Kartini dimodikasi oleh kekuatan politik penguasa (pada saat itu: orde baru) untuk selalu diingat sejarahnya, sebagai pejuang dan pahlawan perempuan yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Kartini dalam pergerakannya telah menjadi simbol kekuatan politik perempuan untuk memberdayakan diri.
Pada konteks selanjutnya, Kartini tidak hanya disanjung tetapi juga sosok yang harus ditiru dan dipedomani dalam setiap gerak perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia telah tampil tidak sejajar dengan kaum pria, tetapi juga telah mampu menjadi pemimpin dalam masyarakat, baik dalam jabatan politik maupun pemerintahan. Namun, di belahan lain tidak sedikit perempuan Indonesia yang masih terkungkung kemiskinan, ketidakberdayaan politik, dan sejumlah ketertinggalan lainnya.
Kartini kita tidak hanya tampil sebagai kaum ningrat ( dengan kebaya keraton dengan segala kecukupan ekonominya), tetapi tidak jarang kartini-kartini yang bermandikan keringat dan darah demi sesuap nasi di negeri seberang sebagai TKW. Kartini kita menyingsingkan baju dengan peluh menjadi buruh tani, bangunan, dan pemecah batu hanya untuk makan hari itu. Namun, di dunia yang lain, juga kita saksikan kartini kita berubah wujud jadi politisi dan pejabat publik. Hal lain yang mencengangkan kartini telah menjadi seorang koruptor? Mengeruk anggaran negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Tentu kita tidak ingin lihat kartini melarat dengan segala ketertindasannya, tetapi juga kita tidak ingin menyaksikan kartini kita menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kartini yang kita dambakan adalah sosok yang sederhana, jujur, anggun, dan lembut serta berkepribadian Indonesia.