"Saya akan mencuci kaki orangtua saya dan bersedekah pada anak yatim, jika saya nanti dibebaskan," ujar Zaenal salah satu terdakwa. Pria muda ini merasa, karena doa merekalah hingga hari ini ia masih kuat menjalani ujian tersebut.
Betapa tidak, tuduhan asusila yang menghancurkan hatinya itu seolah sebuah hantaman tanpa ampun pada tubuh kurusnya. Ia merasa seluruh dunia kini membenci dan mencibir dirinya sebagai 'pedofilia', gelar predator seksual bagi anak-anak.
"Saya merasa tak pernah melakukan hal itu, saya difitnah dengan tuduhan paling jahat ini," kata Zaenal geram.
Serupa dengannya, Syahrial yang merupakan rekan sejawat Zaenal di Jakarta International School (JIS) dan juga turut ditahan mengatakan bahwa ia tak pernah melakukan tuduhan tersebut.
"Jangankan berbuat asusila, ada murid lewat saat kita membersihkan lantai saja kita harus minggir dan harus menghindari kontak fisik," ujar Syahrial. Menurutnya, hal itu adalah aturan standar perusahaannya dalam bekerja. Karena itu, ia merasa sangat aneh dengan tuduhan tindakan asusila tersebut.
Namun seiring perjalanan waktu, fakta semakin membuktikan bahwa para petugas kebersihan itu memang tak pernah melakukan tindakan asusila apalagi kekerasan seksual. Sidang kasus dugaan tindak kekerasan seksual di JIS yang digelar Rabu 12 November lalu, merupakan sidang yang ke-14 kalinya digelar dalam kasus tersebut.
Namun hingga waktu tersebut, bukti dan saksi tak mampu dihadirkan guna menguatkan tuduhan yang dilayangkan pada para terdakwa. Bahkan dalam kesaksian terakhir, para saksi yang dihadirkan JPU adalah saksi diluar berkas perkara. Kuasa hukum terdakwa, Patra M Zein mengatakan, bahwa pada BAP hanya ada 1 ahli dan itu sudah dihadirkan pada minggu lalu.
"Jadi JPU menghadirkan 2 ahli baru yang tidak ada dalam berkas perkara," ujar Patra.
Dirinya menduga, langkah Jaksa menghadirkan 2 ahli di luar BAP tersebut terkait dengan hasil sidang JIS saat ini. Di mana, setelah 14 kali sidang dengan mendengarkan keterangan 14 orang saksi, bukti-bukti mengenai kekerasan seksual kepada korban AK belum bisa ditemukan. Kesaksian dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan justru melemahkan kasus ini.
Hal ini tentu menjadi angin segar bagi para terdakwa, sebab pintu menuju kebebasan mereka dari pengapnya sel penjara semakin terbuka lebar. Celah demi celah proses pengadilan ini berhasil dilewati, meski diawal kasus mereka sempat pesimis.
Peluang kebebasan semakin dekat
Ahli Hukum Acara Pidana Chairul Huda berpendapat bahwa dalam kasus JIS ini, pihak terdakwa bisa saja dibebaskan. Dengan catatan, jika hingga 14 persidangan belum juga ditemukan alat bukti. "Ya, jika alat bukti tidak juga ditemukan, terdakwa bisa saja dibebaskan dan dakwaannya dicabut karena berarti kejadian itu memang tidak pernah ada," ujar Huda yang juga merupakan pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang juga ahli hukum pidana, Romli Atmasasmita sependapat dengan Huda. Menurutnya tidak masalah jika saksi yang dihadirkan tidak ada di BAP, asalkan prosesnya telah melalui persetujuan pihak majelis hakim.
Bagaimanapun juga hakim punya hak untuk menghadirkan atau tidak para saksi, entah itu yang ada di BAP maupun tidak. Ahli hanya faktor penentu, namun yang paling utama itu adalah alat buktinya.
"Masalahnya hingga saat ini alat bukti itu kan belum ada, hal ini yang seharusnya menjadi pertanyaan, mengingat sudah sidang sampai 14 kali," ujar Romli.
Sejak kasus ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sejumlah fakta penting mengungkap bahwa tindak kekerasaan seksual terhadap AK tersebut sejatinya tidak pernah ada. Contohnya kesaksian dari dr Narrain Punjabi dari Klinik SOS Media.
Dokter yang pertama kali memeriksa AK atas dugaan kasus kekerasan seksual tersebut menegaskan, bahwa korban AK tidak pernah mengalami kekerasan seksual. Mengenai penyakit herpes yang diderita AK, Narrain mengatakan, bahwa penyakit tersebut sangat mungkin terjadi akibat kesalahan diagnosa.
Karenanya, Narrain menyarankan agar AK kembali lagi dalam seminggu untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Namun hal itu tidak pernah dilakukan sampai kasus ini meledak di media. Bukti adanya herpes itu yang diawal kasus ini muncul dan dijadikan sebagai bukti oleh ibu korban bahwa telah terjadi dugaan sodomi terhadap anaknya.
Sementara fakta medis lainnya dari RS Cipto Mangunkusumo juga mengungkap bahwa kondisi dubur AK normal. Hasil visum RSCM No 183/IV/PKT/03/2014 tanggal 25 Maret 2014 mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan terhadap lubang pelepas korban tidak ditemukan luka lecet atau robekan, lipatan sekitar lubang pelepas tampak baik dan kekuatan otot pelepas baik.
Sedangkan hasil visum RS Pondak Indah No 02/IV.MR/VIS/RSPI/2014 tanggal 21 April 2014 juga menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan visual dan perabaan pada anus korban tidak menunjukkan adanya kelainan.
Kesaksian terakhir dari dokter RS Bhayangkara Polri, turut melemahkan tuduhan tersebut. Dr jefferson mengatakan, jika benar anak korban kekerasan seksual hingga mencapai 13 kali pasti sudah mati saat ini. "Bentu lubang pelepas korban (dubur) masih normal dan tidak seperti corong seperti korban kekerasan seksual pada umumnya," ujar dr. jefferson.
Adapun soal nanah yang ditemukan pada korban, menurutnya itu adalah akibat bakteri dan bukan virus. "Jadi bukan disebabkan oleh penularan penyakit seksual," tegasnya pada sidang.
Saksi yang dihadirkan JPU dalam sidang hari Rabu tersebut adalah saksi terakhir yang dihadirkan. Sidang berikutnya adalah giliran saksi dari pembela terdakwa. Semoga keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh para terdakwa, sehingga mereka dapat merasakan kembali kebebasan seperti semula.