Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Membangun Jiwa Mandiri

6 Mei 2015   09:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:19 44 0
Keinginan agar bisa hidup mandiri, kiranya dimiliki oleh semua orang. Tidak ada orang yang berharap secara terus menerus tergantung pada orang lain. Mungkin saja secara fisik, seseorang yang bergantung pada orang lain itu terasa enak. Akan tetapi secara psikis akan terganggu, merasa tidak bebas, dan atau terbelenggu. Setiap orang menginginkan hidup bebas dan merdeka.

Namun pada kenyataannya, meraih hidup mandiri tidak mudah. Bangsa Indonesia sejak lama, menginginkan hidup mandiri. Bahkan, sejak Presiden pertama, Dr. Ir. H. Soekarno, telah menggelorakan konsep, hingga amat populer, yaitu �berdikari�, adalah kependekan dari Berdiri di Atas Kaki Sendiri. Bangsa Indonesia, menurut proklamator kemerdekaan itu harus segera mampu mandiri dalam berbagai aspeknya.

Sedemikian besar semangatnya untuk membangun bangsa mandiri, maka dalam bukunya yang berjudul : �Di Bawah bendera Revolusi�, Ir. Soekarno mengingatkan dengan keras terhadap kebijakan impor kebutuhan apapun dari luar negeri. Kebutuhan bangsa ini, sedapat mungkin, ------sepanjang bisa dipenuhi sendiri, hendaknya diusahakan secara mandiri pengadaannya.

Dalam buku tersebut digambarkan tentang betapa besar bahaya mengimport bahan pakaian dari Jepang dan Belanda. Presiden pertama itu menjelaskan bahwa, sekalipun barang import itu harganya lebih murah dan kualitasnya lebih baik, tetapi akan beresiko terhadap masa depan, yakni menjadikan bangsa ini akan selalu tergantung pada bangsa lain, dan tidak akan pintar selamanya. Kepala negara ketika itu sudah memahami, bahwa kebijakan impor adalah membahayakan di masa depan. Jika hal itu dilakukan, bangsa ini selamanya tidak akan mampu mandiri.

Sekalipun peringatan itu sudah sekian lama, namun anehnya hingga sekarang ini, untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, bahkan kebutuhan dasar sehari-hari sekalipun, seperti beras, daging, kedelai, buah-buahan, dan bahkan hingga garam saja, ternyata masih mengimport. Akibatnya, selamanya menjadi bangsa pembeli, dan bukan menjadi bangsa penjual, kecuali menjual barang mentah atau apa saja yang bisa dijual, seperti kayu, tenaga murahan, dan sejenisnya.

Menyadari bahwa keadaan semakin kurang menggembirakan, maka pada akhir-akhir ini mulai diserukan lagi, agar bangsa ini benar-benar menjadi mandiri. Kemandirian dianggap sebagai jawaban strategis agar bangsa ini tidak semakin terpuruk di masa yang akan datang. Maka, apa yang sebenarnya telah digelorakan oleh Presiden Soekarno sejak puluhan tahun yang lalu menjadi relevan lagi. Bangsa ini harus segera mandiri, baik secara ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain.

Dalam bidang ekonomi misalnya, bangsa ini harus mampu mencukupi kebutuhan beras, kedelai, buah-buahan, gula, jagung, daging, dan lain-lain. Kiranya, jika mau dan menjadi tekad bersama, -------sekalipun agak sulit oleh karena sudah terbiasa menjadi bangsa pembeli, maka apapun akan bisa dicapai. Bangsa ini memiliki kekayaan tanah yang luas dan subur, pengairan yang cukup, tenaga kerja melimpah, ketersediaan para ahli, iklim sangat mendukung, maka yang tersisa hanyalah kebijakan pemerintah.

Memang, jika diperhatikan secara saksama, bangsa ini terasa aneh dan bahkan keterlaluan. Hingga pada level yang terkecil, yakni keluarga sekalipun, keanehan itu tampak. Misalnya, seseorang tatkala ditanya tentang status pekerjaannya, ia menjawab sebagai petani. Tetapi anehnya, isteri petani itu setiap hari ke pasar bukan menjual sayuran, buah-buahan, dan juga beras sebagai hasil panen suaminya, tetapi justru terbalik. Para isteri petani itu pergi ke pasar justru membeli lombok, sayur-sayuran, dan juga beras.

Kedaan aneh dan lucu tersebut ternyata tidak saja dialami oleh para petaninya, tetapi juga oleh profesi lainnya. Mengaku peternak tetapi tidak memiliki hewan, mengaku sebagai pedagang tidak memiliki dagangan, mencantumkan dirinya sebagai wirausahawan, tetapi tidak memiliki usaha, dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit dosen di perguruan tingginya sekalipun, sudah mengajar bertahun-tahun, tetapi belum menghasilkan buku yang disusunnya sendiri. Memang, bangsa ini benar-benar terasa aneh, petaninya tidak panen, dosennya juga gagal menghasilkan karya ilmiah.

Maka mental mandiri harus segera ditanamkan melalui berbagai cara dan pendekatan, baik melalui keluarga, sekolah, perguruan tinggi, organisasi, komunitas pemeluk agama, dan terhadap semua saja. Jargon yang pernah dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo di awal menjabat sebagai presiden, bahwa harus dilakukan revolusi mental, adalah amat tepat. Mental bangsa ini harus direvolusi, dari hidup seenaknya, bermalas-malsa, lamban, menunggu, menerabas, dan lain-lain, semuanya harus diubah menjadi bermental kerja, bermental petarung, bermental menang, unggul, dan seterusnya.

Ketika sedang menulis tentang kemandirian ini, saya teringat seorang teman di dalam mendidik anak-anaknya. Teman yang saya maksudkan ini kebetulan seorang PNS dan begitu pula isterinya, sebagai wirausahawan. Agar roda kehidupan keluarga berjalan, maka anak-anaknya yang masih sekolah di SD, sudah diajari mandiri. Anak-anaknya, mulai dari bangun pagi, mandi, menyiapkan sarapan, berangkat dan pulang sekolah, dan lain-lain harus bisa diselesaikan sendiri. Sekalipun masih klas dua SD, anaknya harus bisa membuat telur mata sapi, menanak nasi, membuat sambal, merebus sayur, dan sejenisnya.

Kelihatannya pendidikan yang berlangsung di keluarga tersebut tampak sederhana, tetapi sebenarnya sangat tepat dan ternyata tidak banyak orang tua yang memperlakukan anaknya seperti itu. Orang tua pada umumnya justru memanjakan anaknya dengan melayani apa saja kebutuhannya. Akibatnya, anak tidak mampu mandiri. Sejak kecil mereka sudah dilatih bergantung, bahkan dibiasakan menjadi boss, sekalipun belum tentu kelak menjadi boss beneran.

Membangun jiwa mandiri, harus dimulai dari usia dini, dari hal kecil, dan sederhana. Selain itu, harus disadari bahwa, kemandirian adalah bagian dari budaya, maka harus dibiasakan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal penting lainnya adalah, seharusnya pemerintah tidak mengambil kebijakan yang kontra produktif. Misalnya, tetap meningkatkan import berbagai kebutuhan pokok yang sebenarnya bisa dicukupi sendiri. Harus disadari bahwa, bahaya inport itu sedemikian besar, sebagaimana hal itu telah diingatkan oleh Presiden Soekarno, lewat bukunya yang amat monumental sebagaimana dikemukakan di muka. Wallahu a�lam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun