Ketika lagu kebangsaan selesai diperdengarkan, pemain dari kedua tim kemudian saling berjabat-tangan. Lucio menyerahkan vandel kepada Van Bronckhost, demikian pula sebaliknya. Kaka bersalaman dengan Sneijder sambil memamerkan senyum ramahnya. Sneijder balas menyalami Kaka dengan hangat, sambil sedikit menengadah. Maklum. Postur Sneijder jauh lebih pendek dari seterunya yang kini menempati posisinya di klub terdahulunya, Real Madrid. Tim nasional Brazil dan tim nasional Belanda lalu berpose untuk memberi kesempatan pada para jurnalis mengabadikan gambar mereka. Sepintas tak terlihat keanehan diantara momen demi momen yang mengawali laga perempat-final itu. Yang sedikit aneh, tidak biasanya pelatih dari dua kesebelasan yang berseteru tampak saling melempar senyum dan berangkulan sambil menyaksikan anak asuhnya diabadikan wartawan. Saya tidak tahu apakah ada diantara penonton lain atau mungkin pemirsa televisi yang menyaksikan kejanggalan itu. Namun yang jelas, dari tempat saya mengintai (ehm, saya wartawan foto), tepat belakang gawang yang belum tahu bakal ditempati Stekelenburg atau Julio Cesar, saya menyaksikan kejanggalan itu. Tentu saja, saya langsung membidik momen langka- yang saya rasa baru pertamakali terjadi sepanjang sejarah Piala Dunia. “Kok, pelatih yang timnya siap saling memangsa malah bermesra-mesraan sebelum keduanya bertanding. Seperti ada peluang untuk sepakbola gajah saja.”bisik batin saya.
Saya dan rekan-rekan jurnalis foto sudah mengambil sikap siaga, disaat tim nasional Brazil dan Belanda selesai berpose dihadapan wartawan. Jadi ikut tegang juga, mengingat mereka yang bertarung memperebutkan satu tiket ke semifinal ini adalah tim yang sama-sama punya sejarah panjang sepakbola. Nikon D3x saya sudah siap untuk membidik entah penyelamatan, tendangan melenceng, diving penyerang atau kemungkinan gol, baik yang sah maupun kontroversial. Sesaat setelah itulah kemeriahan yang aneh terjadi di Stadion Nelson Mandela Bay. Pertandingan bahkan belum dimulai, namun pemain dari dua kesebelasan telah melakukan victory lap bersama-sama, mengelilingi lapangan sambil melambaikan tangan kearah para suporter. Saya pernah menyaksikan Eric Cantona melancarkan tendangan kungfu kearah pendukung Leeds United. Saya pernah menyaksikan Hendri Mulyadi, suporter tim nasional Indonesia, menggiring bola ke gawang ditengah-tengah pertandingan Laskar Merah Putih dengan Oman. Tapi, saya belum pernah menyaksikan dua tim melakukan victory lap sebelum pertandingan dimulai. Ada apa ini ?
**
Pertanyaan saya terjawab, disaat konferensi pers digelar pasca victory lap yang aneh juga menghebohkan itu. Presiden Brazil, Lula Da Silva, dan Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, rupanya telah saling berkirim kawat dan menyepakati : merger antara tim nasional kedua negara yang sama-sama lolos dan akan berhadapan di perempat-final. Memo elektronik dari kedua pemimpin diterima Bert Van Marwijk, pelatih Belanda, dan Carlos Dunga, pelatih Brazil, sesaat sebelum para pemain kedua kesebelasan mengganti pakaian training-nya dengan kostum pertandingan.
“Senor Lula, dunia tidak ingin salah satu dari kita gagal di 8 besar. Karena itu, saya pikir lebih baik kita merger agar kekuatan kita lebih kuat, dan seluruh dunia tidak kecewa menyaksikan salah satu dari tim kita yang legendaris ini urung tampil di final.”
“Tidak masalah, Meester Balkenende. Selama ini Holland mengimpor kopi dari Brazil dan Brazil mengimpor susu dari Holland. Di negara-negara Asia dan Afrika, kopi saya dan susu tuan bertemu didalam satu cangkir. Dunia sudah tahu perpaduan kita berdua akan menghasilkan sesuatu yang lezat dan nikmat.”jawab Perdana Menteri Belanda dengan sedikit permainan filosofis.
**
Van Bronkchorst Cs sempat mempertanyakan keputusan dari kedua kepala negara, namun akhirnya bungkam setelah diberitahu ini sudah kesepakatan mutlak. Lucio Dkk juga mempertanyakan keputusan itu, namun akhirnya bungkam setelah diberitahu bahwa pendirian Presiden sudah final. “Siapa yang menolak maka akan berhadapan dengan sangsi rechstaat atau machstaat.”tegas Van Marwijk, yang drop-out-an sekolah tinggi hukum. “Siapa yang menolak, sepulangnya dari sini silahkan melapor ke kantor Agência.”ancam Dunga, yang menempelkan stiker lambang agen rahasia Brazil itu di mobil istrinya. Setelah Van Marwijk dan Dunga bersepakat, maka Dunga langsung mengirim pesan elektronik ke Presiden FIFA, Sepp Blatter. Mereka sempat bingung untuk memberi nama kesebelasan hasil merger kedua negara itu. Van Bronckhorst yang keturunan Maluku dan bisa sedikit berbahasa Indonesia memberi usul,”Di tempat kelahiran Opa saya Holland atau Nederland itu disebut Belanda. Kalau Brazilia jadi Brazil. Bagaimana kalau nama kesebelasan kita hasil gabungan dari kata Belanda dan Brazil. Jadi namanya Belazil saja.” Van Marwijk mengerutkan kening, Dunga mengelus-elus dagunya, serius menimbang saran dari pemain tertua diantara seluruh pemain tim oranye dan tim samba. Akhirnya mereka menerima saran Van Bronckhorst, setelah mendengar dan melihat Robinho serta John Heitinga dengan antusiasnya berkata,”Betul. Betul. Betul. Nama yang bagus itu !”
“Nah, begini dong. Inilah sikap negarawan, sikap tokoh dunia dan politisi ulung.”seloroh Sepp Blatter selesai membaca pesan eletronik dari Dunga.”Enggak seperti Goodluck tuh. Sampai skorsing tim nasional Nigeria-nya segala. Campur tangan bolehlah pemerintah. Tapi campur tangan seperti ini nih yang bisa diterima !”kata Blatter lagi, sambil menunjuk-nunjuk layar Blackberry dihadapan Presiden UEFA, Michael Platini, yang dengan arifnya tersenyum simpul.
”Coba ya, Pak. Kemarin itu Prancis merger sama Meksiko atau Uruguay.”timpal Platini.
“Ah, enggak ada yang cocok merger sama Prancis. Kalau Prancis merger sama Uruguay nanti jadi Praguay. Ketuker sama Paraguay. Kalau Prancis merger sama Meksiko, masak jadi Pramek. Seperti obat sakit kepala saja, Paramex.”sahut Blatter dengan sengitnya.
Singkat kata, Belanda dan Brazil-pun merger dan Belazil-pun masuk semifinal. Pemenang partai perempat-final lainnya, yang mempertemukan Ghana dan Uruguay, akan menghadapi Belazil yang tiba-tiba menjelma menjadi tim yang menakutkan diseantero dunia. Oscar Washington Tabarez, pelatih Uruguay, sampai tak bisa tidur mengingat betapa beratnya tugas yang menanti, jikalau Diego Forlan Dkk berhasil melewati Ghana. Milovan Rajevac, pelatih Ghana, sampai-sampai lupa bahwa The Black Star mesti melewati Uruguay dulu, sebelum betul-betul bertemu Belazil. Pelatih berkebangsaan Serbia ini malah membicarakan kemungkinan formasi yang akan dipakai tim merger-an Brazil-Belanda, waktu saya berkesempetan mewawancarainya untuk mengetahui persiapan apa saja yang sudah dilakukan demi menekuk Uruguay.
“Coba lihat ini, Bung.”kata Rajevac sambil mengulurkan secarik kertas penuh coretan nama. “Julio Cesar pada Kiper. Lucio, Heitinga, Maicon, Van Der Whiel di belakang. Sneijder, Kaka, Van Bommel di tengah. Robinho, Van Persie dan Robben di depan. Apa tidak gawat tim Belazil ini. Seharusnya Presiden Kufour menghubungi Presiden Mujica, untuk membahas kemungkinan merger dengan Uruguay.”
Saya jadi ikut-ikutan senewen, demi menyaksikan Rajevac yang gugup dan tampak sangat gelisah. Jadi lupa juga perihal yang hendak ditanyakan, dalam sesi wawancara kami. Saya coba mengingat-ingat pertanyaan berikutnya, sambil memandang Sulley Muntari Dkk berlatih keras di tengah lapangan. Kevin Prince Boateng, pemain yang bertanggungjawab atas ketidakhadirannya Michael Ballack di Piala Dunia 2010, tampak mengambil ancang-ancang untuk melatih akurasi tendangan bebasnya. Tendangannya menyusur keras menembus gawang yang dijaga Richard Kingson. Dengan seenaknya, kiper nasional Ghana yang bermain di Liga Premier bersama Wigan Athletic itu menyapu bola yang baru saja disarangkan Boateng. Bolanya melambung tinggi di udara, dan sesaat setelah saya mendengar seseorang berteriak,”Awaaaaas !”, tiba-tiba dunia menjadi gelap.
**
Saya terjaga selagi orang-orang berkerumun didekat saya.
“Makanya jangan terlalu dekat, Mas, ambil fotonya. Tele-nya ‘kan sudah panjang.”ucap salah seorang diantara mereka.
Seorang laki-laki tinggi berambut plontos dengan setelan pemain bola membantu saya bangkit sambil berulang-ulang bertanya,”Tidak apa-apa ‘kan, Mas ?” Laki-laki bertubuh tinggi kekar itu lalu memapah saya ke pinggir lapangan. Dia bawakan kamera dan berbagai perlengkapan kerja saya yang lain. “Istirahat dulu, Mas. Biar enakan.”katanya lagi. Saya mengangguk dan laki-laki itupun pamit untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang sedang tekun berlatih di tengah lapangan. Beberapa orang masih memandangi saya, sementara saya meneguk habis air mineral yang diserahkan laki-laki tadi. Kepala saya masih pusing, tapi saya berusaha untuk membaca nama dan nomor yang tertera di punggung laki-laki itu. Samar-samar saya baca nama dan nomor yang tertera di punggung jersey-nya. Disana tertera nomor : 30, nama : Nova Arianto.(aea)