Sebagai orang awam tentu pemikiran yang terbersit tidak berkonotasi ilmiah, begitupun pemikiran dari para orang yang sama awamnya dengan saya.
Misalkan pemikiran atau lebih tepatnya pertanyaan kenapa kasus korupsi di negeri ini seolah tak pernah surut, padahal penindakan terhadap para koruptor sudah dan selalu dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemikiran orang awam yang terbersit adalah; KPK tidak benar-benar serius dan total dalam melakukan pekerjaannya.
Kenapa begitu ?
Saya sering mendapat pertanyaan dari para teman maupun kenalan; apakah KPK itu punya Cabang maupun Ranting di daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota ?
Jawaban sesuai yang saya ketahui, KPK itu cuma ada di Tingkat Pusat, di Ibukota Negara, tak memiliki perpanjangan tangan di daerah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ataupun Lembaga Yudikatif; Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Pertanyaan lainnya adalah; bagaimana KPK bisa berhasil memberantas korupsi jika tak memiliki perpanjangan tangan seperti gurita ke daerah ? Padahal pekerjaan KPK itu seperti sedang berlomba dengan para koruptor yang terus bertumbuh bukan mengecil meski sudah banyak yang ditindak.
Jumlah anggota KPK pada 2013 diketahui kurang dari seribu orang, 900 lebih. Dengan jumlah anggota tersebut sebenarnya KPK bisa memaksimalkan pekerjaannya, menempatkan anggotanya secara tetap di tiap propinsi dan kabupaten/kota. Misalkan kita tetapkan saja jumlah seluruh anggota KPK itu pada angka 900, jika dibagi dengan 34 propinsi, maka tiap propinsi akan kebagian masing-masing 26 orang. Nah, dengan adanya 26 anggota KPK yang berketetapan di daerah, tentu dapat memaksimalkan dan mengoptimalkan pekerjaan pemberantasan korupsi hingga ke tingkat paling bawah; ke level kelurahan/desa. Dengan begini maka masyarakat akan kebih mudah melaporkan kecurigaan maupun temuan mereka terhadap para terduga koruptor maupun objek yang dikorup.
Atau dengan perhitungan; 34 propinsi + 417 kabupaten + 94 kota = 545. Jika 900 anggota KPK dibagi 545, maka tiap daerah akan mendapatkan masing-masing setidaknya 1 anggota KPK.
Hukuman yang pasti
Belum mengecilnya kasus korupsi di Indonesia kemungkinannya bisa dikatakan dengan terlalu kecilnya hukuman bagi para koruptor, nyaris tak memiliki efek jera (shock therapy), apalagi hukuman mati tak diberlakukan terhadap koruptor.
Jika pemerintah benar -benar berkomitmen untuk serius memberantas korupsi, permasalahan jumlah hukuman ataupun besarnya vonis mesti diperjelas dan disederhanakan terhadap para pelaku korupsi. Misalkan saja menetapkan besar hukuman atau vonis selama 3 bulan untuk tiap sebesar Rp 10 juta yang dikorup. Tugas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) hanya membuktikan salah dan tidaknya seorang terduga korupsi, serta jumlah yang dikorup. Misalkan seorang koruptor terbukti merugikan negara sebesar Rp 100 juta, maka hukuman/vonis sudah pasti 30 bulan atau 2,5 tahun. Sedangkan jika yang dikorup sebesar Rp 1milyar, maka berhak stas hukuman selama 300 bulan = 25 tahun, sederhana meski para Lawyer sudah mati-matian memberikan pembelaan terhadap kliennya.
Bagaimana jika tindak korupsi itu dilakukan oleh beberapa orang ?
Mudah saja, mereka tinggal berbagi vonis sesuai jumlah berapa pembagian yang masing-masing diterima pelaku.
Inilah awam yang tak perlu berbau ilmiah terkait pemberantasan korupsi; perpanjang tangan KPK yang menggurita hingga mencapai pelosok daerah di seluruh negeri, juga hukuman/vonis yang pasti berdasar jumlah yang dikorup. Harapan kita semua tertuju kepada good will dan political will pemerintah tanpa memandang siapa yang memimpin negeri ini maupun dari Parpol apa ia berasal.