Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Pilih Jokowi? Kaum Buruh Harus Melihat Track Record PDI Perjuangan

15 April 2014   17:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39 622 7
Pekikan buruh di depan Istana, Gedung Dewan Senayan, menutup ruas jalan tol dan bahkan sampai melakukan sweeping ke sejumlah pabrik yang ditengarai tidak mengijinkan pekerjanya untuk bersama-sama dengan sejumlah serikat dibawah naungan konfederasi untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan perlakuan yang tidak sepatutnya oleh pengusaha c/q asosiasi dan pemerintah.

Terutama persoalan alih daya (outsourcing) yang kemudian dipergunakan secara ngawur dan serampangan oleh sekian banyak pengusaha. Outsourcing sendiri sebenarnya sudah merupakan masalah karena diintepretasikan tidak diharuskannya buruh pada pekerjaan bukan inti dari usaha yang digeluti terikat dalam status permanen. Pekerjaan yang bukan inti tersebut akhirnya dipersepsikan dengan tenaga harian lepas atau tenaga yang terikat pada waktu yang tidak tetap.

Persoalan kian meruncing. Buruh merasa hanya menjadi sekrup dari perspektif bisnis perusahaan. Mereka hanya merasa bagaikan sebuah bagian yang tidak penting dan sewaktu-waktu dapat digusur dan diganti tanpa bisa reserve sama sekali.

UU No 13 Tahun 2003 tidak pelak dipandang sebagai pintu masuk dari pendzaliman terhadap kaum marginal ini. Kaum yang kerap kali dilabeli dengan sebutan wong cilik. Cilik dalam arti kecil kekuatan dan kecil peluang untuk melakukan perlawanan. Ketertindasan adalah sebuah kondisi yang kerap digaung-gaungkan.

Apakah betul buruh tertindas dan senantiasa menjadi cilik di depan hegemoni tuan-tuan yang kaya raya dan bermodalkan duit ratusan milyar bahkan trilyunan?

Upaya-upaya yang kerap dilakukan hanya berakhir pada demonstrasi yang terkadang berujung vandal dan merusak. Meskipun miris melihat kejadian tersebut, perilaku buruh yang berujung hilangnya kesabaran mereka dalam menyampaikan kesedihan dan keadaan yang mereka terima per hari ini membuat sebagian dari kita menjadi bertanya, apakah betul tidak ada lagi perjuangan dalam bentuk lain yang bisa dilakukan?

Dari sekian banyak partai, hanya PDI Perjuangan yang seringkali sounding betapa partai mereka adalah rumah besar bagi wong cilik. Seperti kampanye Jokowi saat mencalonkan diri sebagai gubernur. Menyebutkan manifesto partainya yang selalu peduli dengan wong cilik.

Apa betul PDI Perjuangan dan Jokowi melakukan perlawanan terhadap penindasan kepada buruh?

Sejauh sejarah politik Indonesia telah mencatatkan betapa pada jaman Presiden Megawati Soekarno Putri UU No 13 Tahun 2003 ini disahkan. Sebuah produk hukum yang gagal terkait dengan peningkatan kesejahteraan kaum buruh Indonesia.

Apakah Jokowi akan menapaktilasi rekam jejak Megawati saat (misalnya) terpilih sebagai presiden Indonesia?

Melihat perjalanan Jokowi dan tim suksesnya (termasuk Megawati) membuat roadmap menuju RI1. Terlihat intensitas tim sukses ini mendekati dan melakukan pendekatan dengan para pemegang modal besar. Kaum kapitalis tersebut tentu saja tidak mau sekedar berbagi secangkir teh dan melepas penat sembari ngobrol-ngobrol ringan. Mereka sepertinya ingin membuat sekuel film indah tentang kapitalisme dan profit orientation dan menafikan kegeraman kaum buruh terhadap materinya yang menjepit buruh kiri dan kanan.

Manuver Sofyan Wanandi yang mewakili pengusaha untuk memberikan sinyal dukungan kepada pencalonan Jokowi menyirat berbagai makna tersembunyi. Kisah UU Ketenagakerjaan yang memilukan selama 11 tahun ini tidak serta merta menyurutkan niat mereka menghentikan kesedihan kaum buruh. Di berbagai unit, ribuan buruh sebuah produk soft drink perhari ini masih berdemo dengan santun di depan pabrik pembotolan mereka. Mereka menuntut untuk dijadikan karyawan tetap dan menolak status alih daya yang masih mereka sandang perhari ini.

Kaum buruh harus selalu mengingat rekaman sejarah panjang yang menyesakkan mereka. Terbangun dari tidur karena elusan kata-kata "wong cilik" adalah membunuh tanpa disadari.

Jokowi sejatinya belum memiliki nilai yang positif dalam pandangan kaum buruh. “Jokowi hanya mendapat 23,6 persen suara, disusul Prabowo dan Wiranto. Sementara 52 persen responden buruh belum menentukan pilihannya,” kata Direktur Eksekutif SMI Hidayat di Jakarta.

Hal senada disampaikan Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Naenggolan. Figur Jokowi pada awalnya memang disukai buruh dengan menaikan upah minimum regional. Namun hal itu tak jadi dilanjutkan pada tuntutan buruh pada tahun berikutnya. “Hal ini mungkin dikarenakan buruh terutama di Jakarta dan sekitarnya masih merasa terkhianati atas janji inkar Jokowi pada 2013 lalu,” kata Syahganda Nainggolan.

Genggaman dan cengkeraman kaum kapitalis memang akan susah dihilangkan dari lingkaran Jokowi karena terkait erat dengan sejarah panjang PDI Perjuangan sebagai rumah politik gubernur DKI Jakarta yang masih aktif ini. Jokowi harus bersusah payah mengurai satu demi satu pasal-pasal yang mencekik leher kaum buruh. Meskipun hal ini nyaris mustahil dilakukan Jokowi karena pandangan mata publik dengan lahap memakan sebuah sindiran kepada kaum buruh saat tim suksesnya bergandeng mesra dengan pihak yang selama ini berseberangan persepsi dan pemahaman terkait kesejahteraan kaum buruh.

Salam berhati-hati dengan semboyan partainya dan presidennya Wong Cilik!

Tautan Rujukan


  1. http://metro.sindonews.com/read/2014/04/08/31/851822/buruh-anggap-jokowi-terhasut-kapitalis
  2. http://news.bisnis.com/read/20140408/77/217824/pileg-2014-h-1-kantor-jokowi-didemo-buruh
  3. http://m.jurnas.com/news/130485/Jokowi-Tak-Populer-di-Mata-Buruh-2014/1/Nasional/Pemilu-2014/
  4. http://www.lintas.me/news/other/republika.co.id/jokowi-bukan-pilihan-utama-kaum-buruh?utm_source=widget_popular&utm_medium=box_3
  5. http://www.militanindonesia.org/analisa-politik/8350-jokowi-dan-pertanda-politik-yang-sesungguhnya.html
  6. Mayoritas Buruh Jabodetabek Tidak Akan Memilih Jokowi
  7. http://www.berita8.com/berita/2014/04/merasa-dikecewakan-ratusan-buruh-tolak-pencapresan-jokowi
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun