Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Sepenggal Kisah: Demi Tugas Mulia Itu

8 Oktober 2011   10:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 247 0

[caption id="attachment_140332" align="aligncenter" width="300" caption="Melakukan upaya Advokasi kepada petani di Desa Pallantikang Kabupaten Gowa Sulsel (Imansyah Rukka)"][/caption]

Kehidupan seorang aktifis seperti saya selain mengurus organisasi petani, juga tak lepas dari fungsi dan peran saya sebagai kepala rumah tangga. Terkadang dalam menapaki perjalanan dwi fungsi tersebut banyak hal-hal yang saya bilang itu adalah sebuah tantangan hidup buat saya. Ada sebuah nilai-nilai kehidupan yang saya hadapi ketika semua itu muncul dan menghadang di hadapan diri saya. Sebagai contoh orang yang paling dekat dengan kita adalah istri dan anak-anak. Mereka itu adalah amanah yang telah diberikan oleh Tuhan untuk kita jaga dan rawat sebaik-baiknya. Menyediakan waktu untuk mereka sebisa mungkin demi, menjalin kebersamaan dan keharmonisan. Idealnya seperti itu pikir saya. Namun, kenyataan selalu terbukti lain.

Dalam meniti hari-hari yang memang indah danmenyenangkan ini, seyognyanya saya harus selalu barengi dengan penuh rasa syukur yang mendalam. Alhamdulillah”. Karena memang pada dasarnya hidup ini penuh dengan kenikmatan. Seperti ketika istri dan anak tadi keberatan untuk saya meninggalkan mereka ya sepeti itulah yang harus saya jalani. Tetap harus saya menerima semua kenyataan itu walaupun berat dan pahit sekalipun. Ohya maaf, ada kata pahit terlintas dalam ketikan tadi, itu pertanda masih manusiawi namun jika saya hilangkan kata pahit tersebut menggantinya dengan kata Ikhlas, barangkali itu yang pas bagi saya yang selalu ingin menemukan sebuah kesadaran tinggi saya.

Tugas mulia itu luas arti dan maknanya bagi saya, bagaikan Binekaan Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi tetap satu jua”, yang muara dan hilirnya ada dalam diri saya sendiri. Paling rill dalam kehidupan sehari-hari adalah memberikan yang terbaik dalam hidup ini, dengan menebar kabajikan kepada sesama. Kebajikan berarti memberikan sesuatu yang muatan positif, atau ada energi yang terbias secara positif di sekeliling saya jika itu terlaksana tanpa pamrih. Membuang sampah pada tempatnya adalah merupakan perilaku positif yang mengeluarkan energi yang positif pula. Melihat paku dijalan atau pecahan kaca, lantas saya memungut dan menyingkirkannya agar tak mencelakakan orang juga termasuk berbuat kebajikan kepada sesama.

Perilaku-perilaku tersebut tadi memang adalah hal-hal kecil dan nampak sepele. Tetapi saya pikir jika saya lakukan dengan ikhlas dan tulus sepenuh hati semuanya menjadi enak dan enteng-enteng saja hidup ini. Dalam diri, ada semacam kepuasan batin terasa dan sulit untuk dikatakan. Ya hubungan timbal balik itu pastilah ada, namun tak mesti saya harus terfokus ke situ, yang penting bagi saya adalah lakukan saja dengan ikhlas, insya allah Tuhan maha tahu apa yang saya kerjakan. Karena Meski begitu, masih ada proses-proses perjalanan untuk menjalani tugas-tugas mulia dalam kehidupan ini.

Seperti halnya dalam satu kesempatan saya diberikan amanah oleh Tuhan untuk membimbing istri dan anak-anak saya, adalah bukan pekerjaan yang terbilang mudah seperti membalik telapak tangan. Bagi saya adalah sejauhmana pemahaman saya tentang hidup yang telah diberikan oleh Tuhan. Maksud saya begini, saat ini saya, anda serta kalian dan siapa saja yang membaca tulisan ini, jelas mempunyai hidup. Dalam hidup itu saya bisa bergerak kesana kemari, menghirup udara oksigen keluar masuk, melihat dan mendengar alam ramai yang hiruk pikuk ini. Yang jelas itulah konsekwensi hidup yang telah diberikan Tuhan kepada saya.

Di saat istri dan anak-anak membutuhkan saya untuk bisa hadir setiap saat bersama mereka,itulah konsekwensi saya sebagai kepala rumah tangga. Esensinya bukan hanya sebatas menafkahi kalau saya telaah, ada nilai-nilai yang harus mereka transformasi dari saya sebagai bapak dari mereka. nilai-nilai itu adalah kemuliaan yang diberikan oleh Tuhan sejak saya lahir. Jika itu yang saya sentuh dan memberikannya kepada istri dan anak-anak saya, lihat apa yang terjadi disekeliling saya. Namun sebaliknya, diluar dari nilai-nilai yang ada dalam diri saya ketika saya telah pahami dan hayati lalu amalkan namun tak pernah saya gubris, maka saya bisa melihat dan merasakan seperti apa yang mereka lakukan. Ada cermin dalam diri saya yang parameternya saya sebagai bapak dari orang tua kandung mereka.

Ada sedikit cerita, pernah suatu hari ketika usai saya melakukan sholat magrib saya duduk berzikir dan bertakarruf kepada Allah, anak saya yang pertama bernama Faradiba Tenriola Rukka yang melihat sayasedang duduk di kursi sofa terus memperhatikan saya. Saya tahu bahwa anak saya sedang memperhatikan saya sedang duduk berzikir sambil bersila dan jujur saja bahwa saya tidak khusyu saat zikir waktu itu. Setelah saya selesai, tiba-tiba ia datang mendekat ke saya dan bertanya :

“Papa, tadi sedangberdoa ya?” Papa doain diba ya?, tanya anak saya

“Iya nak, papa tadi itu sedang berzikir memuji Asma Allah agar mama, diba, ica dan adik fadi semua dalam keadaan nyaman dan tenteram, kalau papa sering berzikir seperti ini, suasana rumah ini akan terasa tenteram dan damai”, jelas saya

Rupanya apa yang saya lakukan yakni berzikir dengan meyebut Asma Allah, secara langsung telah direspon secara positif oleh anak saya Faradiba. Terbukti pada saat ia menanyakan kepada saya bahwa saya mendoakan dia.

Kecil memang ibadah zikir itu kelihatannya dari kasat mata, walaupun itu kecil jika terus menerus saya lakukan di rumah dan lingkungan tempat saya tinggal akan memberikan dampak yang sangat positif bagi saya dan keluarga saya. Dan semakin besar ke tetangga dan lebih besar lagi ke warga dan lingkungan dan begitu seterusnya.

Semua dimulai dari diri saya sendiri. Logikanya bagini, tak akan mungkin saya bisa menjadi pemimpin atau Imam dalam keluarga saya, jika saya sendiri tidak bisa memimpin diri saya. Metode yang saya lakukan ya cukup ringkas dan terbilang simpel yaitu zikir dan berzikir kapan dan dimana saja kalau saya bisa ingat dan eling kepada Tuhan. Itupun semacam ada tuntunan secara batin saya. Dan setelah itu, tinggal bagaimana bisa menjiwai dan menghayati zikir yang saya lakukan itu artinya implikasinya bagaimana wujud laku sehari-hari saya. Kalau belum ya belum dan kalau sudah akan terasa. Semua adanya dirasa.

Sama halnya ketika saya melakukan investigasi soal alih fungsi lahan yang dijadikan padang golf bertaraf internasional di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Lahan tersebut sebelumnya adalah lahan produktif milik para petani yang berada di kawasan tersebut. Dan parahnya, lahan pertanian produktif yang luasnya kurang lebih 200 ha itu, terdapat saluran irigasi teknis yang bernama bendungan sanre”. Belum lagi soal pembebasan lahan yang terbilang menuai masalah dengan para warga setempat yang rata-rata adalah petani. Spontan saja sebagai seorang aktifis petani, tentu melihat ketimpangan itu, energi adrenalin saya terasa mengalir begitu cepat seiring dengan sebuah keyakinan bahwa ini tidak bisa di diamkan dan harus diselesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tak bisa pake cara alam bagaiamana ia sendiri yang meyelesaikannya.

Disini saya merasakan manfaat berzikir sebanyak-banyaknya. Lebih bagus lagi ketika saya lakukan sambil berzikir kalau bisa karena inilah yang paling sulit. Istilah jadulnya “ora et labora”, kalau istilah orang-orang spiritual jawa “topo sajroning rame”, dalam kondisi ramai hiruk pikuk kita tetap berzikir – bertapa”.

Saya selalu mengkaji bahwa sia-sia sebuah hidup yang di dalamnya ada sebuah perjuangan yang akan kita tegakkan tanpa dibarengi dengan zikir yakni memuji Asma Allah, kalau Nasrani ia sebut dengan Puji Tuhan, begitu pula dengan katholik : Allah -Bapa –Putra, dan selanjutnya Hindu – Aum Suasti. Kesemuanya adalah mencari sebuah kemuliaan yang telah duberikan Tuhan pada dirinya melalui zikir (memuji Tuhan).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun