Malam itu ia tampil di tipi, diundang oleh acara yang dipandu oleh Tukul Arwana, apalagi jika bukan tayangan acara Bukan 4 Mata di stasiun Trans7.
Namanya Saleh, begitu ia menjawab pertanyaan Tukul Arwana. Selanjutnya Saleh ini mengungkapkan identitas dirinya sebagai seorang penjual alias tukang bubur, pekerjaan yang sudah ia jalani sejak 1990-an.
Sebagai Tukang Bubur, Saleh tentu belum bisa dibandingkan dengan H. Sulam yang berperan sebagai penjual bubur di sebuah sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Tapi boleh jadi nantinya nasib Saleh siapa tahu bisa seperti H. Sulam, kita doakan saja.
Ada yang luar biasa dari seorang Saleh yang belum tentu bisa ditiru oleh para Tukang Bubur lainnya bahkan oleh kebanyakan dari kita. Di tengah bencana banjir yang melanda Jakarta, Saleh tanpa pamrih membagi-bagikan buburnya secara cuma-cuma kepada warga yang sedang ditimpa bencana. Bubur tersebut semestinya ia jual untuk memenuhi berbagai keperluan keluarganya. Tapi yang dilakukan Saleh justru membagikannya secara gratis kepada para pembelinya yang sedang tertimpa musibah. Lumayan banyak bubur yang dapat ia bagikan kepada warga; 100 mangkuk, yang bila dihargai dengan uang berjumlah sebesar Rp 800 ribu, nilai yang cukup besar bagi orang seperti Saleh.
Bubur Saleh yang ia bagikan bukanlah barasal dari Caleg atau Parpol tertentu yang sedang berusaha meraih dan menarik simpati warga. Bubur Saleh juga bukan bubur beraroma politik menjelang Pemilu, tapi bubur yang beraroma rasa empati kepada sesama warga anak bangsa yang sedang ditimpa kesusahan karena musibah. Mangkuk yang dipakai untuk tempat bubur pun tak bergambar Caleg ataupun stempel Parpol tertentu. Semangkuk bubur Saleh memang tidak banyak, tapi sangat berarti karena hadir di saat-saat dibutuhkan.