Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Balada Sebuah Kesetiaan

16 Maret 2015   11:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 150 0
[Maria] Mataku hanya tertuju pada beo hijau ini. Beo dalam sangkar ini sanggup membuatku mengingat dirimu yang pernah singgah di hatiku. Entah dimana dirimu sekarang? Hanya beo ini satu-satunya peninggalan darimu untukku. Sepuluh tahun sudah, kita tak bersua. Aku tetap masih mengharapkan wajahmu berada di hadapan parasku. Beo ini. Dulu kau pernah berkata: "Aku memberikan beo ini, karena kurasa beo ini hadiah paling pas," di hari ulangtahunku yang sweet seventeen. Kadang aku heran, mengapakah harus diembel-embeli 'sweet'? Tujuh belas. Angka itu gerbang menuju kedewasaan. Aku benci dewasa. Aku benci jadi dewasa. Jadi dewasa, membuatku harus berpikir realistis. Sarat dengan beban, masalah, kesakitan, kesukaran,... hilang semua segala sukacita khas anak-anak. Memang apa salahnya jadi anak-anak selamanya? Kamu tertawa. Kau hanya terbahak-bahak mendengarkan celotehku. Ucapmu: "Kamu ini yah? Bawelmu kapan sih hilangnya? Persis seperti beo ini. Cerocos terus tanpa henti." Hah? Aku terkejut. Masakan aku disamakan dengan burung beo. Cengiran. Hanya itu yang kamu berikan sebagai jawaban. Sesungguhnya kamu menimpali kata-kata nyinyirku itu. Namun jawabannya tak ada tautannya sama sekali. Kau berseloroh: "Sweet seventeen. Sweet itu artinya manis. Tujuh belas. Satu dan tujuh. Bila dijumlahkan hasilnya delapan. Delapan itu menurut tradisi Tiongkok, angka kesempurnaan. Tak hanya di Tiongkok sana, banyak negara dan bangsa memuja angka delapan. Tak usah heran. Angka itu memang sempurna. Tali temalinya menyatu; tak memotong. Itulah sebabnya, disebut sweet seventeen. Selain itu, jadi dewasa tak selamanya buruk. Karena dewasa, kita dapat melakukan banyak hal yang tak bisa kita lakukan di masa kecil." Aduh, sekarang siapa coba yang bawel? Aku atau kamu? Setidaknya bawelku ini lebih jelas arahnya. Sedangkan kamu? Kamu hanya menyerocos tanpa aku tahu apa maksudnya. Tapi itu membuktikan, aku dan kamu memang berjodoh. Kita punya kesamaan sifat: bawel. Ah jodoh. Kata itu bikin aku kebas. Kalau kita jodoh, mengapakah kamu pergi tanpa jejak? Tanpa jejak? Benarkah itu? Yah kamu memang memberitahuku kamu pergi ke negeri adidaya untuk belajar. Kamu diterima di universitas paling bergengsi. Walaupun demikian, semenjak kamu pergi, kamu serasa menghilang. Sungguh tanpa jejak. Akunmu tak aktif lagi. Nomormu pasti ganti. Surat elektronikku tak pernah kamu balas. Ah, ah, ah. Kamu ada dimana sebetulnya? "Hey, Maria!" Aku terbangun dari lamunanku. Ternyata Ricky. Pria yang terus menerus mencoba untuk menggantikan posisimu di hatiku. Padahal sudah bermilyar-milyar kali kubilang, hati ini hanya milikmu seorang. Morris. "Masih terus menunggui Morris?" tanyanya dengan senyum usil. "Sudahlah lupakan saja. Morris pasti di sana sudah melupakanmu. Laki-laki itu tak bisa dipercaya. Mereka bak kucing garong. Ada betina yang aduhai, berpindahlah mereka. Lebih baik kamu buka hatimu untuk aku. Aku janji tak akan mengecewakanmu." "Kamu laki-laki, bukan?" Kutangkis kata-katanya yang melecehkanmu itu. "Kamu juga kucing garong, dong?! Kamu pasti juga tak bisa dipercaya. Kata-katamu itu menyiratkan semua laki-laki busuk." Matanya tampak tersinggung, namun berusaha tenang. "Tak semua. Aku berkata seperti itu, maksudku kebanyakan. Sembilan puluh persen laki-laki suka mendua. Hanya sepuluh saja yang tidak - dan salah satunya itu aku." Ah, pria ini pintar sekali berkelit. Sama seperti kamu, tapi dia jauh lebih keras kepala dan... egois. Kamu tahu, tidak? Pria ini pernah tak mau memberikan tempat duduk pada seorang wanita. Katanya sih: "Sekarang jaman emansipasi, bukan? Apalagi perempuan itu juga masih kuat berdiri." Ah, egois sekali dirinya. Berbeda denganmu. "Maria, realistislah." Ia berusaha meretorikaku. "Kamu dan Morris sudah lama putus kontak. Kamu sendiri yang cerita padaku, ia tak bisa dihubungi lagi. Kalau ia memang pria yang layak, harusnya ia tak perlu menutup semua akun yang menjadi penghubung ke dirimu. Aku sangsi dia masih mengingatmu. Di sana, ia pasti kecantol dengan perempuan-perempuan Kaukasoid, Hispanik, atau Oriental. Aku yakin itu." "Tapi kamu juga akan begitu, kan?" sergahku. Lelaki ini menatapku nyalang. "Jangan potong pembicaraanku!" Lihat! Lelaki ini sungguh egois. Ah, andai kamu bisa lihat. Sayangnya kamu pun tak ada di dekatku - hingga detik ini. Ia bahkan masuk ke rumahku sewenangnya. "Sekarang usiamu 27. Tiga tahun lagi genap 30. Kamu mau terus hidup dalam pergunjingan masyarakat? Tak baik perempuan melajang di usia sepertimu ini. Apa kata dunia?" Aku tantang balik, "Terus kamu sendiri kenapa masih melajang? Kamu tak takut disangka homo? Wajahmu rupawan, tapi tampak seperti gay." Lelaki ini mulai panas. Suaranya meninggi. "Aku bukan gay. Aku melajang, karena menunggu dirimu untuk membuka hati buatku. Apa itu salah? Aku mencoba menunjukan kesetiaanku. Kumohon, terimalah cintaku. Aku janji akan membahagiakanmu." Secepat kilat pria itu mengeluarkan sesuatu dari kantong celana denimnya. Sehelai kertas folio polos. Diacung-acungkanlah itu dihadapanku. "Lihat ini!" pekiknya. "Ini surat. Suratnya berisi perjanjian kamu boleh menceraikanku, jika kamu bertemu dia. Bagaimana? Kumohon, ijikanlah aku menggantikan posisi Morris untuk sementara." Ya Tuhan. Kamu tahu? Hatiku jadi mendua. Satu sisi ingin setia menunggumu, sisi lain ingin menyimpang. Hatiku jadi mencair karena surat yang dibawa Ricky tersebut. Maafkan aku, kamu tergantikan. ***** [Morris] Akhirnya aku bisa juga mengunjungi kamar tidurku ini setelah sekian lama. Sepuluh tahun sudah aku tak meniduri ranjangku yang super empuk ini; ini semua karena kesibukanku kuliah yang membuatku tak bisa pulang ke Indonesia. Dan semuanya nyaris tak berubah. Dekorasinya, posisi perabotannya, ah yang berubah hanya cat dan lampunya saja. Pasti itu inisiatif Mama. Mama selalu lasak. Tangannya selalu gatal jika tak berbenah. Kuselonjorkan ragaku di atas spring bed. Kumenatap langit-langit kamarnya. Mataku menerawang seolah bisa tembus pandang menatap langit biru yang luas di atas sana. Tapi apa daya, yang kutatap tetap langit-langit kamar. Ini juga buka sia-sia, kok. Nyatanya aku jadi teringat sosok seseorang. Seorang wanita berambut panjang, berwajah tirus, dan berhidung mancung. Maria. Maria, maafkan aku yah. Aku sudah sepihak memutuskan segala tali komunikasi denganmu. Andai saja akunku tak diretas seseorang yang biadab itu. Ah, bukan. Andai saja aku tak langsung kecewa akibat peretasan itu; dan tetap membikin akun baru lainnya, pasti aku dan kamu masih tetap terhubung. Aku sungguh idiot. Kamu pasti, di suatu tempat, di suatu waktu, dengan mulut bawel, menuduhku main mata dan mendua di sana. Padahal serius, Mar. Sepuluh tahun kuliah di negeri Paman Sam - yang tak pernah muncul batang hidungnya, aku tak pernah lirak-lirik bodi. Kesetianku sampai disalahartikan orang-orang di sana. Aku sampai dikira gay! Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk, lamunanku pun sirna. Aku sadar. Pembantu rumah tangga keluargaku yang baru masuk. Masuk seraya membawa sebuah amplop. Indah nian amplop itu. Pasti undangan pernikahan. Tapi siapakah pengirimnya? Nyaris semua temanku mengirimkan undangan pernikahan lewat facebook. Sedikit dan bisa dihitung pakai tangan yang masih menempuh cara konvensional seperti ini. Dari siapakah itu? "Mas, ini ada undangan," ucap pembantu tersebut. "Dari siapa, Mbak?" tanyaku masih berselonjoran. "Dari Maria. Datangnya sih tiga hari lalu, sebelum Mas datang. Maaf yah saya lupa kasihnya." Sigap aku bangun dan mengambilnya. "Terimakasih yah Mbak." Pembantuku itu pun lalu pergi. Aku segera membuka undangannya. Di sana tertulis - atau tepatnya mataku hanya tertuju ke bagian khususnya saja. Itu: Ricky Alberto Setiawan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun