Elang hitam mendecit di angkasa, berputar-putar melakukan manuver siaga. Awan yang beralih rupa setiap saat dari cerah biru merona menjadi gelap dengan mengelantungkan volume air yang siap tumpah ke bumi. Kepakan sayapnya membentang ribuan meter. Kibasannya membuat angin dingin yang menjalar di tengkuk sang durjana musang hitam. Paruh tajam yang seakan menjadi guillotine bagi calon mangsanya. Menusuk dengan tanpa rasa sakit kecuali kematian akan menjemputnya.
Rentang antara musang dan elang hanya berjarak loncatan kaki berkali-kali. Kabut dan asap tidak menghalangi jarak mereka.
Toleransi dan hak asasi manusia adalah siulan dari angin yang kencang dari arah barat, hawa dingin membuat nyaris beku cairan otak. Musang terkikih dengan air liur disela-sela taring kotor berwarna kuning.
Sorak sorai terus berlanjut,....berlanjut dengan pekik takbir dan tahmid. Bungkus plastik toleransi tidak mampu menampung puji puja atas kebesaran Illahi.
Musang semakin menyusut tubuhnya. Rasa lapar dan keinginan merdeka membuat kesabarannya tercecer dibalik dengusan paru-paru basahnya. Tulang rusuknya semakin menyembul di balik bulu-bulu amis dan busuk.
Dilangit, elang semakin mengecil manuvernya, berputar,.....berputar.....terus berputar.
Sang waktu menderaikan rasa takut bagi musang atas nama detik, menit dan jam.....
Peperangan ini tidak akan berakhir, meskipun belum dimulai. Musang tetaplah musang...berjalan mengendap-endap. Menangisi keramaian dan menyukai rasa hening ketika manusia lunglai untuk peduli akan keabadian.