Sepintas saya merenungkan ada yang salah dengan ungkapan semacam itu. Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi seandainya kita harus membeli hanya karena seseorang menjual. Berapa banyak uang yang kita butuhkan, misalnya, untuk membeli semua barang yang dijual di Pasar Ciputat?
Pilgub DKI Jakarta 2012 tinggal hitungan hari akan segera terselenggara. Jauh-jauh hari sebelumnya para kontestan telah sibuk mengkampanyekan diri. Banyak cara dilakukan untuk menarik dukungan masyarakat agar mempercayakan beban mensejahterakan rakyat kepada mereka saja. Gambar-gambar wajah para kandidat bertebaran di hampir seluruh wilayah DKI. Bahkan, iklan-iklannya sering muncul di layar tivi beskala nasional. Rupanya mereka juga ingin seluruh Indonesia tahu mereka pantas memimpin ibu kota.
Sebagaimana pemilihan lainnya, Pilgub DKI kali ini juga tidak terlepas dari ancaman politik uang. Pengamat dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat begitu banyak praktek politik uang yang terjadi menjelang pencoblosan nanti. Efendi Ghozali, pakar komunikasi politik, mengkhawatirkan tidak hanya akan ada serangan fajar, tapi juga serangan pagi dan siang.
Sungguh ironis, memang, ketika hal ini terjadi justru di daerah yang katanya adalah barometer politik nasional. Saya pun teringat ungkapan di atas; Lu jual, Gue beli. Ya, sebagai alat pembayaran, uang, memang hampir selalu dikaitkan dengan proses jual-beli. Dan saya mulai berprasangka; jangan-jangan calon-calon itu berpikir harus membeli karena ada yang menjual. Warga DKI menjual suara, maka calonnya harus membeli. Lu jual, Gue beli. Ah, saya mulai memahami sekaligus prihatin, jika hal ini yang memang terjadi!
Saya berusaha membuang jauh kecurigaan itu. Tapi malah terbawa pada pemikiran yang sebaliknya; jangan-jangan warga menjual karena ada yang ingin membeli. Jika memang demikian, ah, luntur sudah demokrasi kita!
Dalam demokrasi, rakyat adalah elemen utama. Rakyat pemegang kunci hidup-matinya demokrasi. Semakin dewasa rakyatnya, semakin dewasa pula demokrasi yang dijunjung. Semakin dewasa, maka seharusnya semakin bijaksana juga menggunakan apa yang dimiliki. Rakyat punya suara. Jika tak ada keperluan mendesak untuk menjual, sebaiknya manfaatkan saja suara itu sebaik-baiknya. Toh, kita tak harus menjual handphone untuk membeli pulsa.
Sebagai calon pemimpin, selaiknyalah belajar memberi teladan. Hidup hemat sepertinya lebih baik. Tak perlu menghambur-hamburkan uang untuk membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan. Tak harus membeli hanya karena ada yang menjual.
Sebagai penutup, saya ucapkan selamat berpesta kepada warga DKI Jakarta 11 Juli 2012 mendatang. Harapan saya semoga pemilu benar-benar menjadi pestanya rakyat. Dan tak lupa saya ucapkan selamat berjuang kepada setiap kandidat. Selamat membuktikan Anda memang pantas memimpin ibu kota.
Hidup rakyat!
Hidup pemimpinnya!
Hidup demokrasi!
Hidup Indonesia!