Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Rajab : Meretas Persusuan di Lereng Bawakaraeng

2 Oktober 2012   08:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:22 2068 5

Rajab sosok petani yang sudah tidak asing lagi di Desa Gunung Perak yang letaknya berada di lereng gunung bawakaraeng tepatnya di Kecamatan Sinjai Barat – Kab. Sinjai Propinsi Sulsel.Namanya begitu mencuat ketika ia bersama kelompok ternaknya merintis pertama kali pemeliharaan ternak sapi perah di daerahnya hingga bisa menghasilkan susu murni. Sekitar 10 tahun ia geluti usaha sapi perah tersebut dengan penuh ketekunan. Alhasil komoditas susu murni yang dikenal dengan merek susu sinjai “Susin” di Sulsel adalah buah dari kerja kerasnya sebagai peternak pelopor sapi perah yang bersumber dari dataran tinggi Sinjai Sulsel. Meski dalam perjalanannya menemui berbagai kendala, namun konsistensinya sejak awal beternak, persusuan Sinjai masih bisa bertahan hingga sekarang ini.

Istimewanya, Rajab merintis peternakan sapi perah ini disaat sebagian besar warga tak ada yang tertarik untuk beternak sapi perah. Bertani tradisional dan beternak sapi potong secara sambilan adalah sudah menjadi pilihan hidup warganya. Dengan begitu, Rajab melihat bahwa hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri yang akan di jadikan peluang bahwa usaha sapi perah adalah usaha ekonomi yang produktif dan menguntungkan. Sehingga tekadnya ingin tetap membangun desanya dengan usaha sapi perah.

Disinilah seorang Rajab mulai mengaktualisasikan tekadnya itu dengan membentuk kelompok ternak “Batuleppa” yang beranggotakan 10 orang. Rajab terpilih sebagai Ketua kelompok ternak tersebut, dengan berkeyakinan bahwa dengan adanya wadah kelompok ternak tersebut posisinya sebagai peternak yang tergabung dalam kelompok ternak “batuleppa” akan bisa membawa usaha ternak sapi perahnya lebih maju dan berkembang seperti harapan dan tujuan bersama kelompok ternak tersebut.

Berbekal pendidikan SLTA, Rajab degan kelompok ternak sapi perah “Batuleppa” akhirnya menunjukkan keberhasilannya dalam pemeliharaan sapi perah. Bukti tesebut, di Tahun 2001 jumlah bantuan ternak sapi perah jenis Fries Holland sebanyak 6 ekor yang disalurkan ke kelompoknya sudah bisa menghasilkan susu murni, namun ia enggan menyebutkan berapa angka pasti produksi susu sapinya saat itu. Yang jelas sudah sangat mengembirakan buat Rajab bersama anggota kelompok ternaknya.

Sambil beraktifitas memelihara sapi perahnya yang 6 ekor, disini Rajab banyak mendapatkan ilmu perihal manajemen sapi perah. Rajab menjadi paham bahwa perlakuan dalam pemeliharaan sapi perah memang sangat berbeda dengan sapi potong yang selama ini ia pelihara. Meski pada prinsipnya pemeliharaan ternak sapi pada umumnya tetap membutuhkan ketekunan, kerja keras serta kesabaran. Namun beda halnya ketika ia yang awam soal sapi perah dan memulainya dari nol hingga hingga berproduksi susu dan melahirkan anak sapi.

Bangun pagi jam 04.00 untuk memerah, memandikan sapi, membersihkan kandang, mengambil rumput, dan begitu pula sore hari kembali memerah sapi, mengambil pakan adalah sebuah rutinitas yang harus mau tak mau harus dijalankan Rajab bersama anggota kelompok ternaknya tersebut. Kegiatan yang sangat awam bagi masyakata Desa Gunung Perak waktu itu.

“Tidak banyak warga yang ingin melakukan seperti ini karena bagi mereka sama saja dengan mengubah hidup seratus delapan puluh derajat”. Ujar Rajab ayah tiga anak ini.

Alam Desa Gunung Perak tak bisa berbohong dengan kerja keras dan kegigihan Rajab selama ini. Ada interaksi positif yang dibuktikan Rajab bersama kelompoknya tersebut dalam pemeliharaan ternak sapi perah dan terlebih lagi dengan lingkungan sekitar ia tinggal. Ternyata memulai sesuatu dari hal-hal yang kecil adalah sangat menentukan berhasil tidaknya ke hal-hal yang besar. Artinya baginya Rajab, dari awal pemeliharaan hanya 6 ekor, Tahun 2002 kembali mendapatkan bantuan sapi perah 20 ekor dari pihak pemerintah. Tentunya tidak lepas dari produksi susu yang dihasilkan kelompok ternaknya. Artinya ada kenaikan produksi hingga mencapai 10 liter perhari. Ia akui, bahwa produksi oti masih jauh dari standar pemeliharaan produksi susu sapi perah seperti yang ia bandingkan dengan di Jawa. Namun berkat prinsipnya tadi yakni tekun dan sabar ia tak pernah mengenal kata lelah untuk terus belajar dan belajar.

Selanjutnya, Tahun 2003 kelompok ternaknya mendapatkan lagi 23 ekor sapi perah. Dan terakhir di Tahun 2004,menerima lagi sapi perah 30 ekor. Semua jenis sapi perah ini adalah turunan dari bangsa Fries Holand (FH). Dimana potensi genetik bangsa sapi perah ini mempunyai produktifitas yang terbilang tinggi. Meski Rajab sekali lagi sadari bahwa perlakuan dalam pemeliharaan sapi perah bangsa FH ini memerlukan tingkat pemelliharaan manajemen yang tinggi. “Contohnya saja, dari jumlah sapi awal 6 ekor milik kelompoknya saat itu produksi susunya masih 10 liter setiap harinya. Padahal jika mengikuti standar petunjuk teknisnya, produksi itu sebenarnya masih jauh dari ideal sapi perah memproduksi air susu. Banyak faktor terkait yang berpengaruh dalam pemeliharan sapi perah hingga bisa memproduksi susu sesuai standar pemeliharaannya”, Ujar Rajab yang lahir di Sinjai 43 tahun lalu itu.

Ia melanjutkan, guna menghasilkan produksi susu murni setiap harinya secara maksimal memang tak mudah, banyak faktor teknis dan non teknis terkait yang harus diperhatikan. Yang jelas,ia bersama teman-teman kelompok ternaknya selalu konsisten mengikuti standar pemeliharaan sapi perah dan juga pengalaman dari berbagai pelatihan yang pernah ia ikuti diterapkan kembali di kelompok ternaknya”, Ujar Rajab yang pernah studi banding di sentra sapi perah Grati, Pasuruan - Jawa timur tersebut.

Ditangan peraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2011 dari Presiden RI di Istana Negara dalam kategori pengolahan hasil ternak, Rajab bisa membawa nama daerahnya dengan komoditas susu murni yang dikenal dengan nama susu sinjai yang disingkat ”susin”, dan merupakan komoditas andalan Kab. Sinjai, Sulawesi Selatan hingga saat ini.

Pria berdarah Bugis Sinjai ini menegaskan, Perkembangan sapi perah yang ada di Jawa, tak bisa langsung disamakan dengan sapi perah yang ia pelihara di Desa Gunung Perak Kab. Sinjai. Pengalaman dan pengetahuan peternak disana (Jawa) sudah sangat bagus, mereka sudah menjiwai ternaknya secara mmendalam. Ditambah lagi mereka sudah puluhan tahun bahkan sejak zaman penjajahan Belanda mereka sudah memulai”, ujarnya.

Susu sapi yang dihasilkan seekor sapi perah dengan masa laktasi rata-rata selama 10 bulan (masa lamanya produksi susu) ia akui produksi sebesar itu hanya terjadi di awal laktasi dan grafiknya menurun ketika di akhir laktasi menjadi 3-5 liter per hari. Produksi susu ternak sapi perah di Gunung Perak, langsung dipasarkan ke Koperasi Susintari. Pembentukan koperasi susu ini adalah prakarsa dari Dinas Peternakan Kab. Sinjai. Harga susu yang diterima petani adalah Rp. 2000 per liter. Disinilah

Topografi Desa Gunung Perak yang beriklim sejuk berada di atas ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut, serta daya dukung lahan untuk hijauan pakan ternak maka potensi itu bisa lebih dirasakan manfaatnya secara terus menerus oleh kelompok ternak “Batuleppa”. Tentu tidak lepas dari dukungan pembinaan dan pendampingan teknis yang yang terus menerus dilakukan pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Sinjai Sulsel.

Juga tak ketinggalan kalangan akademis dari Fakultas Peternakan Unhas Makassar juga turut andil memberikan kontribusinya dalam pengembangan sapi perah ini. Berbagai riset dan penelitian yang dilakukan Unhas terkait manajemen pemeliharaan sapi perah sampai teknologi hasil ternak seperti penanganan susu sudah diaplikasikan oleh Rajab dan kawan-kawan peternaknya.

“Artinya kemitraan yang kami lakukan sebagai kelompok ternak sapi perah bersama pihak Dinas Peternakan baik itu Kab. Sinjai maupun Dinas Peternakan Propinsi Sulsel, Unhas mutlak harus terus di lakukan agar apa yang kami lakukan terus bisa berkembang dan tidak sia-sia”, Ujar Rajab yang wajahnya selalu dilumuri senyum ini.

Meski begitu usaha ternak sapi perah yang dirintis Rajab bersama kelompok ternaknya diarahkan menuju kemandirian namun tetap saja menghadapi berbagai kendala. Pesoalannya yang tak lepas dari manajemen pemeliharaan seperti penyakit dan kematian ternak adalah saalah satu dari sekian persoalan yang di hadapi kelompok ternaknya. Dari sekian banyak populasi ternak sapi perahnya, sudah berapa ekor yang mati akibat kesalahan manajemen pemeliharaan. Rajab tidak pungkiri bahwa ketersediaan pakan termasuk kendala yang harus dicarikan solusinya, tak jarang persoalan pakan ini, Rajab bersama anggota kelompoknya merogoh uang sendiri untuk memenuhi ketersediaan pakan ternaknya karena bisa berakibat fatal dalam proses produksi susu ternak sapinya.

Rajab bersama kelompoknya seringkali mendapatan sorotan dari DPRD Kab. Sinjai perihal pemeliharaan sapi perahnya. Ia menegaska, “jika dibandingkan dengan pemeliharaan sapi perah di Pulau Jawa sewaktu mengikuti pelatihan disana, peternak sapi perah di Jawa tidak terlalu memikirkan masalah pakan sapi perahnya, justru yang memikirkan hal ini adalah Koperasi. Jadi menurutnya, lembaga Koperasinya yang harus dibenahi dulu dalam hal ini soal produksi susu yang disetor peternak ke koperasi susintari. Harus ada harmonisasi antara koperasi dengan anggotanya. Dan seperti yang saya sebutkan tadi bahwa tetap saja tidak lepas dari pembinaan dan pendampingan yang maksimal dalam halini kebutuhan modal yang dibutuhkan oleh anggota koperasi (peternak) sebisanya di akomodir. Disini peran koperasi harusnya lebih dimaksimalkan dalam membina dan mensejahterahkan anggotanya”, Ujar Rajab yang setiap hari meluangkan waktunya 3-4 jam per hari untuk belajar dan berdiskusi bersama anggota kelompoknya.

Suka duka Rajab selama bergelut dalam pemeliharaan sapi perah adalah jika sapinya melahirkan anak dengan normal. Jika anak (pedet) yang dilahirkan bagus maka otomatis susu yang dihasilkan juga bagus. Disinilah Rajab merasakan puncak kebahagiaan, sedangkan dukanya ia rasakan jika ada sapinya yang mati.

Persusuan Sinjai (Masih) Bertahan

Disaat agribisnis persusuan dan peternakan sapi perah nasional masih terbelenggu sederet masalah klasik. Dengan harga susu di tingkat peternak yang rendah masih harus dihadapi para peternak. Belum lagi masuknya produk susu impor pun kian tak terbendung. Juga masalah kualitas susu yang peternak yang masih di bawah sandar. Termasuk produksi susu nasional yang masih belum mencukupi kebutuhan Industri Pengolahan Susu (IPS).

Faktanya pasokan susu dari peternak sapi perah nasional hanya sekitar 25 % dari kebutuhan dan sisanya diisi oleh produk susu impor. Data Kementerian Pertanian sampai awal 2012 menunjukkan populasi sapi perah nasional mencapai 603.852 ekor dengan laju pertumbuhan hanya 2,5 % per tahun. Kondisi ini tentunya berbanding terbalik dengan kebutuhan sapi perah untuk memenuhi permintaan IPS dan lainnya.

Berbagai upaya pengambangan peternakan sapi perah dilakukan baik di level masyarakat, perusahaan, maupun pemerintah. Salahsatu upaya pengembangan sapi perah yang patutu menjadi sorotan adalah pola kemitraan peternak rakyat dengan IPS. Sejumlah IPS sudah mengembangkan pola ini dan terbukti berhasil. Selain ikut mengembangkan usaha rakyat, dengan pola ini juga dapat mendongkrak pasokan susu nasional.

Berpijak dari persoalan tersebut, lantas bagaimana dengan persusuan Sinjai ?

Menengok Sejarah persusuan dan pengembangan sapi perah di Kab. Sinjai di mulai tahun 2001, sebenarnya kebijakan tersebut saling tarik menarik. Hanya saja persoalan yang terjadi dilapangan dalam hal ini di tingkat peternak sapi perah selalu tidak sejalan dengan kebijakan yang digelontorkan pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan baik kabupaten dan propinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Contohnya, pengembangan dan alokasi bantuan sapi perah di Kab. Sinjai yang barangkali belum menyentuh akar pesoalan yang terjadi di tingkat peternak di daerah penghasil susu nomor satu di sulsel ini.

Menurut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Sinjai, Drh. Aminuddin, setelah setahun ia menjadi kadis peternakan di Kab. Sinjai, saya melihat ada potensi pengembangan sapi perah dan pada saat itu Kepala Dinas Peternakan Prop. Sulsel di jabat oleh Alm.Drh. Amir Hamid, Saya meminta bahwa sapi bantuan yang jumlahnya 6 ekor sapi perah sebaiknya di alokasikan ke Kab.Sinjai, akhirnya jumlah 6 ekor disetujui di alokasikan di Desa Gunung Perak Kec. Sinjai Barat. Dari 6 ekor ini di Kec. Sinjai Barat melihat bahwa pengembangan sapi perah ini mempunya prospek yang sangat bagus karena selain menghasilkan susu untuk di jual juga mendapatkan anak sapi setiap tahun. Ujar Aminuddin.

Sapi perah di Gunung Perak , Sinjai- Sulsel ini jika dibandingkan dengan sapi perah yang ada di Pulau Jawa, maka Sulsel termasuk salah satu wilayah pengembangan baru atau produksi baru persusuan. Mulailah sejak tahun 2001 sampai sekarang ini Dinas peternakan Kab. Sinjai mulai memprogramkan pengadaan sapi perah setiap tahun dan mengalokasikan pengadaan setiap tahun sambil mengembangkan yang sudah ada.

“Sebenarnya pengembangan sapi perah di sinjai ini pernah mencapai 500 ekor populasi tetapi karena proses ketuaan yakni di afkir oleh peternak, di satu sisi regenerasi yang tidak begitu bagus dan juga kendala saat ini banyaknya pedet umur 3-5 bulan yang mati sehingga terhambat mendapatkan sapi dewasa sehingga regenerasi juga menjadi terhambat”, ungkap Aminuddin yang juga peraih penghargaan Adhikarya Pangan 2011 dari Presiden RI kategori Ketahanan Pangan ini.

Selanjutnya di Tahun 2009 dengan melihat kenyataan itu, Pemda Sinjai melakukan lagi strategi baru yaitu dengan program rearing (pembesaran) tentu dengan bantuan Pemkab Sinjai yakni Bupati memberikan dana yang cukup signifikan untuk membangun sebuah rearing dengan kapasitas 60 ekor. Di Tahun 2010 mulai berhasil dengan mendapatkan danmembesarkan pedet kurang lebih 80 ekor dan program rearing itu tetap berjalan sampai sekarang. Begitu pula strategi pengembangan di masyarakat atau di anggota kelompok ternak dengan merubah sedikit yang tadinya di awal pengembangan sapi perah ini kita mementingkan pemerataan dari anggota tetapi sekarang pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sinjai mencoba mengubah strategi dengan menghampiri skala ekonomi dengan setiap 1 orang petani memiliki minimal 3 – 5 ekor sapi perah.

“Pemeliharaan sapi perah oleh masyarakat ini secara ekonomi bisa menambah income untuk biaya sekolah dsb, yang jelas untuk mensejahterahkan para peternak”, katanya.

Di dalam perjalanan pengembangan usaha sapi perah ini di Desa Gunung Perak banyak berkaitan dengan produksi susu yang dihasilkan. Selain komoditas utamanya adalah susu pasteurisasi dengan nama dagang “Susin” dengan kemasan gelas (cup) dengan volume 150 cc, juga produk susu sinjai tersebut dilakukan berbagai diversifikasi produk. Contohnya es krim dan kerupuk susu.

“Di Tahun 2012 ini kita mencoba memulai karamel susu, dodol susu, yoghurt, mentega dan sebagainya, dan tinggal bagaimana membentuk kelompok-kelompok pengolahan yang ada di Kab. Sinjai”, ungkap Aminuddin yang lulusan Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor ini

Sapi perah yang ada di Sinjai Barat ini kebanyakan didatangkan dari Jawa Timur, dan sebagian lainnya dari BPTU Batu Raden. Dengan dasar pemikiran iklim Desa Gunung Perak, ke depannya pihak Dinas Peternakan menyarankan pengadaaan ternak sapi perah di arahkan agar kelompok ternak untuk mengambil di Kab. Malang, Jawa Timur.

Selain itu pengembangan sapi perah sebelum di lakukan di Kab. Sinjai, yang memulai lebih dulu adalah Kab. Enrekang Sulsel yang dikenaal dengan produksi Dangkenya. Melihat peluang tersebut, selaku Kepala Dinas Peternakan yang baru saya jabat 1 tahun waktu itu mengatakan bahwa ada satu potensi kecamatan di Sinjai Barat sangat bagus untuk pengembangan sapi perah terutama iklimnya yang dingin ditambah hijauan berlimpah ruah serta dukungan SDM petaninya yang sangat bagus dan sudah terbiasa dengan pola kawin suntik (IB). Sapi perah ini umumnya dikawinkan dengan teknologi Inseminasi Buatan. Dengan begitu tidak perlu lagi memperkenalkan teknologi tersebut kepada mereka. dan inilah cikal bakal pengembangan sapi perah di Kab. Sinjai, Sulsel hingga sekarang ini.

Soal pemasaran susu di Kab. Sinjai – Sulsel tidak ada kendala, hanya memang harga saat ini masih kisaran 2000 - 2500 rupiah per liter. Apa yang diungkapkan oleh Rajab sebagai ketua kelompok ternak “Batuleppa” adalah wajar karena peran pemerintah disini masih memberikan subsidi sekitar 80 %, namun harga 2000 perliter jika di kalkulasi masih lebih tinggi dibanding dengan harga di tingkat peternak di Jawa.Kedepannya, subsidi akan dikurangi agar nanti harga per liternya bisa lebih bagus.

“Seharunya pihak Dinas Peternakan Propinsi Sulsel yang harus berpikir bahwa pengembangan sapi perah ini tidak begitu sama dengan pengembangan sapi potong terutama peternak yang akan memelihara sapi perah. Diperlukan SDM, pelatihan yang bagus, pemodalan, manajemen; pemberian pakannya, bagaimana cara memerah sapi yang baik sehingga susu yang dihasilkan bersih (hygine) dan sebagainya.”, Ungkap Aminuddin yang sudah 13 tahu menjabat Kepala Dinas Peternakan di Sinjai ini.

Dan yang tak kalah pentingnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membantu pemasaran hasil susu para peternak di Sinjai. Saat ini kami mempunyai program PPMTAS (Program pemberikan makanan tambahan pada anak sekolah) kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kab. Sinjai dalam memasarkan susu peternak.

Terlepas dari itu, kini Rajab bersama kelompok ternaknya bersusah payah sekuat tenaga untuk terus bertahan dengan usaha sapi perahnya. Yang menjadi harapan besar Rajab sebagai perintis persusuan di Sinjai tersebut adalah bagaimana usaha sapi perah yang ia rintis bersama kelompok ternaknya bisa lebih berkembang dan membawa perubahan bagi Desanya. Peran Pemerintah dengan produksi susu sinjai harus benar-benar memberikan kesejahteraan bagi diri dan anggota peternaknya. Insya Allah, saya yakin jika semua berjalan dengan niat yang baik, maka tak ada yang tak mungkin jika suatu saat persusuan Sinjai akan sama dengan di Jawa, tukas Rajab dengan wajah penuh optimis. (IR)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun