Miris juga perasaan saya bila mendengar para anak muda dari etnis Banjar yang berbahasa campur aduk dengan bermacam kosa kata yang berasal dari bahasa lain. Tak sedikit dari mereka yang sudah lupa kata-kata asli dalam bahasa Banjar, misalnya saja; arai = pamer, hangkui = nyaring, tawak/himpat = lempar, hindau = sorot dengan cahaya, karindangan = kasmaran, dandaman = rindu, tulak madam = merantau, marista = merana, dan lain sebagainya.
Banyak lagu dalam bahasa Banjar yang dibuat oleh para seniman Banjar, namun syairnya pun campur aduk dengan bahasa Indonesia, sehingga sulit membedakan apakah lagu tersebut lagu Banjar atau lagu berbahasa Indonesia. Begitupun dengan syair Madihin (kesenian tradisonal Banjar yang diiringi oleh alat perkusi), bahasanya bercampur aduk pula dengan bahasa Indonesia.
Kondisi demikian tampaknya mesti mendapat perhatian serius dari para tokoh dan lembaga adat Banjar agar sesegera mungkin mengambil tindakan supaya bahasa Banjar tetap dapat terpelihara dan lestari. Salah satu jalan menurut saya perlu memasukkan bahasa Banjar sebagai kurikulum wajib di semua sekolah di wilayah Kalimantan Selatan. Bila tidak, maka beberapa dekade ke depan bahasa banjar bakal menjadi kenangan dan sejarah yang menyakitkan. Kalau ada istilah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka saya mengimbau kepada "bubuhan Banjar" agar menggunakan bahasa banjar dengan baik dan benar, atau "babasa Banjar nang bujur basa banua."