tantangan terberat dan kunci bagi media cetak untuk menghadapi persaingan dengan internet. Perlu kemauan setiap individu dan kebijakan yang kuat untuk mewujudkannya. Dan Kompas menunjukkan tanda untuk sukses.
Saya percaya, itu semua bukan pekerjaan gampang yang dicapai dalam waktu singkat. Saya ingat, ketika Kompas berubah (redesign dan resizing) pada 28 Juni 2005 lalu, saat itu langkah untuk Kompas berbenah di era internet sudah mantap diayunkan.

Di tengah pesimisme bakal berakhirnya media cetak, kok saya masih optimistis bahwa media cetak tidak akan mati. Paling tidak, tidak dalam waktu dekat. Media cetak yang mampu merefleksikan realitas dinamis masyarakat akan terus eksis dan berkembang. Salah satunya ditunjukkan oleh Kompas.
Selamat untuk Kompas. Selamat untuk Anda semua.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun