Kisah ini merupakan pengalaman pribadi Mat Himpal terjadi puluhan tahun lalu di era rejim Orde Baru berkuasa. Diceritakan kembali oleh Mat Himpal kepada Tuh Kangkung pada kesempatan nongkrong sore di kedai milik Bu Ardi.
"Hampir saja aku masuk bui andai jawabanku tak memiliki alasan tepat waktu itu," Mat Himpal memulai kisahnya seraya menyalakan sebatang rokok.
"Kok bisa begitu, memangnya kesalahanmu apa ?" tanya Tuh Kangkung sembari pula tangannya meraih kotak rokok milik Mat Himpal yang berada di atas meja, biasa, rokok cap min alias minta, hehe......
"Waktu itu aku masih duduk di SMA di tahun 1980-an. Aku bersama 2 temanku menyewa sebuah rumah kontrakan. Orangtua kami berada di kampung lain," Mat Himpal seperti sedang menerawang kembali ke masa silam menembus lorong waktu.
Seperti kebanyakan remaja seusia Mat Himpal pada masa itu, mereka suka menghiasi atau memajang poster foto artis maupun olahragawan di dinding kamar rumah sendiri maupun rumah kontrakan mereka, yang jelas bukan di dinding mushala, surau atau mesjid.
Namun tak semua remaja begitu. Mat Himpal termasuk diantara remaja yang suka berbeda, tak tertarik memasang poster foto artis, olahragawan, entahlah foto artis yang mengenakan busana belum rampung atau kurang bahan, hiks, hiks.....
Untuk itu Mat Himpal berencana menghiasi rumah kontrakan mereka dengan bendera beberapa negara. Ide itu ia sampaikan ke dua temannya, kebetulan keduanya pun setuju ide tersebut. Maka mulailah Mat Himpal mencari kertas hiasan berwarna yang biasa digunakan untuk dekorasi pernikahan atau kawinan. Mereka akan membuat bendera dari kertas hias. Bendera tersebut tidak saja akan menghiasi kamar tidur, tapi juga ruang tamu yang jika jendelanya dibuka akan tampak dari jalan umum yang cukup ramai.
Bendera yang pertama mereka bikin adalah bendera United Nations (PBB, Perserikatan Bangsa Bangsa). Bendera berikutnya adalah milik 5 negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB; USA, USSR (Rusia), RRT, Inggris dan Prancis, yang biasa disebut The Big Five. Semua bendera tersebut mereka pajang di dinding ruang tamu dengan bendera PBB berada di tengah-tengah.
Nah, urusan pajang bendera inilah yang membuat masalah bagi Mat Himpal bersama temannya. Apa hal ?
Rupanya salah satu bendera yang dipajang tersebut menjadi perhatian diantara orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah kontrakan mereka. Bendera yang bikin masalah itu adalah bendera USSR yang berlambang palu dan arit. Tahu sendiri pada era itu, palu dan arit identik dengan Parpol yang dilarang oleh Pemerintah; PKI (Partai Komunis Indonesia).
Agaknya ada orang yang melapor perihal bendera berlambang palu dan arit itu ke Kepala Desa. Tak ayal Kepala Desa dengan ditemani seorang anggota Polsek mendatangi Mat Himpal dan temannya di rumah kontrakan mereka.
"Saya mau tanya apa maksud kalian memajang lambang PKI itu ?" tanya Kepala Desa dengan suara berat dan serak, sementara anggota Polsek mengamati bendera yang dipajang di dinding ruang tamu.
"Kami tak ada memasang lambang yang dimaksud," jawab Mat Himpal agak gugup.
"Itu buktinya terpajang di dinding," tunjuk Kepala Desa.
Bagaimana pun Mat Himpal dibantu temannya menjelaskan bukan lambang PKI tapi bendera salah satu negara, Kepala Desa bergeming tak mau tahu.
"Ini buku atlas, kami menirunya dari sini," Mat Himpal menunjukkan buku atlas peta dunia dimana juga terdapat bendera dari negara di seluruh dunia.
Kepala Desa mengambil buku atlas dari tangan Mat Himpal, membolak balik halaman demi halaman, serta nengamati seluruh bendera. Anggota Polsek yang bersamanya juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, "sudahlah. Lebih baik kalian lepas saja bendera tersebut daripada menuai masalah nantinya. Kami berdua cukup mengerti, namun belum tentu aparat lainnya mau mengerti, apalagi yang dari Koramil."
Kepala Desa menganjurkan Mat Himpal agar melepas bendera yang berlambang palu dan arit itu.
"Baiklah kalau begitu kami mengikuti saran bapak," ujar Mat Himpal mewakili kedua temannya.
"Kalau saja pak Kepala Desa bukan membawa anggota Polsek, tapi anggota Koramil, kamu sama kedua temanmu itu bisa-bisa dimasukkan tahanan tanpa proses," timpal Tuh Kangkung menanggapi kisah Mat Himpal.
"Itulah untungnya pak Kepala Desa mau mengerti dan bersikap arif. Masih untung kalau cuma ditahan, tidak di-dor lalu dikarungi," ujar Mat Himpal bergidik membayangkan.
"Indoktrinisasi rejim Orde Baru terhadap warga terkait PKI memang sangat hebat. Mereka berhasil melekatkan stigma PKI itu berbahaya dan kejam di benak rakyat negeri ini," kata Tuh Kangkung.
"Dan hebatnya stigma tersebut masih terus melekat hingga kini pada sebagian besar rakyat, meski di era reformasi ini semua warga negara diperlakukan hak dan kewajibannya sama tak memandang apakah orangtuanya dulu terlibat ataupun pendukung serta simpatisan PKI yang datanya terdaftar di arsip instansi pemerintah," ujar Mat Himpal yang kemudian menghabiskan kopi hitamnya.