Tak lama waktu berselang. Kapal kerakah memburu rempah-rempah. Siaga singgah di Tana Humba. Alfonso-Porto terkesima seperti layaknya melihat surga. Lalu, ia memasang perangkap jitu.
Pribumi pun pecah. Pasti juga kian lemah dan mudah dijajah. Jejak penjajah betah berdiri seumur tujuh generasi. Tak ayal lagi luka nyeri menjadi catatan ibu Pertiwi.
Datang kemudian Sebastian del Cano. Tana Humba dibelah dua. Ternate juga Tidore meradang kesakitan. Tana Humba dibuat ladang perebutan. Bara api sesama penjajah muntah darah. Kuasa Cano tanggal di tangan Alfonso, hingga pasrah ia pindah ke Mindanao.
Alfonso, Daendels, Raffles, dan Hitoshi Imamura -- mereka sama saja. Semuanya gila ... Gila akan luasnya tanah air Indonesia. Gila yang terpendam di kedalaman Indonesia. Gila yang terendam di perairan Indonesia. Gila akan angkasa katulistiwa Indonesia. Gila akan populasi SDM Indonesia. Dan gila akan tarian kostum anak bangsa.
Aku bertanya... Gila yang bagaimana sejatinya mesti ada. Karena sedamai-damainya orang gila. Akan lebih damai orang yang tetap terjaga. Dan peka diri dan waspada di luar dirinya.
Imam Muhayat, 2024