Padahal jika melihat argumentasi yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk menggiring FIFA menjatuhkan sanksi adalah dualisme kepengurusan dari Persebaya dan Arema Cronus Indonesia. Setidaknya dua klub inilah yang menjadi alih-alih Imam Nahrawi cengengesan sambil petentang-petenteng memanggil dengan tangan kiri agar surat yang berisi pernyataan resmi FIFA untuk melarang Indonesia ikut terlibat secara aktif di setiap event yang bertajuk Football yang diselenggarakan oleh PSSI yang terafiliasi kepada AFC maupun FIFA.
Persebaya dan Arema Cronus yang kebetulan juga berdiam di Provinsi Jawa Timur yang kental dengan fanatisme para supporter-nya, entah itu Bonek, Aremania, maupun daerah seputarnya yang juga memiliki tradisi juara di sepak bola seperti Persik maupun Persibo.
Imam Nahrawi betul-betul memiliki keyakinan dengan dijatuhkannya sanksi oleh FIFA, persepakbolaan Indonesia segera bangkit menapak prestasi. Pria berkumis ini memiliki indra keenam dalam waktu yang tidak begitu lama sejumlah persyaratan akan terpetiknya prestasi seperti ketersediaan lapangan sepak bola yang memadai, coaching clinic oleh pelatih yang memiliki lisensi dan pengembangan bakat dari bibit-bibit muda di daerah akan seketika hadir entah dari mana.
Prestasi yang terbangun misalnya dari Iran atau Brunei pasca sanksi FIFA tidak seperti membangun candi dalam kisah Loro Jongrang. Prestasi selalu terkait dengan upaya-upaya konstruktif. Pertanyaannya, seperti apakah program dari Kemenpora dalam hal upaya meningkatkan prestasi persepakbolaan Indonesia selain hanya menginginkan pembekuan PSSI dan dengan senang hati menerima sanksi FIFA? Rakyat harus memulai menudingkan tangan ke muka dari Imam Nahrawi mulai saat ini karena terlihat sekali Imam hanya pandai memanfaatkan momen-momen subyektifitasnya terkait keberpihakannya kepada Persebaya 1927 tanpa melihat hal yang sama kepada Arema Cronus yang juga diduplikasi oleh segelintir oknum yang bertitel LPI di bawah arahan Arifin Panigoro.
Apalagi semua sudah mahfum bahwa Kemenpora adalah kementerian "bagi-bagi" kemenangan setiap masa pilpres berakhir. Beberapa nama terakhir selalu identik dengan mereka yang hanya berusia muda tapi juga muda dalam hal pengalaman dan pemahaman terkait dunia kepemudaan dan keolahragaan.
Imam Nahrawi yang kental perjalanan politisnya akan menggeret persepsi politisnya juga dalam melihat silang-sengkarut sepak bola Indonesia. Hal ini terbukti dengan gegabahnya dia menjadikan BOPI sebagai satu-satunya referensi boleh atau tidaknya bergulir QNB league. Sebenarnya jika Imam mau bersikap sportif akan terlihat betapa Pemerintah memaksakan BOPI untuk memasang badannya sebagai verifikator atas dualisme yang terjadi pada dua klub tersebut. Pemerintah tahu persis betapa adanya dualisme badan arbitrase keolahragaan yang kadung terbentuk yakni BAKI (Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia dan BAORI (Badan Arbitrase Olah Raga Indonesia) dan bukan menyerahkan kasus perselisihan tersebut kepada BOPI yang juga terlanjur gemblung dengan pongah berani membuat keputusan sinting.
Apa yang disasar oleh Imam Nahrawi? Ini akan menjadi pertanyaan yang sangat menarik untuk ditelusuri. Kisruh yang kian mendekati kulminasinya yakni putusnya rasa sabar para supporter yang menerima fakta klub kesayangan mereka dilarang untuk bertanding dan hilangnya kans berjaya di kancah internasional seperti yang tengah diraih oleh Persib dan Persipura. Bisa jadi konflik yang luar biasa dan diluar dugaan pemerintah akan meletus dan bahkan bisa merembet kepada konflik horizontal antara supporter dengan aparat yang melarang adanya kegiatan pertandingan sepak bola.
Sejauh ini hanya klub-klub yang bernaung di bawah PSSI lah bibit-bibit muda pesepak bola dapat diharapkan. Piala Suratin yang dulu berjaya dan menjadi embrio para pemain nasional entah ke mana. Porseni atau Porda hanya menjadi kegiatan kosmetis untuk menghabiskan dana yang kadung dianggarkan per tahunnya. Pemerintah selama ini hanya menjadi kuda besi yang karatan dan hening bisu. Jika ada beberapa oknum yang mencari keuntungan di sela-sela hiruk pikuk Super League apakah dapat dimaklumi jika diaminkan untuk dijadikan alasan penghancuran sepak bola Indonesia atas nama prestasi oleh Kemenpora?
Mari mulai kita hitung mundur konflik dahsyat yang akan terjadi paska pembekuan PSSI. Mulai dari hitungan 30 hari...Ayo!