Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Imani N Anggi

25 September 2024   22:21 Diperbarui: 26 September 2024   06:50 71 0
Bab 1: Si Pemalas dan Si Rajin

Di sebuah desa yang tenang, ada seorang pemuda tampan bernama Imani. Meskipun tampangnya kayak aktor sinetron, tapi jangan salah, Imani ini terkenal malasnya minta ampun. Hobinya cuma satu: tidur. Kalau ada lomba tidur tingkat dunia, Imani pasti udah jadi juara dunia berkali-kali. Tapi di balik kemalasannya, Imani ini jago beladiri. Bukan cuma jago berantem, tapi juga jago gombal dan bikin puisi yang bisa bikin cewek-cewek meleleh. Sayangnya, Imani juga terkenal playboy dan bad boy. Lulusan sekolahnya? Jangan tanya. Cuma sampai SD, tapi itu nggak bikin dia minder. Yang penting, hidup tenang dan nggak usah pusing mikirin kerjaan.

Di sisi lain desa, ada seorang mahasiswi keperawatan bernama Anggi. Berbeda jauh sama Imani, Anggi ini tipe cewek rajin, baik hati, dan cantik. Dia selalu pakai hijab yang bikin aura anggunnya makin terpancar. Anggi ini jago masak dan selalu dapet nilai sempurna di kampus. Tapi di balik kelembutannya, Anggi ini perfeksionis abis. Dia nggak suka kalau ada sesuatu yang nggak sesuai dengan rencana. Dan yang paling penting, Anggi ini punya kebiasaan yang bikin Imani sering tepok jidat: nyuruh-nyuruh Imani nganterin dia kuliah.

Setiap hari, Anggi selalu nyuruh Imani buat nganterin dia ke kampus. Imani yang malas sebenernya males banget disuruh-suruh. Tapi karena Anggi ini bagaikan ratu yang nggak bisa dibantah, akhirnya Imani selalu nurut, meskipun dengan setengah hati. Bayangin aja, tiap hari dia harus ngayuh sepeda butut warna biru kesayangannya yang dia kasih nama *Blue Dragon*. Meskipun sepedanya udah reot dan suaranya berisik, buat Imani, *Blue Dragon* ini udah jadi teman setia.

Imani dan Anggi ini ibarat Tom and Jerry versi desa. Mereka nggak pernah akur, selalu ada aja yang bikin ribut. Apalagi kalau udah soal nganter-jemput kuliah, pasti ada aja drama yang terjadi. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang spesial antara mereka. Meskipun sering berantem dan adu argumen, Imani dan Anggi nggak bisa dipisahkan. Mereka punya cara sendiri buat saling peduli, meskipun dengan cara yang kadang bikin orang lain geleng-geleng kepala.

Pagi itu, Imani baru aja terlelap lagi setelah bangun sebentar untuk minum air. Suara ayam berkokok di luar jendela nggak ada efeknya buat dia. Matanya berat, rasanya kayak ada magnet yang nempel di kelopaknya. Di atas kasur yang empuk---meski sebenarnya cuma tumpukan kasur lipat tua---Imani kembali menarik selimutnya dengan perasaan bahagia. Bagi Imani, tidur itu ibarat seni. Harus dinikmati sepenuhnya.

Tapi saat mimpi indahnya baru dimulai, tiba-tiba ada suara keras dari luar.

"Imaaaniii! Bangun! Udah siang nih! Cepetan anter gue!"

Suara cempreng yang familiar itu langsung membangunkan Imani dari mimpi indahnya. Bukan suara alarm, bukan juga suara motor tetangga yang berisik. Itu suara Anggi, cewek yang jadi sumber pusingnya tiap pagi.

Imani bangun sambil mengusap wajahnya. "Ah, nih cewek. Kok tiap hari aja sih nggak bisa tenangin hidup gue?" gerutunya sambil berusaha membuka matanya yang masih setengah tertutup.

Dengan langkah malas, Imani mendekati jendela dan mengintip keluar. Bener aja, di luar rumahnya, Anggi berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya cemberut kayak habis makan permen asem.

"Lo nggak bisa, ya, tenang bentar aja? Gue baru aja tidur!" seru Imani dari dalam kamar, berusaha memperpanjang waktu malas-malasan.

Anggi melotot. "Jam segini lo masih tidur, Iman? Lo pikir kampus gue buka 24 jam kayak warung, apa?"

Imani cuma nyengir sambil nyandarin tubuhnya ke dinding. "Santai aja, Gi. Gue bisa nganterin lo cepet kok. Naik "Blue Dragon" kita pasti terbang sampe kampus," ujarnya sambil menahan ketawa.

Anggi melengos, tapi nggak bisa nutupin senyum tipis di wajahnya. "Lo tuh ya, Iman. Kalau bukan karena gue udah terlanjur kenal lo, mungkin gue udah cari tukang ojek lain yang lebih niat."

Imani tertawa, akhirnya keluar dari kamar dan siap-siap dengan secepat kilat---sebisa malasnya. Setelah cuci muka dan ganti baju seadanya, dia keluar rumah sambil menyeret "Blue Dragon" yang sudah setia menunggu di depan pintu.

Anggi melihat sepeda butut itu dengan tatapan skeptis. "Iman, gue heran. Dari sekian banyak kendaraan yang ada di dunia, kenapa lo tetep bertahan sama sepeda ini?"

Imani tersenyum bangga sambil mengelus setang "Blue Dragon". "Karena sepeda ini punya sejarah, Gi. Udah nemenin gue dari zaman gue SD sampe sekarang. Lo nggak bakal ngerti betapa spesialnya dia."

Anggi hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Iya, iya. Ya udah, cepetan kita berangkat sebelum gue telat."

Imani naik ke atas "Blue Dragon" dengan semangat, lalu menepuk jok belakang. "Yuk, Ratu. Hari ini gue anterin lo ke kerajaan lo dengan selamat."

Dengan sedikit enggan, Anggi naik ke jok belakang, dan perjalanan mereka pun dimulai. Jalanan desa yang sepi membuat suasana semakin nyaman. Imani mengayuh sepeda dengan santai, sesekali melirik Anggi yang sedang sibuk melihat ponselnya. Meskipun sering ribut, Imani sebenarnya menikmati momen-momen seperti ini---saat mereka berdua bisa menghabiskan waktu bersama, meskipun tanpa banyak bicara.

"Gi, lo kenapa selalu aja sibuk ngeliatin ponsel? Gue tuh di depan lo, loh. Say hi kek, atau ngobrol dikit," goda Imani sambil menoleh ke belakang.

Anggi mengangkat pandangannya dari ponsel dan melotot lagi. "Ya ampun, Iman! Lo itu nganterin gue, bukan pacaran! Fokus ke jalan deh biar nggak nabrak!"

Imani tertawa, tapi dia menurut juga. "Oke, oke. Tapi lo tau kan, Gi? Meskipun gue tukang nganterin lo tiap hari, hati gue tetep buat lo, kok."

"Gombal!" Anggi mencubit pinggang Imani, membuatnya meringis kesakitan. Tapi Imani tetap tertawa, merasa puas dengan reaksi Anggi yang selalu bisa dia tebak.

Di tengah perjalanan, mereka melewati sawah yang luas dan hijau, angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka. Anggi yang tadinya kesal, mulai merasa lebih tenang. Ada sesuatu tentang suasana pagi dan kebersamaan ini yang membuat hatinya hangat, meskipun dia sering jengkel sama Imani.

"Lo tau nggak, Gi," kata Imani tiba-tiba, memecah keheningan. "Kalau hidup gue ini ibarat film, lo pasti jadi pemeran utamanya."

Anggi pura-pura nggak peduli, tapi ada rona merah di pipinya yang nggak bisa dia sembunyikan. "Ya udah. Kalau gue pemeran utama, lo tuh pemeran pembantu yang hobinya bikin masalah terus," balas Anggi, mencoba menyembunyikan senyum di balik ejekannya.

Imani terkekeh. "Nggak apa-apa. Asal gue bisa terus ada di film lo, itu udah cukup buat gue."

Anggi mencubitnya lagi, kali ini lebih keras. "Iman! Lo serius bawa sepeda apa nggak sih? Jangan malah bikin gue mau cubit lo terus!"

Mereka berdua tertawa bersama. Dan meskipun perjalanannya sederhana---naik sepeda butut melewati jalanan desa---ada kebahagiaan yang nggak bisa digantikan dengan apapun.

Setibanya di kampus, Anggi turun dari sepeda dengan elegan, merapikan hijabnya, dan menatap Imani dengan tatapan puas. "Thanks, Iman. Meskipun lo tukang malas, lo tetep yang terbaik buat nganterin gue."

Imani mengedipkan mata, "Anytime, Ratu."

Dan dengan senyum di wajahnya, Anggi melangkah menuju kampus, meninggalkan Imani yang merasa puas karena telah membuat hari Anggi sedikit lebih berwarna.

Tetapi tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arah Imani. Wajahnya masih menunjukkan senyum tipis, tapi matanya menatap serius, seolah ingin memastikan sesuatu.

"Iman," panggilnya dengan nada yang sedikit berbeda, lebih tegas tapi tetap lembut.

Imani yang masih sibuk mengatur nafas setelah ngos-ngosan nganterin Anggi, langsung mengangkat alisnya. "Apaan lagi, Gi? Ada yang ketinggalan, ya?"

Anggi menggeleng, lalu mendekatkan dirinya sedikit ke arah Imani, yang masih duduk di atas "Blue Dragon". "Jangan sampe lo telat jemput gue nanti sore. Gue ada praktek tambahan hari ini, dan gue nggak mau nungguin lo lama-lama di sini."

Imani terkekeh, berusaha santai. "Santai aja, Gi. Lo tau kan, gue ini ninja. Cepet dan tangkas!"

Anggi menatapnya dengan tatapan tajam, meskipun ada sedikit tawa yang terpendam di balik itu. "Iman, gue serius. Ini penting buat gue. Lo kan tau gue nggak suka nunggu lama."

Imani berhenti tertawa dan mengangkat tangan kanan, seolah sedang bersumpah. "Sumpah, Gi. Gue bakal tepat waktu. Gue bakal jemput lo sebelum lo sempet bilang 'Iman lambat!'"

Anggi mengangkat sebelah alisnya, mencoba membaca kesungguhan di mata Imani. Setelah beberapa detik, dia akhirnya mengangguk pelan. "Oke. Gue pegang kata-kata lo, ya."

Imani hanya mengangguk mantap. "Tenang aja, Ratu. Gue bakal jadi pahlawan lo sore ini."

Anggi hanya tersenyum kecil, kemudian melangkah mundur sambil terus menatap Imani. "Kalau lo telat, siap-siap aja dapet cubitan super dari gue."

Imani menelan ludah, meskipun dia berusaha tetap terlihat santai. "Iya, iya. Gue nggak bakal kasih lo alasan buat mencubit gue, deh."

Anggi tertawa kecil, kemudian melambaikan tangan dan akhirnya berbalik, berjalan masuk ke kampus dengan penuh percaya diri. Imani memandangi punggungnya sampai Anggi menghilang di balik pepohonan.

Setelah itu, Imani menarik napas panjang dan mulai berpikir serius. "Hmm, berarti gue harus nyari cara biar nggak telat nanti sore. Tapi... gue kan juga butuh tidur siang." Dia menimbang-nimbang antara janji yang baru saja dia buat dan kebiasaannya yang tak bisa ditinggalkan.

Sambil mengayuh "Blue Dragon" perlahan meninggalkan area kampus, Imani merenung. Dalam hati dia berjanji, walaupun malasnya minta ampun, hari ini dia nggak akan bikin Anggi marah gara-gara telat jemput. Dan untuk pertama kalinya, Imani benar-benar merasa harus menepati janji itu.

Setelah berpisah dengan Anggi di depan kampus, Imani mulai mengayuh "Blue Dragon" pelan-pelan menyusuri jalanan desa yang lengang. Matahari siang semakin tinggi, dan panasnya mulai terasa di kulit. Imani merasa kantuk perlahan-lahan menyerang. Kelopak matanya mulai terasa berat, dan pikirannya mulai melayang ke dunia mimpi yang penuh dengan bantal empuk dan selimut tebal.

"Ah, tidur siang kayaknya ide bagus nih," gumam Imani sambil menguap lebar. Dia mencoba melawan kantuk dengan cara membuka matanya lebih lebar, tapi tetap aja nggak mempan.

Saat sedang mengayuh sambil setengah sadar, tiba-tiba Imani melihat sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Gubuk itu kelihatan sangat nyaman dengan atap daun kelapa dan tempat duduk dari bambu. Seperti undangan tak tertulis buat orang-orang ngantuk sepertinya.

"Pas banget nih!" Imani mengerem mendadak, membuat "Blue Dragon" nyaris terbalik. Dengan gesit, Imani parkir sepedanya di samping gubuk. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, memastikan nggak ada orang yang memperhatikan, lalu dengan langkah mantap, dia masuk ke dalam gubuk.

"Dikit aja tidurnya, sepuluh menit cukup," bisiknya pada diri sendiri sambil merebahkan diri di atas bambu yang keras. Tapi karena bagi Imani tidur itu adalah seni, dia nggak butuh kasur empuk atau bantal bulu angsa untuk bisa terlelap. Bahkan di atas bambu keras pun, Imani bisa langsung terbang ke alam mimpi.

Dan begitulah, dari niatnya hanya tidur sepuluh menit, malah jadi tidur siang yang berkepanjangan. Matahari bergerak dari atas kepala ke arah barat, tapi Imani masih saja tidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur kecil. Suara jangkrik mulai terdengar, dan angin sore yang sejuk berhembus pelan-pelan.

Namun, kenyamanan itu nggak berlangsung lama. Tiba-tiba, Imani terbangun karena suara aneh. Suara... dering ponsel?

"Aduh, siapa sih yang nelpon jam segini?" Imani meraba-raba saku celananya dan mengeluarkan ponselnya yang berdering. Wajahnya langsung pucat saat melihat nama yang muncul di layar: "Anggi".

"Ya ampun! Gue ketiduran!" Imani langsung bangkit dengan panik. Dia melihat jam di ponselnya, dan benar saja, udah hampir jam setengah lima sore. Seharusnya, dia sudah jemput Anggi setengah jam yang lalu!

"Matilah gue! Anggi pasti udah murka kayak ratu di tengah perang!" Imani buru-buru keluar dari gubuk, meraih "Blue Dragon", dan mengayuh sepedanya secepat mungkin menuju kampus.

Selama perjalanan, Imani nggak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri. "Kenapa sih gue ini nggak bisa cuma tidur sebentar? Apa bantal di surga mimpi gue terlalu empuk, ya?"

Namun, semua penyesalan itu terlambat. Saat dia tiba di depan kampus, Anggi udah berdiri di sana, dengan wajah yang lebih seram dari hari-hari biasanya. Tangannya bersedekap, matanya melotot tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Imani bisa merasakan hawa dingin yang mengerikan menyelimuti tempat itu, meskipun matahari masih bersinar terang.

Dengan senyum canggung, Imani turun dari sepeda dan mendekati Anggi. "Ehm... Gi, sori gue telat. Tadi gue, apa ya, ada urusan mendadak di tengah jalan..."

Anggi nggak langsung bicara. Dia hanya menatap Imani dengan tatapan yang bisa membunuh semangat hidup. Imani menelan ludah, merasa situasi ini lebih menyeramkan daripada menghadapi lawan di arena beladiri.

"Urusan mendadak di tengah jalan atau tidur mendadak di gubuk tengah sawah?" tanya Anggi, suaranya lembut tapi jelas ada ancaman tersembunyi di dalamnya.

Imani mencoba tertawa, tapi yang keluar cuma suara cekikikan canggung. "Eh, yaa... Gue kan cuma mau tidur sebentar, Gi. Tapi, lo tau sendiri kan, namanya tidur... kadang suka kelewat alarm."

Anggi menarik napas dalam-dalam, lalu tanpa peringatan, dia mencubit pinggang Imani dengan keras. "Cubitan super untuk janji yang nggak ditepati!"

Imani meringis kesakitan, tapi dia nggak berani protes. "Aduh! Iya, iya! Sakit, Gi! Gue janji besok nggak bakal telat lagi!"

Anggi mencubit sekali lagi, lalu akhirnya melepasnya. "Gue pegang janji lo, Iman. Tapi kalau besok lo telat lagi, siap-siap aja dapet cubitan plus bonus jitakan."

Imani mengangguk cepat, setengah berharap besok nggak akan ada gubuk nyaman di tengah sawah yang bisa menggoda dia lagi. Dengan wajah penuh rasa bersalah, dia membantu Anggi naik ke atas "Blue Dragon" dan mengayuh dengan hati-hati menuju rumah Anggi.

Di sepanjang jalan, Imani cuma bisa berharap satu hal: semoga besok dia beneran bisa ngalahin rasa kantuknya dan jadi pahlawan yang tepat waktu buat Anggi. Tapi dalam hatinya, dia juga tau, melawan rasa kantuk itu lebih susah daripada ngalahin musuh di arena.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun