Perampasan aset tindak pidana bertujuan untuk mencegah pelaku kejahatan menikmati hasil kejahatannya, mengembalikan kerugian negara atau masyarakat akibat kejahatan tersebut, serta memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku kejahatan.
Namun, perampasan aset tindak pidana di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Salah satunya adalah belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana.
Meskipun ada beberapa ketentuan yang terkait dengan perampasan aset tindak pidana dalam undang-undang lain, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun pengaturannya masih bersifat parsial dan tidak komprehensif.
Oleh karena itu, sejak tahun 2003 telah diinisiasi pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.
RUU ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang menyeluruh dan sistematis dalam mengatur perampasan aset tindak pidana di Indonesia. RUU ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menerapkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Namun, hingga saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum juga disahkan menjadi undang-undang. RUU ini kerap keluar-masuk dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dan pemerintah.
Padahal, RUU ini sudah masuk dalam Prolegnas periode 2020-2024 dan masuk dalam Nawacita Presiden Jokowi. Tetapi, RUU ini belum juga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahunan sehingga pembahasannya masih tertunda.