Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Klandestin yang Terlupakan

19 September 2024   12:08 Diperbarui: 19 September 2024   12:10 55 0
Aku bukan ilalang yang tumbuh di dataran kering. Setiap derap kaki dapat menginjak tanpa beban. Juga bisa menebas habis. Lalu menumpuk di sudut ladang. Kerat matahari  meradang kerling. Seiring percikan api melumat habis menjadi abu.

Aku juga bukan ritme melodi malam yang syahdu. Lembut menghampiri rona wajah gelisah. Asah binar jiwa-jiwa yang resah. Melepuh radang pada bebal tangis zaman. Perjamuan akhir malam pun pupus. Turus menunggak mimpi meninggalkan aku dalam sepi.

Sekiranya boleh aku seperti matahari. Binar cerah dan menyuburkan setiap ruas pohon bergetah. Setiap lambaian tangan rantingnya segarkan aroma udara. Hingga aku menjadi pameo tetua. Meski bukan keluarga bersaudara masih juga kerabat se-udara.

O ... jiwa-jiwa petualang. Jiwa-jiwa yang bebas tanpa aral melintang. Jiwa-jiwa seutuh jiwanya melayang-layang dalam segenap ruang. Jangan patah hati meski jejak klandestin sering ternilai. Tapi tapak pijakmu tetap terpola baka. Tersimpan rapi di setiap ruas arasy-Nya.
Imam Muhayat, 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun