Di daerah kelahiran dan tempat tinggal saya, terdapat aktivitas penambangan batubara yang dilakukan oleh PT. Arutmin Indonesia Tambang Senakin, PT. Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, dan PT. Arutmin Indonesia Tambang Satui.
Seingat saya perusahaan pemegang Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B) yang merupakan kontraktor dari perusahaan BUMN PT. Bukit Asam ini, masuk dan beroperasi di wilayah Kabupaten Kotabaru Kalsel di era tahun 1980-an, masa pemerintahan Orde Baru yang mana saat itu Bupati Kotabaru dijabat oleh seorang tentara berpangkat Kolonel, N. Sutedjo.
Menurut informasi yang pernah saya dengar, PT. Arutmin Indonesia ini menguasai Blok 6 wilayah Kalimantan. Jadi tak sejengkal pun tanah daratan Pulau Kalimantan ini yang lepas dari kuasa konsesi PKP2B milik PT. Arutmin Indonesia.
Di era Orde Baru berkuasa, tak ada berani menentang PT. Arutmin Indonesia bila berkeinginan membuka lokasi tambang meskipun lahan yang akan mereka tambang itu ada pemiliknya.
Sehingga pada masa itu ada yang mengibaratkan PT. Arutmin Indonesia seperti kolonialisme gaya baru.
Sepengetahuan saya, tak seorang pun yang mengetahui batas-batas wilayah PKP2B perusahaan tambang batubara terbesar di wilayah Kalsel itu.
Pihak PT. Arutmin Indonesia tak pernah bersedia memperlihatkan peta maupun titik koordinat wilayah konsesi mereka kepada orang luar, pun tidak kepada instansi pemerintah di daerah yang berwenang seperti Dinas Pertambangan dan Energi. Makanya tak usah heran jika kita bertanya ke Dinas yang bersangkutan, disana tak seorang pun tahu perihal batas-batas wilayah PT. Arutmin Indonesia ini.
Pihak PT. Arutmin Indonesia selama ini main klaim terhadap lahan yang ditambang oleh pihak lain, misalnya para pelaku illegal mining atau lazim dinamakan PETI (Penambang Tanpa Ijin). Jika ditanya apa buktinya wilayah yang diklaim itu termasuk PKP2B, pihak perusahaan tak pernah bisa secara faktual dan pasti menunjukkannya. Herannya pihak aparat penegak hukum, yakni Kepolisian dengan begitu saja mau melegalisasi dan mengikuti kemauan PT. Arutmin Indonesia.
Keberadaan PT. Arutmin Indonesia dengan berbagai keunggulannya ini membuat iri para pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah setempat, dulu namanya Kuasa Pertambangan (KP).
Sementara para perusahaan pemegang IUP selain dibebani bayar royalty ke Pemerintah Pusat, juga dikenakan Sumbangan Pihak Ketiga atau SP 3 oleh Pemerintah Daerah, bahkan juga masih membayar 'dana taktis' setiap kali melakukan pengiriman batubara yang jumlahnya puluhan juta rupiah. Sedangkan PT. Arutmin Indonesia cuma dikenakan membayar royalty ke Pemerintah Pusat, itu pun menurut berita beberapa media, menunggak pembayaran yang nilainya sangat besar.
Terkait dengan saham milik Ical melalui Bumi Resources, seingat saya masuk ke PT. Arutmin Indonesia di era 1990-an. Perihal keberadaan saham Bakrie di perusahaan tersebut bukan rahasia lagi, warga di daerah saya sudah lama mengetahuinya dari beberapa petinggi perusahaan itu di daerah.
Jika mendengar nama PT. Arutmin Indonesia, terbayang lahannya yang luas dengan potensi deposit batubara yang feasible. Para pengusaha lokal di bidang pertambangan pasti ngiler untuk bisa mengadu nasib di lahan yang feasible tersebut, caranya dengan menambang gaya Spanyol alias Separo Nyolong, atau gaya Taliban; Tambang Liar Ala Banjar (ini istilah yang diberikan Menhut RI, Zulkifli Hasan).
Banyaknya para pelaku aktivitas penambangan ilegal alias Spanyol maupun Taliban di areal yang diklaim sebagai PKP2B oleh PT. Arutmin Indonesia ini, disebabkan karena adanya para oknum di internal perusahaan tersebut yang ikut bermain. Disamping itu para 'illegal miner' itu juga memberikan semacam uang pengamanan ke para oknum yang berwenang di Kepolisian di daerah; Polsek dan Polres, tak menutup kemungkinan oknum di Polda pun ikut kecipratan dari aktivitas ilegal itu.
Dari beberapa illegal miner saya mendapat informasi, untuk bisa menambang di areal PKP2B, mereka membayar ke oknum PT. Arutmin Indonesia antara Rp 25 ribu hingga Rp 45 ribu per metrik ton yang dihitung dari banyaknya produk yang berhasil ditambang. Diantaranya ada membayar di muka untuk oknum PT. Arutmin Indonesia ini.
Kalau selama ini penertiban terhadap aktivitas penambangan batubara secara ilegal kurang berhasil, itu dikarenakan aparat penegak hukum sudah kemasukan angin, ikut menikmati hasil secara kontinyu dan sistematis.
Penertiban oleh pihak PT. Arutmin Indonesia yang dibantu pihak Kepolisian, pun kurang berhasil, sama setali tiga uang karena dilakukan dengan penuh kepura-puraan, kalaupun dilakukan benar-benar biasanya pilih-pilih sasaran, mereka yang tak mau ikut aturan main.
Tak sedikit orang yang mempertanyakan apakah Bakrie selama ini mengetahui praktik demikian yang dilakukan oleh oknum di perusahaan yang sahamnya ia ikut memiliki ?
Ada yang menjawabnya sendiri; buat apa Bakrie yang sudah sangat kaya dan terkenal itu mengurusi hal-hal seperti ini. Bakrie tidak akan merugi meski banyak para illegal miner mencuri di areal PKP2B PT. Arutmin Indonesia.
Para illegal miner ini sudah tak terhitung yang menjadi kaya karena bisa menambang di wilayah konsesi PT. Arutmin Indonesia. Dan para Pejabat daerah pun tak sedikit yang ikut kecipratan 'angpao', berduit untuk modal melanjutkan pendidikan ke jenjang pangkat yang lebih tinggi. Maka klop lah sudah anekdot; BATUBARA, BArang TUhan BAgi RAta.