Bank yang katanya dekat dengan rakyat kecil itu kenyataannya tidak benar-benar peduli dengan nasabahnya. Bank yang slogannya melayani dengan sepenuh hati itu kenyataannya tidak melayani dengan sungguh-sungguh.
Aturan yang diterapkannya sungguh kaku mengikat para pekerjanya. Atau pekerjanya saja yang terlalu kaku memaknai peraturannya ya? Sampai-sampai perempuan berparas cantik sebagai tellernya tidak bisa memanfaatkan intuisi wanitanya, perasaan. Ia hanya berpaku pada rasionalitas semata dan (sekali lagi) peraturan. Jadinya saya tidak melihat kecantikannya lagi. Masa bodoh.
Baru-baru ini saya harus berhadapan dengan petugas di Bank BRI. Ayah saya yang sedang terbaring sakit karena lumpuh menugasi saya untuk menarik sejumlah uang di bank. Kebetulan ia punya tabungan di Bank BRI, Britama. Uang tersebut akan digunakannya berobat selama menumpang di rumah Paklik saya. Untuk bisa menarik sejumlah uang itu, saya membuatkan Surat Kuasa yang ditandatangani oleh ayah saya di atas materai 6000. Melalui Surat Kuasa itu, saya berharap bisa mewakili ayah saya untuk berurusan dengan pihak bank.
Apa dinyana, pengurusan melalui Surat Kuasa tersebut ditolak. Meskipun saya telah menunjukkan KTP dan rekening milik ayah saya, namun teller yang bertugas bersikukuh tidak membenarkan penarikan uang melalui Surat Kuasa jika tidak melalui bank unit rekening bersangkutan. Kebetulan ayah saya berekening Enrekang. Ia sudah sakit semenjak 6 bulan lalu dan harus berobat di Makassar. Ia dan ibu saya menumpang di rumah Paklik saya di Makassar.
"Maaf, tidak bisa. Menurut peraturan, surat kuasa hanya berlaku di kantor unit dimana rekening itu dibuat. Karena rekening ini dibuat di unit cabang Enrekang, maka penggunaan surat kuasa juga hanya berlaku disana," terang teller yang belakangan saya ketahui namanya Putri.
"Waduh. Jadi, caranya narik disini bagaimana, Mbak? Sementara bapak saya juga tidak bisa kesini, karena sakit. Dia lumpuh," tutur saya. Saya berusaha meminta sedikit "keringanan"nya terkait hal itu. Bahkan saya juga sudah menyodorkan nomor handphone ayah saya jika seandainya ia benar-benar tidak percaya dengan saya.
"Orangnya tetap harus dihadirkan disini. Bertanda tangan di hadapan teller," ucapnya lagi.
"Wah, bagaimana caranya, mbak? Masa mbak sendiri tidak kasihan dengan ayah saya. Masa saya harus mengangkatnya dari rumah dan membawanya kesini?" Saya berusaha mengetuk rasa kemanusiaan perempuan satu ini.
Hanya saja aturan dari atasannya mungkin telah dipaku kuat di kepalanya. Sehingga tak ada lagi ruang bagi dirinya untuk memanfaatkan perasaannya sebagai perempuan. Setahu saya, perempuan seharusnya jauh lebih "perasa" ketimbang laki-laki.
Karena bersikukuh menerapkan aturan itu, saya pulang bersama ibu saya. Mau tidak mau, saya benar-benar harus menghadirkan ayah saya.
Kunjungan kedua saya ke bank tersebut ditemani oleh kakak sepupu saya. Ia berinisiatif untuk menemui kenalannya untuk menyelesaikan masalah ini. Ia mengenal staf kantor cabang disana dan berharap bisa diberikan sedikit kebijakan terkait hal itu atas unsur "saling percaya". Maklum, keluarga Paklik saya mungkin menjadi nasabah yang sudah dikenal karena tergolong memiliki usaha bisnis yang besar.
Hanya saja, ketika sudah berbicara panjang lebar, tetap saja teller yang bersangkutan "keras kepala". Karena ujung-ujungnya, Awi yang merupakan PJs disana hanya bisa bertanya kepada teller terkait mekanismenya, dan membenarkan penjelasan teller tadi.
"Maaf, saya juga tidak bisa apa-apa," sesalnya.
"Masa tidak ada kebijakan lainnya agar uang tersebut bisa ditarik? Ini ayah saudara saya sedang sakit, lumpuh. Tidak bisa langsung kesini untuk mengambil uangnya," kakak sepupu saya bernegosiasi dengan kenalannya itu. Awi kemudian melirik ke teller dengan tatapan "bagaimana?"
"Maaf, Pak. Kami tetap tidak bisa. Ini sudah peraturannya. Kalau memang mau ambil uangnya, ya hadirkan orangnya disini. Harus bertanda tangan di hadapan teller," ketus teller itu lagi.
Akhirnya kami mengalah. Kami kembali pulang dan terpaksa menyertakan ayah saya di kunjungan yang ketiga. Kami membawanya dengan mobil. Kursi roda yang biasa digunakannya turut kami angkut sampai ke kantor bank.
Namun, saya tidak sampai harus mengangkat ayah saya keluar lagi dari bank. Tiba-tiba PJs yang tadi kami temui di dalam keluar dari kantornya bersama kakak sepupu saya. Ia membawa semacam slip untuk ditandatangani ayah saya di mobil. Sambil bersungut-sungut, kakak sepupu saya menyilakan PJs itu melihat sendiri keadaan ayah saya. Saya memang beberapa kali mendengar kakak sepupu saya berkomunikasi dengan seseorang di ujung teleponnya, terkait hal ini. Mungkin pimpinan kantor unit itu. PJs itu hanya bisa memohon maaf sambil menyegerakan mengurus penarikan tabungan ayah saya.
Uang yang awalnya hanya ingin ditarik sebagiannya saja, diputuskan untuk ditarik semuanya. Bahkan, ayah saya berencana menutup tabungannya disana. Kami kesal dengan pelayanan Bank BRI yang sangat kaku dengan aturan yang berlaku. Penetapan aturan yang hanya berdasarkan pada logika tanpa menyentuh sisi kemanusiaannya.
"Ini kan soal uang. Jadi kita juga tidak bisa berlaku sembarangan tanpa sesuai proaesur," tutur teller lainnya ketika sudah melayani penarikan uang saya.
Prosedur sih prosedur. Tapi, seyogyanya peraturan juga dijalankan dengan melihat dan memperhitungkan sisi kemanusiaannya juga.
Sama halnya dulu, menurut pengakuan ayah saya, ia pernah dipersulit pula ketika hendak menarik uangnya di Jawa. Lucunya, hanya persoalan nomor KTP yang berbeda karena ayah saya punya KTP lama dan KTP baru.
Saya menganggap, pihak Bank BRI atau pekerjanya bagaikan robot yang sudah diprogram sesuai dengan keinginan institusinya. Selayaknya robot yang sama sekali tak memiliki sisi kemanusiaan. Diprogram begini, maka akan berlaku begini. Diprogram begitu, tak akan meleset. Sementara kita kan manusia, yang selain punya sisi rasional juga punya sisi emosional. Betapa teganya mereka menyuruh untuk menghadirkan orang yang tak bisa berbuat apa-apa karena lumpuh. Mereka "keras kepala" dengan aturan yang kata mereka harus ditegakkan. Mereka tak pernah berpikir bagaimana seandainya terjadi sesuatu ketika pemilik rekening didatangkan ke kantornya. Ckck...
Saya semakin meyakini pelayanan bank BRI yang sangat "kaku". Lihat saja, teller yang melayani dan kukuh pada aturan "dangkal"nya itu tidak sedikit pun menyapa kami dengan senyum sebagaimana seharusnya seorang teller menjalankan tugasnya. (*)