Sesekali mereka meng-aduh-kan hidup, banyak kali mereka lebih memilih menertawakan hidupnya sendiri. Dan saya rasa, ini merupakan mekanisme batin paling ampuh untuk menghalau segala kandungan dalam pil berupa kepahitan yang amat.
Malam ini saya sedikit-banyak belajar menyoal kejujuran dan keberanian dari seorang yang menurut kita tidak bisa mendefinisikan sebuah idiom "jujur" dan "berani".
Jika kita menanyakan kepada mereka "apa itu jujur?" Dan "mengapa kita harus berani?" Saya yakin mereka akan kewalahan berkata untuk memberi jawaban kepada kita, apalagi aksara.
Meskipun jika demikian adanya, Saya melihat jawab dari keduanya tanpa perlu di definisikan secara tertulis dan terkatakan sebab keduanya telah melekat pada kehidupan mereka.
Merekalah yang berani dan jujur melihat dirinya sendiri serta keadaanya tanpa malu dan bertendensi apapun.
Iya, malu. Malu mengakui kurang diri sendiri. Malu menyatakan ini benar, itu salah. Bohong. Bohong pada diri sendiri bahwa yang lebih baik memimpin itu dia, bukan aku. Bahwa yang pantas di kasihani adalah dia bukan aku. Yang patut di muliakan dan dihormati seharusnya mereka, mengapa aku?.
Singkat kata, saat kita sibuk berargumentasi soal citra diri kita dan kehidupan kita yang penuh kebohongan untuk kemudian menjadi seorang penakut. Padahal mereka ini tanpa ragu, walau sakit, memilih apa yang kita tak akan pernah kuat.
Padahal kita semua paham bahwa obat pahit yang kita telan bukan sebuah penanda dari rendahnya martabat kemanusiaan seseorang, tapi justru menjadi pembersih dari penyakit yang tekah mengidap di tubuh kita selama ini. Artinya, bahwa pahit hidup merupakan keniscayaan yang bukan menjadi penanda lemahnya diri, melainkan menjadi bukti keesokan harinya kita telah menjadi lebih kuat dn sehat.
Bekal hidup mereka, yang saya tahu, hanya keyakinan bahwa "sakitku hari ini adalah kebahagiaanku di kemudian hari. Jika tidak sekarang di dunia, semoga Tuhan memasukkan dalam golongan yang beruntung kelak di akhirat"
Barangkali hidup kita sudah mengalami kelangkaan figur kecil nan hebat seperti orang-orang desa yang pernah saya temui. Kita sibuk mengerek figur mentereng, yang bisa jadi, sangat jauh dari kenyataan untuk kita jadikan pahlawan dan pembuat sejarah.
Tandas Romo Mangunwijaya "bahwa tokoh sejarah dan pahlawan harus kita temukan kembali diantara kaum rakyat biasa yang sehari-hari. Yang barangkali kecil dalam harta dan kuasa, namun besar kesetiaannya pada kehidupan"